Oleh: Nada Aprila Kurnia
(Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dan Anggota Labor Penulisan Kreatif/LPK)
Kridalaksana (2009), dalam kajian linguistik menyatakan bahwa dialek merupakan ragam bahasa yang muncul dari perbedaan geografis, sosial, atau temporal. Dengan kata lain, dialek lahir dari dan dibentuk oleh lingkungan hidup penuturnya, baik tempat tinggal, latar sosial, hingga perkembangan zaman yang melingkupinya. Akan tetapi, ketika lingkungan itu berubah karena urbanisasi, pendidikan formal, ataupun paparan budaya luar, dialek juga ikut mengalami pergeseran. Bahkan, dalam beberapa kasus ragam bunyi khas suatu daerah perlahan mulai hilang. Fenomena ini terbukti dalam kuliah lapangan mata kuliah Fonologi yang dilakukan oleh mahasiswa semester dua Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.
Kegiatan tahunan ini dilakukan pada 03 Mei 2025 lalu. Mahasiswa yang ikut diarahkan untuk meneliti sistem bunyi suatu bahasa di daerah tertentu, termasuk ciri-ciri khas dialek lokal yang digunakan masyarakat setempat. Tujuannya adalah untuk mendokumentasikan dan menganalisis variasi bahasa di berbagai wilayah Minangkabau maupun luar Sumatera Barat. Lokasi kuliah lapangan tahun ini, sebelumnya dikenal memiliki dialek Minangkabau yang cukup khas, yaitu penggunaan konsonan uvular [ʀ] pada beberapa kosa kata. Lokasi ini tepatnya di Kampung Bendang, Nagari Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, informan yang dipilih berusia antara 40 hingga 50 tahun serta tidak pernah meninggalkan daerahnya (mobilitas tinggi). Kelompok usia ini dianggap ideal karena cukup tua untuk mengenal bahasa daerah secara utuh dan masih produktif secara artikulasi. Akan tetapi, kuliah lapangan tahun ini sepertinya menghadapi tantangan yang tidak biasa, yaitu mulai hilangnya bunyi-bunyi khas yang seharusnya masih digunakan oleh masyarakat setempat.
Tantangan ini muncul karena sulitnya menemukan warga setempat dengan rentang usia 40–50 tahun yang belum pernah merantau ke kota besar. Dalam perbincangan dengan mahasiswa kuliah lapangan, pihak nagari menyampaikan bahwa hampir semua warga usia produktif sudah pernah keluar daerah untuk bekerja ataupun menempuh pendidikan. Di sinilah titik pentingnya, bahwa bukan usia yang menjadi masalah utama, tetapi riwayat mobilitas yang sangat tinggi di kalangan informan. Di era migrasi dan teknologi ini, menetap seumur hidup di kampung halaman bukan lagi hal yang lazim.
Dua informan yang berhasil diwawancarai di antaranya dari kelompok lima, yaitu Fitri Al Murti (40 tahun) dan Afrizal (40 tahun). Keduanya merupakan warga asli Kampung Bendang. Fitri mengaku pernah tinggal di Jakarta selama 16 tahun (2004–2020), sedangkan Afrizal selama 10 tahun pernah berdagang di Serang, Banten. Meskipun mereka mengaku masih fasih berbahasa Minang, hasil transkripsi memperlihatkan bahwa bunyi khas Kampung Bendang, seperti konsonan uvular [ʀ] nyaris tidak terdengar. Mereka lebih cenderung menggunakan bentuk bahasa Minang umum yang lebih netral dan tidak terikat oleh ciri-ciri dialek lokal.
Kondisi ini menggambarkan bahwa usia saja tidak lagi cukup sebagai indikator keaslian fonologis seorang penutur. Mobilitas, pengalaman migrasi, serta paparan terhadap dialek lain menjadi faktor yang sangat memengaruhi bahasa seseorang. Dalam konteks ini, pandangan Kridalaksana menjadi relevan. Bahwasanya jika dialek mencerminkan siapa yang berbicara dan dari mana, maka orang yang telah berpindah tempat dan hidup dalam lingkungan sosial berbeda tidak lagi menjadi representasi yang akurat dari dialek asalnya.
Kesadaran akan hal ini sebenarnya telah diulas lebih jauh oleh Dr. Ria Febrina, S.S., M.Hum., dalam tulisannya yang terbit di Scientia.id pada bulan Mei 2025 lalu dengan judul Dialek-dialek Bahasa Minangkabau yang (akan) Mulai Hilang. Ia juga merupakan dosen pengampu mata kuliah Fonologi dan ikut serta menemani kuliah lapangan tersebut. Dalam tulisannya, ia menyatakan bahwa kriteria usia 40 tahun yang dirujuk dalam buku Dialektologi: Teori dan Metode karya Nadra dan Reniwati (2009) tidak lagi relevan digunakan dalam konteks saat ini. Secara kronologis, informan yang kini berusia 40 tahun adalah individu yang berusia 24 tahun saat buku itu diterbitkan. Pada usia tersebut, sangat mungkin mereka telah merantau untuk kuliah atau bekerja ke luar daerah. sehingga sejak awal mereka telah terpapar bahasa dan budaya luar yang memengaruhi bentuk bahasa ibu yang mereka gunakan hari ini.
Hal ini menandakan bahwa fonologi yang diteliti bukan lagi representasi dari kampung halaman, melainkan hasil pencampuran antara dialek lokal dan pengaruh luar. Kelompok usia 40–50 tahun tidak lagi dianggap sebagai penutur stabil. Pertanyaan kritis muncul, apakah peneliti fonologi masih bisa mengandalkan informan usia 40–50 tahun untuk merekam dialek lokal secara autentik?
Dalam tulisannya, Dr. Ria Febrina juga menekankan bahwa pertimbangan usia dalam pemilihan informan kini harus dibarengi dengan penilaian atas mobilitas sosial dan riwayat pendidikan. Informan yang masih tinggal di kampung dan tidak banyak terpapar lingkungan luar lebih mungkin mempertahankan keaslian dialek. Pernyataan tersebut selaras dengan pengamatannya di lapangan. Ia bahkan menyarankan agar peneliti fonologi mulai memprioritaskan informan berusia 60 tahun ke atas, yakni kelompok yang kemungkinan besar belum pernah tinggal lama di luar daerah dan masih berakar kuat pada dialek lokal.
Sebagai perbandingan, kuliah lapangan Fonologi tahun 2024 di Desa Sekancing Ilir, Kecamatan Tiang Pumpung, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, menunjukkan hasil yang jauh berbeda. Di sana, warga lokal masih sangat mempertahankan dialek mereka, termasuk bunyi-bunyi khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Ini terbukti dari dua informan kelompok satu, yaitu M. Syareh (57 tahun) dan Nebartis (47 tahun). Bahkan, beberapa penutur usia muda pun masih memperlihatkan ketekunan dalam menjaga bunyi asli kampung mereka. Hal ini terjadi berkat kuatnya lingkungan sosial penutur asli dan minimnya interaksi dengan dialek luar.
Dari dua kasus ini, tampak jelas bahwa peneliti bahasa perlu memperhitungkan riwayat sosial dan mobilitas calon informan, serta sejauh mana mereka terekspos pada bentuk bahasa lain. Jika tidak, maka dokumentasi fonologi tidak lagi menggambarkan kondisi bahasa daerah yang sesungguhnya. Selain itu, fenomena ini juga menjadi pengingat bahwa pelestarian bahasa daerah bukan semata tanggung jawab akademik, tetapi agenda kebudayaan yang menuntut keterlibatan banyak pihak. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat adat perlu bersinergi untuk menjaga keberlanjutan dialek lokal.
Jika tidak, maka dua atau tiga dekade ke depan, kita mungkin hanya bisa mendengar kembali dialek-dialek seperti milik Kampung Bendang dari rekaman atau catatan tertulis. Warisan bunyi yang dahulu hidup dalam percakapan sehari-hari akan tinggal sebagai artefak linguistik dan kehilangan konteks sosial yang menghidupkannya.