“Lingkungan yang rusak akan menimbulkan masalah panjang. Karena itu, kita tidak boleh diam. Semua pihak harus bergerak bersama agar aktivitas tambang sesuai aturan,” kata Mahyeldi di Padang, Kamis (11/9).
Pernyataan itu disampaikan Mahyeldi setelah mengikuti Forum Group Discussion (FGD) bersama Forkopimda Sumbar dan sejumlah pihak terkait, Rabu malam (10/9), di Auditorium Gubernuran.
Mahyeldi menjelaskan, Pemprov Sumbar sudah menyurati Kementerian ESDM dan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk mempercepat penertiban. Sebab, kewenangan penindakan berada di Ditjen Gakkum Kementerian ESDM dan kepolisian, bukan di pemerintah daerah.
Ia mengingatkan masyarakat yang ingin menambang agar mengurus izin sesuai aturan yang berlaku. Saat ini, Pemprov juga tengah mengusulkan pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) ke Kementerian ESDM. Melalui WPR, masyarakat lokal tetap bisa menambang secara sah tanpa merusak lingkungan.
“WPR bukan untuk melegalkan yang ilegal, tapi memberi wadah agar masyarakat bisa menambang dengan izin, aman, dan tetap menjaga kelestarian lingkungan,” jelas Mahyeldi.
Kepala Dinas ESDM Sumbar, Helmi Heriyanto, mengungkapkan, aktivitas tambang ilegal atau PETI di Sumbar diperkirakan mencapai 200–300 titik dengan potensi kerugian negara sekitar Rp9 triliun. Kerugian itu tidak hanya berupa materi, tapi juga merusak pertanian, mencemari air sungai, hingga mengancam kesehatan warga.
Karena itu, Helmi menilai pembentukan WPR adalah solusi terbaik. Pemprov telah mengusulkan 15 zona WPR dengan 56 blok kepada Kementerian ESDM. Lokasinya tersebar di enam kabupaten: Solok Selatan, Dharmasraya, Pasaman, Pasaman Barat, Sijunjung, dan Solok.
Dari hasil FGD, disepakati beberapa langkah penting: membentuk satgas penertiban tambang ilegal, mempercepat pembentukan WPR, dan meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat.(Adpsb)