Puisi-puisi Jaka Satria Pasaribu
Hujan pada Senin Pagi
Hujan yang turun pagi ini menambah tumpukan kantuk yang tak bisa dibiarkan, dinginnya air seakan menjadi musuh yang tiba tiba. Handuk yang sedari tadi di pundak beberapa kali menjelma menjadi selimut hangat penghantar mimpi, lalu kasur ini tak henti memeluk tubuh yang semakin tak berdaya.
Senin pagi ibarat perang dalam tujuh hari, berlalu dengan sekelebat obsesi menuju akhir pekan. Ia menjelma pimpinan dengan wajah menyeramkan, segala tuntutan tergambar dalam pikiran. Sedangkan anak-anak sekolah membawa peta pikiran di dalam tas. Wajahnya sumringah tapi gelisah. Ia membawa tawa dalam angkutan bersama teman-temannya, namun meninggalkan cemas di gerbang sekolah. Pun aku, di padatnya jalanan kota berpacu dengan waktu di lampu merah yang tak henti-henti menyala. Rasanya ingin kubungkam saja warnanya, dan aku lalulalang sesuka hati.
Kedua roda kendaraan melaju cepat seakan saling menyalip di jalanan berlubang, belum lagi akar-akar pohon mahoni yang tiba-tiba menjadi polisi tidur di bahu jalan. Aku sering mengutuk polisi-polisi tidur ini setiap kali laju kendaraan harus berhenti di depan perkantoran. Harus menurunkan ego saat mengalah pada kendaraan berongga itu, meski sesekali aku ciut dengan tatapan lampu yang sekilas tampak arogan.
Haruskah orang kecil sepertiku selalu mengalah? Batinku
Kota memang mengajarkan kesenjangan, seragam dan atribut menjadi kebanggaan. Kendaraan saling menunjukkan keangkuhan sedangkan gedung-gedung menjadi tempat tinggal yang tinggi dengan segala ego. Tatapannya menancap ke bawah, menjatuhkan apapun yang sederhana.
Kota memang selalu begitu. Menawarkan keindahan dan kemewahan. Orang-orang menjadi manusia dengan uang, dan uang dijadikan tuhan, sedangkan Tuhan dilupakan
Malam ke-Tujuh
Agra,
gelang laminasi masih utuh
dirawat ibu seperti bayi
di kamar kecil sebelah rindu.
langit-langit biru,
buayan jarik, serta bola-bola kecil
terikat di dinding waktu
sebagai doa sebelum tidur.
___…___
Setelah tangis pertamamu
ada yang lain saat itu: nyaringmu berbeda
kau tak memanggil ayah atau ibu.
matamu terbuka menuju aku
bibirmu bergetar kelu tak berbuku
kubaca sekali lagi, kau mulai membiru.
Agra,
gerimis mulai menyukaimu
air yang jatuh waktu itu
membawa debu ke dadaku
hingar jingar pikiran
membanjiri perasaan. lalu
andai waktu itu
aku mampu menjadi api
agar hangat tubuhmu tetap terjaga
dan dingin hujan tak mampu membiru
di bibirmu yang selalu gigil.
___…___
langit gelap menyeringai selama seminggu
aku tak bisa kantuk di kursi tunggu
kusyairkan nafas nafas hujan
dan kau hirup dalam inkubator.
malam panjang, suara keheningan
kudengar kau panggil ayah
lalu ibumu terbangun, berdoa.
sawang di bawah kursi tunggu
tak henti menelan kehidupan
kau tahu, aku begitu takut
menyaksikan kenyataan hidup
memilih atau dipilih.
panggilan
dari balik pintu kaca ruang PICU
membekukan tubuhku, tak ada suara
atau waktu yang berdentang. lenyap
aku aksa dari harapan
hilang separuh sadar.
hingga fana kembali pada nyata,
tubuhmu kaku di pangkuanku.
Agra,
sepanjang jalan kupeluk
ragamu yang dingin
kuresapkan ke tubuhku
biarkan kita menyatu
menjadi abhati di surga nanti.
Agra,
kuukir namamu
di nisan kayu
tersemat namaku.
Mursala
Mursala, mungkinkah ia asal kata musalla
lalu dipanggil dengan kekinian zaman,
Iakah tempat singgah para saudagar Arab – India – Cina
untuk menuntaskan doa dalam riuh badai samudera
lalu berlayar membawa rempah rempah
menuju pelabuhan Barus yang mahsyur
Sekitarnya pulau pulau berbadan sujud
memintal setiap ombak yang datang:
persinggahan kapal kapal berlayar
tempat tidur para pembawa ajaran Islam
makam makam bersemayam bertuliskan
simbol-simbol kerajaan masa lampau.
Mursala, tempat sembahyang
airnya tawar, mengalir di lautan luas
tempat menyucikan diri dari
raga yang kusam lekat penuh alfa
Mursala, cerita turun temurun
dari arab sampai cina
kini hilang berganti masa
berganti sejarah.
film tentang gorilla
Ikan ikan di lautan luas
berenang melintasi perahu nelayan
lumba-lumba menunjukkan pesonanya
dengan senyum merekah pada
camar camar yang berterbangan
Deretan pulau pulau tak henti memanjakan mata
meminta singgah, dengan pasir berwarna
halus dan lembutnya mengingatkan pada
perasaan cinta pasangan sejoli yang baru menikah
Tak henti-henti Mursala memberi panorama
Air terjun di tengah lautan menjulang tinggi
menjatuhkan segala ego ke samudera luas,
maka setiap kata terucap adalah doa
di atas perahu nelayan
Singgahlah, Mursala menawarkan pesona sejarah
dengan kecentilan eksotisme tubuhnya;
ikan ikan akan menyambut di beningnya cahaya
dan kau akan membawa pulang kenangan
jangan lupa, tinggalkan kebaikan di sana
bawa pulang segala sampah yang merusak
perasaan sejarah yang pernah terukir.
Tentang Penulis
Jaka Satria Pasaribu, kelahiran Kota Sibolga dan menetap di sekitaran kota Medan. Aktif sebagai pengajar di SDIT Al-Jawahir Sunggal dan melatih anak-anak membuat puisi. Karena sampai kapan pun baginya “puisi adalah rasa yang dihirup melalui udara dan menyatu dengan darah.”
Merelakan yang Pergi, Mengemas yang Usang
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
kuukir namamu
di nisan kayu
tersemat namaku.
Puisi merupakan salah satu karya sastra yang memiliki fungsi estetik paling baik dan dominan. Hal ini terbukti bahwa puisi memiliki arti dan makna yang begitu indah. Keindahan puisi dapat diperoleh dari aktivitas pemadatan yakni mengemukakan sesuatu secara garis besarnya saja, sehingga puisi yang memiliki esensi dan menjadi ekspresi esensi. Kemudian ekpresi yang disampaikan melalui kiasan merupakan ekspresi tidak langsung. Ketaklangsungan ekspresi dalam puisi disebabkan oleh penggantian arti, penyimpanan arti, dan penciptaan arti (Pradopo, 2009).
Pada dasarnya, menulis puisi adalah mengekspresikan pengalaman batin dengan media kata-kata. Pengalaman yang diekspresikannya itu bisa berupa pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, atau hubungan manusia dengan alam. Menulis puisi merupakan sebuah kegiatan ruhani, yang mengekspresikan hubungan manusia dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik (Maulana, 2012). Untuk dapat mengekspresikan pengalaman tersebut, lebih lanjut Maulana mengungkapkan bahwa penulis harus mampu mengkreasi bahasa ungkap melalui kosa kata yang dipilih dan dipahaminya secara sungguh-sungguh dengan bahasa yang dikuasainya pula.
Selain itu, menulis puisi tidak bisa dengan menuliskan sesuatu yang tidak kita alami secara fisik maupun metafisik. Jika hal itu dipaksakan, maka hasilnya adalah sebuah puisi hampa makna dan bahkan hampa rasa karena tidak mengandung penghayatan atas obyek yang ditulis. Secara sederhana, menulis puisi merupakan pekerjaan mengonkretkan sesuatu yang abstrak dengan menggunakan sarana bahasa.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya Jaka Satria Pasaribu. Ketiga puisi penulis yang berprofesi sebagai guru tersebut berjudul “Hujan pada Senin Pagi”, “Malam Ketujuh”, dan “Mursala.”
Jaka menggunakan struktur kalimat panjang dalam mengungkapkan gagasan melalui puisinya. Kalimat-kalimat tersebut menyusun narasi dramatis yang membuat pembaca masuk ke dalam realitas imajiner yang dikembangkan penyair. Kalimat-kalimat informatif yang menyusun bait sangat menyerupai bahasa prosa, ‘Hujan yang turun pagi ini menambah tumpukan kantuk yang tak bisa dibiarkan, dinginnya air seakan menjadi musuh yang tiba tiba. Handuk yang sedari tadi di pundak beberapa kali menjelma menjadi selimut hangat penghantar mimpi, lalu kasur ini tak henti memeluk tubuh yang semakin tak berdaya.’ Beberapa frasa memberi efek majasi, seperti ‘tumpukan kantuk’, ‘selimut hangat’, serta klausa kasur ‘memeluk tubuh’. Semuanya berujung pada gambaran kodisi pagi yang menimbulkan perasaan malas.
Lebih lanjut pada bait berikutnya penulis menggambarkan apa yang disebut sindrom I Hate Monday yang diderita para karyawan karena harus kembali pada realita bahwa liburan sudah selesai, masa berleha-leha untuk menyenangkan diri pribadi sudah habis, dan harus kembali bekerja di hari Senin. Penulis menggambarkan kegundahan menyambut hari Senin itu dengan ‘Senin pagi ibarat perang dalam tujuh hari, berlalu dengan sekelebat obsesi menuju akhir pekan. Ia menjelma pimpinan dengan wajah menyeramkan….’ Bayangan tumpukan tugas yang menanti membuat semangat surut, ditambah lagi suasana jalanan yang buruk penuh lubang dan tanggul serta ego pengendara-pengendara lain adalah ujian di Senin pagi.
Kalimat-kalimat deskriptif sangat membantu mengonkretkan realita, namun ketika terlalu lugas seperti ‘Aku sering mengutuk polisi-polisi tidur ini setiap kali laju kendaraan harus berhenti di depan perkantoran. Harus menurunkan ego saat mengalah….’ membuat teks ini menjadi sedikit goyah. Ekspresi esensi yang disebut Pradopo di atas jadi hilang di sini.
Azhari (2014) mengungkapkan bahwa proses kontemplasi yang dilakukan penyair dapat membentuk ciri-ciri terhadap tema yang diambilnya. Perenungan yang dimaksud adalah proses batiniah yang dilakukan oleh penyair sebelum menciptakan sebuah karya. Proses merenung sering memunculkan ide-ide yang tak terduga dan dari hal tersebutlah muncul makna-makna yang lebih dalam dari setiap diksi yang dipakai oleh penyair dalam puisinya. Setiap makna selalu memiliki tanda-tanda yang dapat dihubungkan untuk membentuk suatu makna baru yang mencakup keseluruhan isi karya puisi tersebut. Setiap penyair biasanya mempunyai waktu-waktu tertentu yang digunakan sebagai titik kontemplasinya untuk menaruh tanda-tanda di setiap makna puisinya.
Puisi kedua berbicara tentang kehilangan, lebih khusus pedihnya kehilangan seorang anak yang baru lahir seminggu. Entah ini pengalaman pribadi penyair atau hanya hasil perenungan, puisi ini sangat intens mengutas keperihan yang dirasakan seorang ayah yang harus merelakan bayi mungilnya membeku dijemput ajal. Secara bertahap, Jaka mengungkapkan kerisauan yang bermula setelah sang bayi mulai membiru kekurangan oksigen dan mesti dirawat di kotak inkubator setelah mengeluarkan lengkingan tangis pertamanya.
Tidak ada informasi pasti, namun dilihat dari gejala yang dikisahkan penulis melalui puisinya yang sangat kronologis, bayi Agra kemungkinan mengalami asfiksia neonatorum. Menurut artikel di Halodoc.com, asfiksia neonatorum terjadi ketika bayi tidak mendapatkan oksigen yang memadai saat lahir. Akibatnya, kondisi ini membuat bayi kesulitan bernapas. Kurangnya pasokan oksigen bisa menumpuk asam berlebih dalam darah sampai mengancam nyawa bayi. Dalam kasus ringan bayi dapat pulih sepenuhnya. Namun, pada kasus yang parah, kondisi ini bisa menyebabkan kerusakan otak dan organ secara permanen.
Dengan gaya naratif yang liris, Jaka berhasil mentransfer duka cita mendalam itu ke relung hati pembaca; bagaimana jiwa orang tua hancur begitu mengetahui buah hatinya sedang tidak baik-baik saja, lebih-lebih ini buah hati yang baru beberapa saat lahir ke dunia, segala upaya pertolongan yang menguras fisik, psikis, dan pikiran logis sehingga bisa terbit amarah yang menganggap Tuhan tidak adil, tegangan antara pasrah bertawakal dan dorongan hati untuk menggugat Ilahi, hingga akhirnya fakta membuka mata: jasad fana telah kembali ke tanah dikubur di liang lahat. Innalillahi wainnailaihi rajiun. Seperti setangkai mawar, puisi ini indah namun menggoreskan perih.
Sepertinya, kekuatan literer Jaka terletak pada kemampuannya merangkai kata-kata dalam struktur yang panjang. Struktur panjang yang tetap menunjukkan hubungan yang solid dan kompak. Ada fokus yang jelas di dalam setiap bait, bukan lagak berpanjang-panjang bermain akrobatik kata yang tak berujung pangkal. Walau memang, struktur panjang ini membuat Jaka dapat terlena menjadi lupa sedang menulis puisi, bukan prosa (sekalipun hari ini kedua genre tersebut sudah nyaris tak menampakkan beda yang saklek).
Ini terlihat juga pada puisi ketiga, “Mursala”, yang memakai nama sebuah pulau di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara sebagai judul. Mengutip Kompas.com, Pulau Mursala merupakan pulau terbesar yang dimiliki Kabupaten Tapanuli Tengah, terletak di sebelah barat daya kota Sibolga dan masuk dalam wilayah Kecamatan Tapian Nauli dengan airnya biru jernih memukau. Pulau ini berada di antara Pulau Sumatera dan Pulau Nias. Luas Pulau Mursala sendiri yang menjadi satu-satunya pulau raksasa, mencapai 8.000 hektar. Tapi, tak ada hamparan pasir nan luas, pemukiman penduduk atau aktivitas kehidupan manusia di pulau tersebut. Pasalnya, walaupun paling luas di antara pulau lainnya, Pulau Mursala merupakan pulau dengan benteng tinggi berupa tebing dan bebatuan granit di tiap sudut pulau.
Tentu saja puisi Jaka ini bukan narasi brosur promosi wisata. Puisi ini dengan elok menyuguhkan diksi sejarah dan lema geografi yang mengundang rasa penasaran: ‘Mursala, mungkinkah ia asal kata musalla/ lalu dipanggil dengan kekinian zaman,/ Iakah tempat singgah para saudagar Arab – India – Cina/ untuk menuntaskan doa dalam riuh badai samudera/ lalu berlayar membawa rempah rempah/ menuju pelabuhan Barus yang mahsyur’. Sibolga dan Pelabuhan Barus adalah nama yang lekat dengan riwayat jalur rempah Nusantara yang legendaris. Dari daerah ini diekspor ke mancanegara bahan baku alami untuk membuat parfum yang menyebar aroma wangi ke seluruh penjuru dunia.
Menurut Acharya (2022), tidak ada karya sastra yang dapat tumbuh dalam kehampaan, dan latar adalah ide utama sastra. Ruang-ruang sastra ini, tidak seperti beberapa batasan kaku ilmu bumi seperti geografi, dapat bergerak bebas antara nyata dan imajiner. Dengan melakukan itu, ia memunculkan rasa tempat atau semangat tempat yang menciptakan dan menciptakan kembali geografi yang dikenal. Sekali lagi, sastra menunjukkan kapasitas langka untuk merujuk pada dimensi sosial, budaya, dan politik tempat yang membuat ruang lingkup kritik ruang sastra menjadi sangat bervariasi dan berbeda.
Puisi Mursala karya Jaka ini menunjukkan gambaran geografi daerah maritim yang diungkapkan dengan kesataran geografis dan lingkungan yang berbalut metafora membuat informasinya penuh pesona dan menjejakkan pesan bijak untuk peduli pada sejarah peradaban dan pelestarian lingkuan hayati demi kemaslahatan hidup di dunia. Jaka menulis, ‘Singgahlah, Mursala menawarkan pesona sejarah/ dengan kecentilan eksotisme tubuhnya;/ ikan ikan akan menyambut di beningnya cahaya/ dan kau akan membawa pulang kenangan/ jangan lupa, tinggalkan kebaikan di sana/ bawa pulang segala sampah yang merusak/ perasaan sejarah yang pernah terukir.’
Tak hanya menawarkan puisi duka cita yang menghiba hati, pak guru ini juga menyuguhkan kita puisi penuh pesona yang sedap dibaca.[]
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan bagi penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.