Dharmasraya, Scientia.id – Kabut masih setia menggantung rendah di Negeri Petro Dolar, sebutan akrab untuk Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Embun menetes pelan dari ujung dedaunan, membasahi bumi yang tampak sendu namun damai. Seolah alam sedang melantunkan kidung pagi yang menenangkan. Namun kedamaian itu mendadak koyak oleh decit rem yang melengking tajam, menampar sunyi.
Di jalan utama yang menjadi urat nadi ekonomi nagari, sebuah truk pengangkut hasil tani berhenti mendadak. Lubang besar selebar hampir setengah badan jalan menganga ganas di depannya, menanti korban berikutnya. Sang sopir turun dengan wajah masam.
Pandangannya langsung tertumbuk pada ban depan truknya yang kini robek tak berbentuk. Dari bibirnya meluncur umpatan pelan, lebih terdengar seperti desah frustrasi yang sudah terlalu sering terpendam. Ini bukan kali pertama.
Bagi sopir-sopir truk dan pengemudi lain, lubang-lubang maut ini sudah menjadi sahabat gelap yang selalu menyertai perjalanan. Setiap laju kendaraan adalah doa, semoga selamat sampai tujuan. Sampai kapan jeritan ini menggema tanpa jawaban?
Di jalan inilah saban hari ribuan kendaraan lalu-lalang, mengangkut hasil bumi seperti sawit dan karet dari ladang-ladang subur Dharmasraya menuju pabrik, bahkan hingga ke luar provinsi. Namun jalan rusak menjadi hambatan serius. Tidak hanya mengancam keselamatan, tetapi juga memukul perekonomian warga yang menggantungkan hidup pada lancarnya distribusi hasil tani.
Di sisi lain, potret lain yang tak kalah getir muncul dari jembatan darurat. Masyarakat dan Anak-anak sekolah tampak meniti papan kayu rapuh yang disusun ala kadarnya oleh warga. Ini bukan solusi sementara, ini keseharian. Janji-janji perbaikan jalan dan jembatan hanya sebatas retorika yang mudah lenyap ditelan kabut pagi dan debu jalan.
Ironi begitu kentara. Negeri Petro Dolar, julukan yang lahir dari kekayaan sumber daya alamnya sawit, karet, kayu, hingga tambang ternyata menyimpan luka mendalam pada infrastruktur dasarnya.
Warga Dharmasraya sudah terbiasa hidup dalam kepungan jalan berlubang, jembatan reyot, dan akses publik minim. Bagi sebagian orang, ini sudah menjadi kenyataan yang pasrah diterima. Namun ada juga yang memilih melawan dengan cara mereka sendiri gotong royong, urunan sukarela membangun jalan dan jembatan.
“Kalau nunggu pemerintah, bisa-bisa jembatan ini ambruk duluan,” kata seorang warga yang baru saja ikut badoncek, patungan untuk membangun kembali jembatan penghubung ke ladang. Sambil tertawa getir, ia bercerita tentang bagaimana setelah swadaya itu muncul, barulah pemerintah datang tapi bukan membawa solusi, melainkan pendampingan yang lebih banyak bersifat seremonial.
Fenomena warga merogoh kocek pribadi untuk membangun fasilitas umum seharusnya terdengar ganjil, tapi di Dharmasraya, ini lumrah.
Janji-janji perbaikan seringkali hanya sebatas wacana, tenggelam ditelan dinginnya pagi dan debu yang beterbangan. Di banyak nagari, cerita serupa berulang, menegaskan bahwa ini bukan anomali, melainkan pola. Tak hanya satu-dua kasus, pemandangan seperti ini semakin jamak ditemui di berbagai pelosok Dharmasraya.
Pemerintah Kabupaten Dharmasraya sendiri tidak menampik keterbatasan fiskal yang membelenggu. Dalam upaya efisiensi anggaran, pemerintah menggandeng perusahaan lewat program CSR dan mengandalkan gotong royong warga. Mereka mengklaim ini strategi demi fokus pada prioritas pembangunan seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Namun kabar dari gedung legislatif di Rumah Bagonjong menghantam nalar publik. Dua unit mobil dinas baru berjenis Honda Civic RS E HEV, masing-masing senilai Rp 730 juta, dibeli untuk menunjang operasional Wakil Ketua I dan II DPRD Dharmasraya. Totalnya menembus Rp 1,4 miliar dari APBD. Di tengah retakan jalan dan derak jembatan darurat, alasan ini terdengar sumbang dan sulit dicerna.
Tak butuh waktu lama kabar ini merembes ke media sosial, memicu gelombang amarah. Ironis kalau katanya efisiensi, kenapa justru beli mobil baru? Apa ini yang disebut penghematan?,” celetuk salah seorang warga salah satu nagari yang baru saja memperjuangkan memperbaiki jembatan di wilayahnya. Suara kekecewaan itu menggaung, menembus batas kampung dan kota sambil menyuarakan kekecewaan yang juga dirasakan banyak orang.
Kemarahan dan kekecewaan yang menyeruak warga bukan semata soal angka atau merek kendaraan. Ini tentang rasa keadilan. Tentang luka hati yang menganga ketika mereka diminta bersabar menghadapi jalan berlubang, diminta berpartisipasi memperbaiki jembatan, sementara para elit menikmati kenyamanan berlapis.
Padahal negara punya kewajiban hukum menjaga keselamatan pengguna jalan. Pasal 273 ayat 1 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas menegaskan, pemerintah dapat dipidana hingga enam bulan penjara atau denda maksimal Rp12 juta jika lalai memperbaiki jalan rusak yang menyebabkan kecelakaan. KUH Perdata Pasal 1365 juga membuka ruang ganti rugi bagi warga yang dirugikan akibat kelalaian tersebut. Ini bukan provokasi, tapi edukasi hukum yang perlu diketahui publik.
Sayangnya, di banyak tempat, suara warga masih kalah lantang dibanding raungan mesin mobil dinas baru yang mengilap.
Baca Juga: Jembatan Kayu Sungai Panonggahan Nagari Panyubarangan di Timpeh Dharmasraya Rusak Parah, Warga Resah
Di tengah kabut, jalan berdebu, dan papan kayu lapuk yang menggantikan jembatan, warga Dharmasraya masih menggenggam harap. Bahwa suatu hari nanti, efisiensi benar-benar berarti pemangkasan seremonial dan belanja elite, bukan memangkas hak dasar rakyat. Bahwa pemerintah hadir bukan sekadar dengan janji, tapi dengan jalan yang layak, jembatan yang kokoh, dan kebijakan yang menempatkan rakyat kecil di tempat terhormat.
Karena bagi mereka, yang terpenting bukanlah mobil baru terparkir megah di halaman kantor pemerintahan, melainkan jembatan yang tak roboh saat dilintasi, jalan yang tak membuat ban pecah, dan anak-anak yang bisa pergi sekolah tanpa takut tercebur ke sungai. (*)
Penulis
Bustanol