Oleh: Zoya Ayu Putri
(Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Katupek aka, tanaman yang tumbuh liar di hutan dan memiliki bentuk yang mirip dengan akar, memiliki keunikan tersendiri bagi masyarakat Desa Telaga Gunung. Tanaman ini telah digunakan turun-temurun sebagai pembungkus lapek, sebuah hidangan tradisional yang khas. Menurut Ernawati, salah seorang warga desa yang kini berusia 60 tahun, tradisi ini sudah ada sejak zaman nenek moyang dan menjadi ciri khas yang membedakan mereka dari masyarakat lain yang lebih sering menggunakan daun pisang sebagai pembungkus.
Folklor bukan lisan mencerminkan warisan budaya yang tidak hanya hadir dalam bentuk cerita, tetapi juga benda, tradisi, dan praktik yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu contoh menarik dari folklor bukan lisan adalah katupek aka, sebuah pembungkus khas yang digunakan dalam tradisi pembuatan lapek oleh masyarakat Desa Telaga Gunung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Kota Batusangkar. Katupek aka tidak hanya menjadi pembungkus makanan, tetapi juga simbol identitas budaya masyarakat setempat. Tradisi ini telah berlangsung selama beberapa generasi. Tradisi yang menunjukkan bagaimana warisan leluhur tetap relevan dan dipertahankan hingga kini.
Katupek aka adalah salah satu contoh folklor bukan lisan yang mencerminkan kekayaan budaya lokal. Keunikan tanaman ini terletak pada sifatnya yang tumbuh liar di hutan dan tidak dapat dibudidayakan. Penggunaannya sebagai pembungkus lapek tidak hanya menunjukkan inovasi masyarakat setempat, tetapi juga memperlihatkan bagaimana mereka memanfaatkan sumber daya alam secara bijak dan melestarikan tradisi leluhur. Salah satu fungsi folklor adalah memperkuat identitas sosial dan kultural sebuah komunitas. Dalam konteks ini penggunaan katupek aka oleh masyarakat Desa Telaga Gunung menunjukkan ikatan kuat terhadap warisan nenek moyang.
Sejarah dan Kehadiran Katupek Aka
Katupek aka adalah tanaman liar yang tumbuh di hutan, dengan bentuk menyerupai kantong semar. Nama “katupek aka” diambil dari sifat tanamannya yang menyerupai akar dan sulit dibudidayakan. Menurut penuturan Ernawati, seorang warga Desa Telaga Gunung yang kini berusia 60 tahun, penggunaan katupek aka untuk membungkus lapek telah ada sejak zaman nenek moyang.
Pada masa itu, katupek aka digunakan sebagai pengganti bambu dalam pembuatan lamang. Dalam perkembangannya, katupek aka mulai menggantikan daun pisang sebagai pembungkus lapek. Alasan utama pemilihannya adalah keunikan visual yang membedakan lapek ini dari makanan tradisional lain yang biasanya dibungkus dengan daun pisang. Keunikan tersebut kemudian menjadi ciri khas masyarakat Desa Telaga Gunung.
Saat Ernawati, salah seorang warga Desa Telaga Gunung, berbagi cerita tentang pembuatan lapek menggunakan katupek aka, ia menjelaskan bagaimana tradisi ini dimulai dengan bahan-bahan sederhana namun penuh makna. “Pertama-tama, pulut atau beras ketan dipilih sebagai bahan utama,” kata Ernawati. Pulut ini harus direndam semalam penuh, agar teksturnya menjadi lembut dan mudah dimasak. “Kalau nggak direndam cukup lama, nanti hasilnya tidak sempurna, bisa-bisa masih mentah dan mudah basi,” lanjutnya.
Setelah beras ketan direndam, langkah berikutnya adalah mengeringkannya hingga siap dimasukkan ke dalam katupek aka yang sudah dibersihkan. “Katupek aka itu seperti kantong alami, jadi sangat pas untuk membungkus lapek,” ujar Ernawati dengan penuh kebanggaan. Selanjutnya, santan yang telah dipersiapkan akan dicampur dengan bawang putih, bawang merah, asam kemiri, dan garam, yang semuanya memberi rasa gurih dan kaya pada lapek. Tak lupa, daun pandan dimasukkan untuk memberikan aroma harum yang khas. “Daun pandan itu membuat harum lapeknya, seperti bumbu rahasia kami,” terang Ernawati sambil tersenyum.
Begitu semua bahan tercampur dalam katupek aka, proses terakhir adalah merebusnya. “Katupek aka yang sudah terisi itu direbus selama 30 menit. Kalau pas, rasanya akan lezat sekali,” ujarnya. Ia menggambarkan betapa sabarnya menunggu hidangan itu matang. Setelah matang, lapek yang dibungkus dalam katupek aka pun siap untuk disajikan dan dinikmati bersama keluarga, terutama pada saat acara baralek atau pengajian.
Dalam tradisi pembuatan lapek menggunakan katupek aka, masyarakat Desa Telaga Gunung selalu memperhatikan beberapa pantangan yang telah diturunkan oleh nenek moyang. Ernawati, salah satu informan, menjelaskan bahwa setiap langkah dalam pembuatan lapek harus dilakukan dengan teliti agar hasilnya sempurna. “Pulut atau beras ketan tidak boleh dimasukkan terlalu banyak ke dalam katupek aka,” ungkap Ernawati. “Kalau terlalu banyak, nanti lapeknya jadi terlalu padat dan sulit matang dengan merata.”
Selain itu, ada aturan ketat mengenai waktu perendaman pulut. “Pulut harus direndam sesuai waktu yang ditentukan. Kalau tidak, lapeknya bisa mentah atau mudah basi,” lanjutnya. Larangan-larangan ini, menurut Ernawati, bukan tanpa alasan. Mereka adalah petunjuk praktis yang telah terbukti efektif sepanjang waktu, dan merupakan bagian dari penghormatan terhadap tradisi yang telah diwariskan turun-temurun. Pantangan ini mencerminkan pemahaman mendalam masyarakat Telaga Gunung terhadap bahan-bahan yang mereka gunakan.
Keunikan dan Makna Filosofis
Katupek aka bukan hanya sebuah pembungkus tradisional, tetapi juga memiliki keunikan yang dalam dan simbolik. Tanaman ini hanya tumbuh di hutan liar, sebuah kondisi yang menjadikannya sulit untuk dibudidayakan. Ernawati menceritakan, “Katupek aka ini hanya bisa ditemukan di hutan, tidak bisa ditanam di kebun.” Tanaman yang memiliki bentuk menyerupai akar ini menciptakan kesan eksklusivitas yang langka, sekaligus menegaskan hubungan erat antara masyarakat Telaga Gunung dan alam sekitar.
Di balik penggunaan katupek aka sebagai pembungkus lapek, terdapat makna filosofis yang mendalam. Kata “katupek aka” sendiri, yang berarti “seperti akar”, melambangkan keterikatan yang kuat dengan tradisi leluhur. Proses pembuatan lapek yang menggunakan katupek aka seolah menjadi simbol dari penghormatan terhadap alam dan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. “Kami memilih katupek aka bukan hanya karena fungsinya, tetapi karena ia melambangkan akar budaya kami,” ujar Ernawati dengan penuh kebanggaan.
Selain itu, tantangan modernisasi dan perubahan gaya hidup juga mulai mengancam kelestarian tradisi ini. Banyak generasi muda yang merasa bahwa tradisi pembuatan lapek menggunakan katupek aka terlalu rumit dan kurang relevan dengan kehidupan mereka yang serba cepat. “Muda-mudi sekarang lebih suka cara yang praktis, mereka jarang sekali tertarik pada tradisi seperti ini,” kata Ernawati. Ini menjadi hambatan besar bagi pelestarian tradisi, karena generasi muda adalah kunci untuk menjaga kelangsungan budaya ini. Untuk itu, masyarakat Telaga Gunung merasa perlu untuk melakukan upaya-upaya lebih dalam memperkenalkan tradisi ini kepada generasi muda dan masyarakat. Folklor bukan lisan seperti katupek aka tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga sumber inspirasi bagi kita untuk menjaga hubungan antara alam, keluarga, dan komunitas. Semoga tradisi ini terus terjaga dan menjadi kebanggaan masyarakat Telaga Gunung, serta dapat menginspirasi daerah lain untuk tetap menghargai warisan budaya masing-masing.