Dharmasraya, Scientia.id – Akhir-akhir ini, tensi politik di Kabupaten Dharmasraya semakin meninggi. Pemicu utamanya adalah rilis resmi dari Dinas Kominfo berjudul “APBD Perubahan Tak Kunjung Disahkan, DPRD Tetap Meminta Rapat di Luar Daerah”.
Alih-alih menjadi informasi yang menyejukkan, rilis tersebut justru menyulut perseteruan terbuka antara Pemerintah Daerah dan DPRD Dharmasraya. Seakan-akan pemerintah daerah (Pemda) menabuh gendang perang dengan DPRD Dharmasraya.
Lebih runyam lagi, pemberitaan itu menyebar secara masif melalui buzzer dan akun anonim di media sosial. Narasi yang dikembangkan terfokus pada upaya menyudutkan DPRD.
Padahal, bila ditelisik kronologi yang dipaparkan pimpinan DPRD, Sujito, tidak pernah ada surat resmi penolakan dari Pemda terkait rapat asistensi APBD Perubahan (APBD-P) 2025 di luar daerah.
Dari catatan DPRD, agenda rapat asistensi APBD-P sudah diputuskan melalui rapat Bamus sejak 12 Agustus 2025. Bahkan Sekda hadir pada 19 Agustus 2025 ketika penambahan jadwal pembahasan RPJMD oleh DPRD di kegiatan tersebut DPRD memberikan kesempatan kepada Pemda untuk menyampaikan tangapan mengenai soal lokasi rapat asistensi APBD P di luar kota.
Namun Pemda tidak ada memberikan tangapan. Lalu satu hari menjelang pelaksanaan kegiatan pembahasan asistensi APBD P kembali pemda mengirim surat pada 20 Agustus 2025 yang menyatakan tidak bisa hadir karena tidak ada ketersedian anggaran. Tidak berhenti di situ pada tanggal 25 Agustus 2025 Bupati mengirim surat ke DPRD meminta penjadwalan ulang.
Pertanyaannya, jika memang lokasi rapat menjadi masalah, mengapa Pemda tidak menyampaikan keberatan sejak awal? Mengapa justru setelah surat 25 Agustus 2025 itu diangkat ke media, buzzer langsung menggiring opini publik untuk menyerang DPRD?
Polanya terlalu kentara. Begitu berita dirilis, buzzer langsung memainkan ritme isu untuk membentuk persepsi publik, DPRD dianggap ngotot dibahas di luar daerah. Sementara Pemkab menilai anggaran perjalanan dinas OPD tidak tersedia jika asistensi digelar di luar daerah. Alasan pemda cukup wajar dengan alasan tersebut.
Dari sini wajar muncul dugaan, apakah isu ini memang sengaja digoreng untuk mengangkat citra politik tertentu? Bahkan, tak sedikit yang menyoroti arah narasi yang seolah diarahkan untuk menguatkan popularitas figur sang putri.
Kalau dugaan ini benar, maka yang sedang dimainkan bukan sekadar soal lokasi rapat, melainkan strategi pencitraan politik dengan mengorbankan kestabilan demokrasi lokal.
Di titik inilah, peran Kominfo Dharmasraya patut dipertanyakan. Alih-alih menjaga netralitas dan menjadi jembatan informasi, justru kinerjanya tampak condong ke arah penguatan citra pemerintah. Etika sebagai lembaga negara/daerah seakan tercoreng, karena publik menangkap adanya upaya framing yang tidak objektif.
Apalagi, jika benar ada anggaran khusus yang digunakan untuk menggerakkan buzzer dan akun hantu. Pertanyaan sederhana muncul, dana itu dari mana? Apakah dari pos anggaran resmi, atau ada skema lain yang tidak transparan?
Dalih efisiensi dan defisit anggaran serta tidak tersedianya anggaran perjalanan dinas OPD sebagai alasan perlu diapresiasi. Tentu hal ini perlu di uji juga. Defisit bukanlah hal baru dalam tata kelola keuangan daerah. Masalahnya, apa yang menyebabkan defisit itu? Belanja apa yang membengkak? Publik berhak untuk tahu detailnya.
Perlu ditegaskan, agenda rapat pembahasan APBD-P merupakan kewenangan DPRD melalui Badan Musyawarah (Banmus). Hal ini diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), yang menitikberatkan tiga fungsi DPRD yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan serta Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, yang menegaskan bahwa salah satu tugas Banmus adalah menetapkan jadwal acara rapat DPRD.
Artinya, Banmuslah yang sah menetapkan jadwal rapat, bukan Pemda. Pemda sebagai eksekutif hanya berkewajiban hadir sesuai agenda untuk membahas bersama DPRD.
Jadi, Bupati tidak punya kewenangan mengatur jadwal rapat pembahasan APBD P. Itu sepenuhnya kewenangan Banmus DPRD (UU 23/2014 & PP 12/2018). Bupati hanya berperan mengajukan, menjelaskan, dan membahas rancangan APBD-P bersama DPRD melalui TAPD.
Tensi politik Dharmasraya saat ini adalah potret bagaimana informasi bisa dipelintir menjadi senjata politik. Rilis Kominfo yang seharusnya informatif malah jadi pemicu konflik. Buzzer yang semestinya tidak punya ruang, justru mendominasi wacana publik.
Jika praktik seperti ini dibiarkan, demokrasi lokal akan terus terjebak dalam pusaran pencitraan semu. Dharmasraya butuh politik yang dewasa dan transparan, bukan politik yang dikendalikan buzzer.
Baca Juga: Wakil Ketua DPRD Dharmasraya Bantah Tuduhan Pemda Soal Pembahasan APBD
Dari paparan di atas, penulis hanya bisa memberikan gambaran untuk ditelaah bersama agar polemik ini menjadi bahan renungan dan pembelajaran politik lokal yang lebih sehat.