Oleh: Muhammad Zakwan Rizaldi
(Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas)
Di zaman sekarang ini, sastra lisan mulai kurang diminati oleh generasi muda. Dibandingkan dengan sastra tulis, sastra lisan memang kurang terkenal. Sastra lisan (oral literature) adalah sastra yang disampaikan secara turun temurun dari mulut ke mulut. Perbedaan paling terlihat antara sastra lisan dan sastra cetak terletak dari cara menyampaikan sastra tersebut. Sastra lisan disampaikan secara lisan dan memilki penampil yang berperan dalam menyampaikan isi dari sastra lisan itu, sedangkan sastra cetak disampaikan melalui tulisan.
Di era yang modern ini, sudah jarang generasi muda yang melihat langsung pertunjukan sastra lisan karena dianggap kuno dan terbelakang. Budaya luar lebih menarik bagi generasi muda sekarang. Oleh karena itu, sastra lisan harus bisa beradaptasi di era modern agar tidak punah. Salah satu langkah yang bisa dilakukan yaitu memodifikasi sastra lisan tersebut, baik dari segi alat musik, Fungsi, pakaian pemain, dan lain sebagainya mengikuti perkembangan zaman.
Pada hari Senin tanggal 26 Mei 2025, Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang mempersembahkan serangkaian penampilan sastra lisan Minangkabau yang diadakan di Gedung Auditorium Boestanul Atifin ISI Padang Panjang. Pertunjukan ini merupakan bentuk kerja sama antara Program Studi Seni Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Padangpanjang dengan Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas (FIB Unand) sekaligus sebagai objek penelitian mahasiswa Sastra Indonesia FIB Unand dalam mata kuliah Sastra Lisan. Sastra lisan yang ditampilkan oleh ISI Padangpanjang yaitu sastra lisan Minangkabau, seperti Bagurau, Baindang, Bakucapi, Rabab Pasisia,Randai, Salawaik Dulang, Saluang Panjang, dan Sampelong. Ada hal yang menarik dalam penampilan sastra lisan oleh Prodi Karawitan ini, yaitu pada penampilan Rabab Pasisia.
Rabab Pasisia adalah sastra lisan yang berasal dari Pesisir Selatan, Sumatera Barat yang menggabungkan antara kaba atau cerita dengan iringan rabab. Menurut Martamin (1977:59), Rabab Pasisia biasa dipertunjukan dalam upacara adat Pesisir selatan, seperti, pada waktu perkawinan, turun mandi, dan upacara alek nagari. Dalam sastra Lisan Rabab Pasisia, para pemain alat musik (rabab, adok, orgen, tamborin), penyanyi dan penonton untuk saling berinteraksi, melalui syair dendang dan kaba, dalam ruang dan waktu pertunjukan yang mereka alami bersama. Penyajian musik dapat berkedudukan sebagai bagian dari upacara, jenis musik seperti: do’a keagamaan, nyanyian wajib keagamaan, dan bunyi intrumen musik yang dipandang sakral wajib dihadirkan dalam upacara keagamaan.
Hal menarik yang terdapat dalam penampilan Rabab Pasisia di ISI Padangpanjang adalah rabab yang digunakan, yaitu mirip dengan alat musik dari Eropa yaitu biola. Hajizar (2019:192) menyatakan bahwa penggunaan biola sebagai rabab dalam penampilan Rabab Pasisia disebabkan karena daerah Pesisir Selatan mendapatkan pengaruh Portugis dan Belanda yang cukup lama. Karena pengaruh tersebut, para seniman Pesisir Selatan mengadopsi budaya Eropa yang dibawa Portugis dan Belanda itu, yaitu dalam segi alat musik. Peniruan terhadap biola mungkin dilakukan oleh para seniman Pesisir Selatan.
Sampai saat ini, sebagian orang Pesisir Selatan masih menyebut bahwa rabab yang digunakan dalam Rabab Pasisia adalah biola. Menurut Hajizar (2019:192), hal ini sangat keliru karena lagu-lagu Pesisir Selatan yang dimainkan kurang cocok dengan warna bunyi dari biola. Perbedaan rabab dan biola juga terlihat dalam penggunaanya, biola biasanya dimainkan dengan menjempitkan biola dengan dagu dan bahu kiri pemain, sedangkan rabab dalam Rabab Pasisia diletakkan di pangkuan atau di atas paha pemain sambil duduk bersila.
Sebelum perubahan Rabab Pasisia yang mirip dengan biola, bentuk Rabab Pasisia sangat mirip dengan Rabab Pariaman. Kesamaan rabab ini terjadi karena pada awalnya rabab dibawa oleh para pedagang Islam dari Persia dan bangsa bangsa sekitarnya, seperti Maroko, Turki, dan Gujarat India yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Penyebaran Islam sendiri di Sumatera Barat menurut Martamin (1977: 59) dimulai di Pariaman. Dari daerah Pariaman tersebut rabab menyebar ketiga daerah di Sumatera Barat yaitu ke Pesisir Selatan, Pesisir Utara dan Pedalaman.
Perbedaan Rabab Pasisia yang dulu dan Rabab Pasisia yang sekarang dapat dilihat dari berbagai hal. Secara Organologi, Rabab Pasisia yang dulu memiliki tiga buah tali dan memiliki yang badan atau resonator suaranya menyerupai separoh batok (tempurung) kelapa, mirip dengan instrumen kamanja (kamanchay) dari Persia. Sedangkan Rabab Pasisia yang sekarang mempunyai 4 buah tali yang sama dengan biola, tetapi tali nomor empat hanya berfungsi sebagai pembantu getaran talinya yang lain (sympathetic string). Struktur organologinya mirip sekali dengan keman dari Turki, dan rabab dari Maroko, atau biola Barat.
Selain dari segi organologi, perbedaannya terlihat dari bahan yang digunakan. Rabab Pasisia yang lama memiliki kemiripan dengan Rabab Pariaman, yaitu terbuat dari tempurung kelapa tua yang dibelah dua. Bagian belakang tempurung kelapa itu diberi lubang yang berfungsi sebagai resonasi udara sedangkan bagian belakang tempurung kelapa ditutupi dengan kulit kambing atau kulit sapi yang sebelumnya sudah dikeringkan. Gagang rabab terbuat dari sebilah bambu dan dua buah senar direntangkan dari ujung gagang sampai bagian tempurung.
Ricardo & Wimbrayardi (2024:15) menyebut kedua sisi dari depan dan belakang badan Rabab Pasisia yang sekarang terbuat dari batang kayu jariang (jengkol) dan kayu montiah yang sudah ditipiskan yang ketika digesek menghasilkan suara yang keras dan bergetar. Kedua kayu yang digunakan itu memiliki ketebalan 4cm, panjang 45cm, dan lebar 30cm. Bagian lidan rabab dan penggesek rabab menggunakan kayu sicerek yang memiliki bentuk dan ukuran sama dengan pinggang rabab.
Penampilan rabab dalam Rabab Pasisia yang mirip dengan biola ini sangat menarik untuk dibahas lebih dalam, terutama dalam aspek sejarahnya. Modernisasi yang terjadi pada rabab semata-mata terjadi karena mengikuti perkembangan zaman yang pada saat itu orang Eropa membawa budayanya ke daerah Pesisir Selatan. Modernisasi tidak selalu memiliki dampak buruk, namun juga memiliki dampak yang baik seperti yang terjadi pada rabab ini. Perubahan rabab yang mirip dengan biola ini menarik perhatian para generasi muda yang sudah terbiasa mengikuti budaya luar untuk menonton Rabab Pasisia.