Dharmasraya, Scientia.id – Belum redam kehebohan tentang isu perseteruan legislatif dan eksekutif yang diduga disebabkan oleh satu rilis resmi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Dharmasraya, kini masyarakat kembali disuguhkan pemberitaan nan fenomenal oleh rilis resmi yang di dalamnya menyebut salah satu media online sebagai pembuat berita yang tidak sesuai fakta, disinformasi, dan juga menyudutkan Kepala Daerah.
Di sini, kita tidak perlu menyebutkan media mana yang disebut oleh dinas terkait sebagai penyebar berita yang tidak sesuai fakta itu, tapi pada kejadian yang sekian kali ini, pasti kita dapat dengan mudah melihat pola yang sama terus dimainkan oleh pembuat rilis resmi dari Pemerintah Kabupaten Dharmasraya tersebut, yakni membuat kehebohan di tengah masyarakat dengan membuat rilis fenomenal yang seringkali berisi penilaian yang subjektif.
Rilis resmi yang berjudul “Pemkab Dharmasraya Klarifikasi: Perbaikan Jembatan Pulau Anjolai Hasil Inisiasi Bupati dan CSR, Bukan Swadaya Murni” terakhir ini, terlihat sekali bahwa itu sengaja dibuat dengan tujuan sebagai “Counter” dari salah satu berita yang berjudul “Warga Pulau Anjolai Swadaya Perbaiki Jembatan Lapuk, Bupati Anisa Pilih Tutup Mata”.
Perlu digarisbawahi, rilis “Counter ” seperti ini sudah berkali-kali dibuat oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Dharmasraya beberapa bulan terakhir.
Meski tidak salah secara aturan, seringnya Kominfo mengeluarkan rilis sebagai “Counter” seperti ini sebetulnya dapat dikatakan, bahwa itu adalah cermin dari ketidakmampuan oknum berwenang dalam menjalankan tugas dan fungsi mereka sebagai pejabat yang berwenang di Diskominfo, yakni bertugas sebagai pembantu Bupati dalam melaksanakan dan mengelola urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi publik.
Idealnya, oknum-oknum yang berwenang di bawah Diskominfo tersebut seharusnya adalah orang-orang yang peka akan isu, mereka hadir terlebih dahulu dalam menyajikan informasi sebelum satu isu berkembang, bukan malah sebaliknya, hadir setelah satu isu berkembang untuk kemudian mengcounter isu tersebut. Namun, yang seringkali terjadi malah yang terakhir kali disebutkan. Mereka selalu hadir setelah satu isu berkembang untuk kemudian mengeluarkan rilis “counter” andalan mereka.
Parahnya, dalam rilis kali ini, Kepala Dinas Kominfo Dharmasraya melalui Kabidnya menyebutkan, bahwa pemberitaan sebelumnya tersebut pasti bertujuan menyudutkan Bupati, sebab pembangunan tersebut bukan murni swadaya, dan itu diikuti oleh pernyataan dari narasumber yang juga merupakan narasumber dari “media” yang dianggap bertendensi negatif tapi lebih dulu tayang itu.
Padahal, jika kita merujuk tugas dan fungsinya sebagai pengelola informasi, jelas-jelas mereka telah gagal dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan beredarnya pemberitaan sebelumnya, yang padahal, jika mereka peka akan isu, berita seperti itu pasti tidak akan keluar, karena mereka lebih dulu menginformasikannya kepada masyarakat.
Pola seperti ini sebetulnya dapat kita lacak dalam beberapa bulan terakhir, yang mana seringkali rilis resmi yang dikeluarkan Pemkab sepertinya tidak lagi hadir sebagai penerang dan penjelasan yang transparan bagi publik, namun juga menyimpan tendensi negatif untuk menyudutkan salah satu pihak; persis seperti apa yang dituduhkan terhadap pihak lain dalam beberapa rilis resminya tersebut.
Secara politis, pada akhirnya kecenderungan mengcounter pemberitaan oleh Diskominfo Kabupaten Dharmasraya akan melekatkan citra negatif terhadap sosok Kepala Daerah. Karena wajah pemerintahan Kepala Daerah akan tercermin dengan sangat jelas pada setiap rilis Diskominfo yang hadir dan turut menyumbang bagaimana pandangan publik.
Langkah Diskominfo dalam kebiasaannya mengcounter ini bisa disebut sangat beresiko. Pertama, ia dapat menimbulkan kesan intervensi pemerintah terhadap kebebasan pers. Kedua, ia berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap corong informasi pemerintah.
Ketiga, melabeli Disinformasi ini justru bisa menjadi bumerang bagi Kepala Daerah yang merepresentasikan Pemerintah Daerah karena dianggap anti kritik.
Karena itu, alangkah baiknya jika Diskominfo memakai cara-cara yang sebetulnya memang sudah disediakan saat menemukan produk pemberitaan yang dirasa merugikan pemerintah daerah dengan mekanisme yang sah secara aturan, diantaranya adalah hak jawab atau hak koreksi, bukan sekadar mengcounter dan terus melabeli sebagai disinformasi.
Baca Juga: Mantan Direktur LBH Pers Padang Kritik Label “Disinformasi” oleh Pemkab Dharmasraya
Dengan begitu, publik tetap mendapat informasi yang utuh, media tetap dihormati sebagai pilar ke-4 demokrasi, dan pemerintah tetap menjaga marwahnya sebagai pelayan masyarakat. Dalam demokrasi, pers bisa saja salah, tetapi pers tidak boleh dibungkam. Jika ada keberatan, jalurnya jelas, hak jawab, hak koreksi, atau aduan ke Dewan Pers. Bukan dengan stempel sepihak yang bisa memicu kegaduhan baru yang pada akhirnya akan membuat wajah pemerintahan semakin buram.
Penulis
Bustanol