Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Pekan lalu, tepatnya Minggu, 29 Juni 2025, saya menuliskan kembali kenangan tentang masa remaja yang dipenuhi ramalan. Tulisan itu membawa saya merenung, bahwa kepercayaan pada hal-hal tak kasatmata ternyata tak berhenti di sana. Di edisi “Renyah” kali ini, saya ingin melanjutkan kisah itu, masih tentang ramalan, tapi dalam bentuk yang lebih digital, lebih halus, dan lebih dekat dari yang kita kira.
Sekarang, caranya tak membaca garis tangan atau cara lainnya. Tapi entah kenapa, masih saja tertarik ketika melihat video tentang ramalan muncul di linimasa media sosial. Suaranya lembut, nadanya pelan, lalu muncul tulisan, “Kalau video ini sampai ke kamu, berarti pesan ini untukmu.” Saya tahu itu algoritma. Tapi tetap saja, saya menontonnya sampai habis.
Ramalan memang tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berubah wujud. Dari layanan SMS berbayar, kini pindah ke media sosial seperti TikTok, Instagram, bahkan YouTube Shorts. Dari yang dulu berbicara tentang zodiak, sekarang beralih ke istilah-istilah seperti “energi semesta”, “vibrasi positif”, atau “manifeskan keinginanmu”.
Semua itu dikemas menarik mengikuti perkembangan zaman, seperti dibuat khusus untuk kita. Padahal, kontennya ditonton ribuan bahkan jutaan orang. Yang berubah hanya tampilannya, yang dulu lewat pesan teks, sekarang lewat visual dan suara yang menenangkan.
Bedanya, kalau dulu pulsa yang terkuras, kini pulsa dan waktu yang banyak terserap. Diam-diam kita juga menyerahkan data, membuka kebiasaan, bahkan emosi kita pada sistem yang bekerja tanpa wajah. Kita suka merasa dipahami, apalagi ketika sedang bingung, cemas, atau mencari pegangan.
Tapi di balik semua itu, mungkin memang ada satu hal yang tetap sama, keinginan untuk tahu apa yang akan terjadi. Harapan bahwa besok akan lebih baik, dan kadang kita memang butuh diyakinkan. Tapi, kita juga belajar untuk tidak kehilangan nalar, sebab tidak semua yang muncul di layar adalah kebenaran.
Barangkali, kita memang akan selalu mencari cara untuk berdamai dengan ketidakpastian. Namun, pada akhirnya masa depan tetaplah “rahasia” dan harus kita isi sendiri dengan langkah-langkah kecil hari ini. Dan siapa tahu, justru di sanalah letak keajaibannya, bukan pada apa yang bisa diramal, tapi pada apa yang bisa kita perjuangkan.