“Kita harus sama-sama menghargai bahwa penulisan sejarah itu harus dilakukan sejelas-jelasnya, seterang-terangnya, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan atau dihapus jejak sejarahnya,” kata Puan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Pernyataan ini disampaikan menyusul desakan sejumlah anggota Komisi X DPR RI yang meminta agar proyek penulisan ulang sejarah ditunda atau bahkan dihentikan. Mereka menyebut adanya berbagai kontroversi dalam prosesnya, termasuk terkait peristiwa-peristiwa sensitif dalam sejarah nasional.
Namun, Menteri Kebudayaan Fadli Zon tetap bersikukuh melanjutkan proyek tersebut. Ia menyebut proses penulisan ulang sejarah ini dilakukan oleh 113 sejarawan dari berbagai daerah di Indonesia. Fadli juga meminta publik tidak buru-buru menghakimi, mengingat prosesnya masih berjalan.
Meski begitu, Puan mengingatkan pentingnya menghargai perbedaan pandangan dalam penulisan sejarah. Ia menekankan bahwa sejarah adalah milik bersama dan harus ditulis dengan prinsip saling menghormati.
“Jadi, saling menghormatilah ya. Saling menghormati dan menghargai,” ujar cucu Proklamator RI, Bung Karno itu.
Terkait polemik penghilangan insiden pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 dari narasi sejarah, Puan mengingatkan adanya pengakuan dari Presiden ke-3 RI, BJ Habibie, dalam pidatonya di hadapan MPR/DPR pada 14 Agustus 1998. Saat itu, Habibie menyatakan bahwa memang ada tindak kekerasan seksual dalam tragedi tersebut.
“Coba kita buka kembali fakta sejarah itu. Kita kaji dan lihat lagi. Apalagi itu pernah disampaikan langsung oleh Presiden, artinya itu fakta sejarah yang harus kita hormati,” jelas Puan.
Ia menegaskan bahwa fakta-fakta sejarah yang pernah diakui negara tidak boleh dihapus atau diabaikan hanya karena alasan subjektif. Terlebih, hal itu telah menjadi bagian dari memori kolektif bangsa.
“Kalau memang ada fakta yang dianggap tidak perlu dimuat, ya kita lihat dulu apakah itu benar. Karena banyak ahli sejarah yang mengatakan kalau sudah menjadi bagian dari sejarah, apalagi disampaikan oleh presiden, maka itu harus dihormati,” tegasnya.
Puan mengatakan, DPR akan terus mengawasi jalannya proyek penulisan ulang sejarah yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan. Terutama menyangkut peristiwa sensitif seperti tragedi 1998 yang masih menyisakan luka dan perdebatan di tengah masyarakat.
“Ya kita lihat nanti, bagaimana prosesnya. Komisi X dan Kementerian Budaya akan kita pantau bersama,” tutup Puan.(yrp)