Oleh: Adela Damanik
(Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia dan anggota UKMF Labor Penulisan Kreatif (LPK) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Belakangan ini, jagat maya diramaikan oleh tren foto ala Ghibli style yang diciptakan oleh kecerdasan buatan (AI) khususnya platform chatbot yang sering kita sebut dengan ChatGPT. Ratusan bahkan ribuan gambar dengan gaya ala Studio Ghibli menghujani linimasa media sosial seperti Instagram, TikTok, X, hingga Facebook. Palet warna yang lembut dan karakter imut berwajah bulat, menarik perhatian kalangan muda. Para pengguna media sosial berlomba-lomba membuat foto bergaya Ghibli dan membagikannya di akun pribadi mereka. Namun, di balik pesona visual yang lucu, muncul pertanyaan: sejauh mana AI boleh ‘membajak’ hasil karya Studio Ghibli, dan di mana posisi hak cipta?
Studio Ghibli sendiri telah berdiri sejak tahun 1985. Studio Ghibli didirikan oleh dua tokoh legendaris dalam dunia animasi Jepang, Miyazaki Hayao dan Takahata Isao sebagai animator dan sutradara bersama produser Suzuki Toshio. Miyazaki pernah menjadi sutradara film Lupin III: The Castle of Cagliostro (1979), kemudian Nausicaä of the Valley of the Wind (1984) yang diambil dari manga hasil ciptaan beliau sendiri. Kedua film ini menjadi batu loncatan bagi Miyazaki, Takahata, dan Suzuki dalam mendirikan Studio Ghibli. Itulah, Studio Ghibli akhirnya merilis film perdana mereka yang berjudul Castle in the Sky (1986) diikuti film My Neighbor Totoro (1988), Kiki’s Delivery Service (1989), dan Porco Rosso (1992) dan meraih kesuksesan pada masanya.
Seiring pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), chatbot ChatGPT kini telah mencapai versi 4.0 dan pada Maret 2025 meluncurkan fitur multimodal terbarunya. Salah satu keunggulan utamanya adalah kemampuan untuk menghasilkan gambar bergaya secara instan seperti The Simpsons Style, Looney Tunes Style, Pixar Style, Disney Classic Style, dan Ghibli Style. Ghibli style adalah salah satu tren yang cukup viral di kalangan anak muda zaman sekarang. Kita dapat menghasilkan foto gaya Ghibli cukup dengan memasukkan perintah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris seperti, “ubah foto ini menjadi gaya anime yang terinspirasi dari Studio Ghibli” atau “restyle this photo into anime style inspired by Studio Ghibli.” Fitur chatbot ini menuai banyak komentar negatif dari para penggemar setia Studio Ghibli. Mereka berpendapat bahwa penggunaan AI dalam meniru gaya Ghibli menunjukkan sikap kurang menghargai hasil karya animator aslinya. Ada yang mengatakan orang-orang yang membuat tren Ghibli style hanya fomo (Fear of Missing Out). Tak sedikit pula yang menilai bahwa teknologi ini merupakan bentuk plagiarisme atau pelanggaran hak cipta terhadap karya-karya Studio Ghibli.
Dilansir dari Dexerto, dalam rapat Komite Kabinet DPR Jepang pada 16 April, Masato Imai sebagai perwakilan dari Prefektur Gifu sekaligus anggota Partai Demokrat Konstitusional, menyampaikan bahwa penggunaan kecerdasan buatan (AI) tidak secara otomatis melanggar hak cipta jika hanya meniru gaya atau ide dari suatu karya. Jika konten yang dihasilkan AI terlalu mirip dan hasil gambar AI dikenali sebagai Ghibli itu sendiri, maka jelas hal tersebut bisa dianggap sebagai pelanggaran. Namun, menurut penulis, sesuatu yang diciptakan oleh sebuah kecerdasan buatan (AI) adalah sah atau legal, karena AI hanyalah sebuah teknologi bukan manusia. Plagiarisme hanya dapat terjadi jika karya tersebut dibuat oleh manusia. Selain itu, hasil ciptaan AI tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai sebuah karya, karena tidak melibatkan proses kreatif manusia secara langsung.
Di balik berbagai kritikan negatif terhadap penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam menghasilkan gambar bergaya Ghibli, sebenarnya terdapat sisi positif yang bisa diambil. Salah satunya adalah memperkenalkan kembali karya-karya Studio Ghibli kepada generasi muda yang mungkin belum familiar dengan animasi ini. Lewat tren foto ala Ghibli style yang viral di media sosial, banyak orang menjadi penasaran dan mulai mencari tahu lebih dalam tentang film-film Ghibli. Tak bisa dipungkiri, memang, Studio Ghibli sudah terkenal dari dulu, tetapi anak-anak Gen Alpha, masih ada yang belum kenal dengan karya-karyanya. Dengan kata lain, kehadiran AI justru bisa menjadi promosi gratis yang memperkenalkan Studio Ghibli kepada generasi baru. Studio Ghibli menjadi semakin populer, dan film-film lamanya kembali mendapatkan perhatian dari publik. Jadi, penggunaan AI sebenarnya tidak masalah selama penggunanya tidak mengklaim hasilnya sebagai karya pribadi.