Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Menunggu ujian bukan hanya soal duduk diam di luar ruang kelas dengan segelas air mineral dan tatapan cemas. Bagi sebagian orang, terutama para pengantar entah itu orang tua, sahabat, pasangan, atau sekadar teman seperjalanan. Bagi saya menunggu ujian justru menghadirkan kisah tersendiri yang tak kalah mendebarkan.
Di balik sunyinya lorong kampus atau riuhnya kantin dekat ruang ujian, terselip beragam rasa: harap-harap cemas, obrolan ringan, hingga kontemplasi hidup yang datang tiba-tiba. Pengalaman menunggu ini, sering kali justru menjadi momen penuh makna yang tak pernah benar-benar kita rencanakan, tapi selalu kita kenang.
Sambil menunggu, waktu terasa berjalan pelan, seolah ikut menyelami ketegangan yang sedang berlangsung di dalam ruang ujian. Ketika duduk, sesekali saya membuka gawai, tapi tak benar-benar fokus. Pikiran melayang, membayangkan apa yang sedang terjadi di balik dinding itu: apakah ia sedang lancar menjawab? Apakah ia gugup? Dalam diam, doa-doa lirih pun meluncur tanpa komando.
Anehnya, rasa cemas itu menular, seakan kita pula yang tengah diuji. Tapi justru di situlah letak keunikan momen ini. Ketika empati dan harapan berbaur menjadi satu, dan waktu seolah memberi kita ruang bagai saya untuk ikut belajar tentang kesabaran, kepedulian. Dalam diamnya waktu menunggu, saya sebenarnya sedang mengikuti ujian untuk diri sendiri, ujian tentang kesediaan memberi waktu tanpa pamrih, tentang bagaimana hadir tanpa harus menjadi pusat.
Saya duduk di bangku yang keras atau berdiri di lorong panjang, bukan karena kita punya kuasa atas hasil, melainkan karena kita memilih untuk percaya. Sekarang, setiap kali saya menunggu seseorang ujian, saya tak lagi merasa sekadar sebagai “pengantar”, melainkan sebagai bagian kecil dari perjuangan yang lebih besar.
Menunggu bukan pekerjaan pasif, ia adalah bentuk perhatian yang paling halus, pelajaran tentang hadir secara utuh meski tanpa sorotan. Di sana, kita belajar menjadi manusia yang tak tergesa, yang tahu bahwa waktu tak selalu harus diisi dengan produktivitas, tapi kadang cukup dengan kesetiaan. Kadang, dari sekadar menunggu, lahir keberanian bagi yang sedang menghadapi soal, dan saya yang belajar setia tanpa suara.