
Saat ini masyarakat sedang gelisah karena kebijakan Presiden Republik Indonesia Ke-8, Prabowo Subianto, yang memerintahkan seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi anggaran. Dampak dari kebijakan ini menyebabkan beberapa pos belanja dikurangi hingga 90% meskipun katanya kebijakan ini merupakan komitmen pemerintah dalam mengelola keuangan negara secara lebih efektif dan efisien. Apakah penggunaan frasa efisiensi anggaran sudah tepat digunakan untuk makna pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien?
Dalam KBBI, efisiensi bermakna ‘1. ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya); kedayagunaan; ketepatgunaan; kesangkilan; 2. kemampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya)’, sedangkan anggaran bermakna ‘1. perkiraan; perhitungan; 2. aturan; 3. Ek taksiran mengenai penerimaan dan pengeluaran kas yang diharapkan untuk periode yang akan datang; 4. Man rencana penjatahan sumber daya yang dinyatakan dengan angka, biasanya dalam satuan uang’. Dengan demikian, frasa efisiensi anggaran dapat dimaknai sebagai ketepatan cara yang dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia dalam merencanakan penjatahan sumber daya (APBN dan APBD) untuk periode akan datang (dalam hal ini selama tahun 2025).
Dalam definisi tersebut, tidak terdapat kata penghematan dan pemotongan. Namun, Presiden Republik Indonesia mengimplikasikan bahwa dampak dari kebijakan ini adalah penghematan dan pemotongan anggaran pada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Dalam silaturahmi Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di Jawa Barat pada Jumat (14/2/2025) kemarin, Presiden Republik Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa langkah penghematan itu menyangkut pengurangan kegiatan yang dianggap tidak penting, seperti perjalanan dinas ke luar negeri.
“Jadi habis itu kunker, seminar, FGD, forum group discussion. Apa yang didiskusikan? Rakyat perlu mitigasi, perlu pupuk, rakyat perlu bibit, sekolah diperbaiki. Nggak usah seminar lagi,” tegasnya (Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto).
Namun, pada kenyataannya, efisiensi anggaran tersebut berdampak sebaliknya. Aspek yang paling signifikan berdampak adalah pendidikan. Pemotongan anggaran pendidikan akan menyebabkan terjadinya kenaikan biaya pendidikan, penghapusan beasiswa, dan pengurangan atau penghentian fasilitas pendidikan. Oleh karena itu, akhir-akhir ini marak dilantangkan slogan untuk mengkritik kebijakan ini. “Demi makan gratis, Presiden Republik Indonesia melupakan pendidikan gratis”. Ke depan pendidikan akan kembali menjadi barang mahal. Tidak semua orang bisa mencapai pendidikan tinggi.
Dampak ini setidaknya sudah tercatat pada fasilitas dan aktivitas penting bagi siswa-siswi Indonesia yang sudah terbiasa mengasah daya pikir. Anggaran pendidikan tahun 2025 menurut Instruksi Presiden No. 1 berkurang sebanyak 114,6 triliun, yakni dari 20% APBN menjadi 16,77%. Dampaknya, fasilitas dan aktivitas penting bagi siswa-siswi Indonesia akan terhenti, seperti Lomba Debat Bahasa Indonesia yang sejak 2006 rutin diselenggarakan Pusat Prestasi Nasional yang bertujuan untuk melatih kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia akan ditiadakan. Jika dianalogikan, akankah efisiensi anggaran menyebabkan daya kritis masyarakat Indonesia menjadi tumpul?
Kebijakan Pak Prabowo sebagai pemimpin bangsa dengan melakukan efisiensi anggaran perlu dipikirkan kembali. Apakah pemerintahan beliau akan mencatat efisiensi sebagai politik bahasanya? Sebagaimana catatan Saraswati (1998) dalam “Rekayasa Bahasa Politik Orde Lama dan Orde Baru sebagai Pijakan Berfikir secara Transparan”, sejak dulu setiap elite memiliki kosakata atau istilah khusus untuk menggambarkan kepemimpinan dan kebijakannya. Setipe elite sesuai dengan ideologinya akan menyusun “kamus” yang khas. Kamus ini kemudian akan “dimasyarakatkan” melalui aparatur negara, organisasi, dan lembaga-lembaga sosial.
Pada masa orde lama, Bung Karno memasyarakatkan kata revolusi karena menginginkan perubahan cepat. Sementara itu, pada masa orde baru, Pak Harto berfokus pada pembangunan. Jargon-jargon ekonomi pembangunan, seperti akselerasi, pertumbuhan, teknologi, modernisasi, dan efisiensi terdengar lantang berkali-kali. Namun, kata efisiensi yang dipakai pada masa Pak Harto berbeda dengan yang dirujuk oleh Pak Prabowo. Pak Harto menggunakan kata efisiensi agar terjadi ketepatan dalam pembangunan, modernisasi, dan teknologi. Sebaliknya, efisiensi hari ini justru mengarah pada penghematan dan pemotongan anggaran.
Kondisi ini juga berbanding terbalik dengan makna efisiensi dalam kamus Merriam-Webster yang menjelaskan bahwa efisiensi adalah operasi yang efektif yang diukur dengan perbandingan produksi dengan biaya (seperti energi, waktu, dan uang). Jika dilihat keinginan Pak Prabowo dan juga definisi ini, tampak bahwa efisiensi ini mengharapkan terjadinya keefektifan. Dalam KBBI, efektif bermakna ‘1. ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); 2. manjur atau mujarab (tentang obat); 3. dapat membawa hasil; berhasil guna (tentang usaha, tindakan); mangkus; 4. mulai berlaku (tentang undang-undang, peraturan)’. Sementara itu, keefektifan bermakna ‘keberhasilan (tentang usaha, tindakan); kemangkusan’. Dengan demikian, kebijakan yang efektif dan efisien harus membawa keberhasilan terkait usaha dan tindakan yang dilakukan. Harus berhasil guna. Akan tetapi, jika melihat dampak yang disampaikan Presiden Republik Indonesia, efisiensi yanng diharapkan justru tidak membawa hasil baik dalam berbagai sektor.
Politik bahasa yang dipakai oleh Pak Prabowo semakin menguatkan penelitian terdahulu yang menjelaskan bahwa pergantian elite mengandung implikasi pergantian bahasa. Rahmat (1993) dalam “Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia” menjelaskan bahwa penguasa mendefinisikan segala hal untuk merugikan yang kurang berkuasa. Bagi Aristoteles, hal ini mengarah pada wacana politik yang menunjukkan The Rule of One.
Selain itu, penggunaan istilah efisiensi pada kepemimpinan kali ini, memperkuat pernyataan Herbert Luethy yang menjelaskan bahwa para pemimpin bangsa Indonesia dari waktu ke waktu cenderung menunjukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa sintesis. Mereka secara terang-terangan meminjam istilah asing tanpa mengerti terminologis teknis. Istilah efisiensi yang dipakai justru tidak akan menyebabkan keberhasilan terkait usaha dan tindakan yang dilakukan, tetapi dapat membawa kemunduran dalam berbagai bidang. Di bidang pendidikan, sejak awal masyarakat sudah dibayangi-bayangi untuk tidak mencapai pendidikan tinggi.