“Setiap tahun, kita masih melihat antrean panjang sejak pagi buta, sistem digital yang sering error, data domisili yang dipersoalkan, bahkan praktik pungutan liar yang sudah diakui oleh kepala daerah,” ungkap Puan.
Puan menilai kondisi ini bukan lagi sekadar masalah sementara, melainkan tanda krisis tata kelola yang sudah dibiarkan rapuh bertahun-tahun. Kekacauan dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) bukan hanya kegagalan administratif, tapi juga pengabaian terhadap hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang adil.
“Bila anak-anak sampai ditolak masuk sekolah yang letaknya dekat dari rumah hanya karena sistem zonasi digital yang tidak masuk akal, maka yang dirugikan bukan hanya rasa keadilan, tapi juga masa depan mereka,” tegasnya.
Pendaftaran siswa baru tahun ini yang menggunakan sistem SPMB pengganti PPDB lama mengundang banyak keluhan. Sistem baru ini menitikberatkan pada domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi. Namun, banyak orang tua kecewa karena anaknya tidak diterima di sekolah negeri favorit meski tinggal dekat, sementara anak lain yang jauh bisa lolos.
Lebih parah lagi, muncul laporan manipulasi data domisili di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Modus yang dilakukan berupa pemindahan domisili dadakan dan pemalsuan dokumen Kartu Keluarga untuk masuk zona sekolah tertentu.
“Pendidikan seharusnya jadi tempat yang aman dan inklusif untuk semua anak. Tapi kenyataannya, proses masuk sekolah justru penuh ketidakpastian,” kata Puan.
Puan juga menyoroti bahwa sistem zonasi justru jadi alat diskriminasi yang tidak peka terhadap kondisi sosial dan geografis di lapangan, sehingga anak-anak jadi korban sistem yang tidak realistis. Ia mengingatkan pentingnya pengawasan ketat terhadap digitalisasi sistem pendaftaran.
“Kalau data domisili bisa diatur oleh oknum, itu bukan sistem adil. Itu penyimpangan yang dibiarkan terjadi,” jelas mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu.
Puan merasa prihatin karena pemerintah pusat dan daerah belum melakukan perbaikan menyeluruh. Ia mendesak pemerintah segera melakukan evaluasi total terhadap mekanisme PPDB, termasuk meninjau kembali sistem zonasi yang menimbulkan ketimpangan dan diskriminasi.
“Audit independen harus dilakukan terhadap sistem digital pendaftaran di semua provinsi untuk menutup celah manipulasi dan intervensi pihak ketiga,” tegas Puan.
Selain itu, penegakan hukum terhadap praktik pungli, suap, dan jual-beli kursi sekolah harus ditegakkan demi menjaga integritas pendidikan nasional. Puan juga meminta pemerintah untuk memperbaiki pemerataan kualitas pendidikan agar sekolah unggulan tidak hanya terpusat di kota-kota besar.
“Hak anak bersekolah adalah hak konstitusional yang wajib dipenuhi negara. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk gagal menyelenggarakan proses masuk sekolah secara transparan, adil, dan manusiawi,” tutup Puan Maharani. (yrp)