Siapa yang suka menonton drama Korea? Menonton drama Korea ternyata memengaruhi perkembangan kosakata dalam bahasa Indonesia. Fenomena ini berbeda dengan tren dahulu. Dahulu juga ada tren di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yakni menonton film India dan film Cina. Kedua film tersebut diputar secara rutin di televisi Indonesia. Ada yang diputar menggunakan bahasa asli yang dibantu dengan teks bahasa Indonesia, ada juga yang diputar dengan menggunakan alih suara dari bahasa asal ke dalam bahasa Indonesia.
Meskipun ada yang menggunakan bahasa asli, penutur Indonesia tidak terpengaruh dengan kosakata yang didengar sehingga hingga hari ini tidak banyak kosakata bahasa India yang terserap ke dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, kosakata bahasa Cina jika ditelusuri lebih lanjut, cenderung dipengaruhi oleh orang-orang Cina yang datang berdagang ke Indonesia, menikah dengan orang Indonesia asli, dan mereka kemudian menjadi bagian dari warga negara Indonesia. Pernikahan dan perdagangan tersebut menyebabkan kosakata Cina diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Edisi VI), sudah tercatat sebanyak 117 kosakata bahasa Cina yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan juga beragam, baik di bidang kuliner, angka dan bilangan, tata busana, profesi, olahraga, dan kata sapaan. Di antara kosakata yang dimaksud adalah cakwe, dimsum, pangsit (kuliner), ci, cun, cepek, jicapgo (angka dan bilangan), pangsi (tata busana), sinse, cincu, compoh (profesi), wushu (olahraga), dan engkoh, engkong, taci (kata sapaan).
Sementara itu, apakah masyarakat India tidak ada yang datang berdagang ke Indonesia? Orang India juga ada yang datang berdagang ke Indonesia, menikah dengan orang Indonesia, tetapi penuturnya tidak mampu memengaruhi penutur bahasa Indonesia agar menyerap kosakata yang mereka miliki. Dalam KBBI Edisi VI, hanya tercatat tiga kata dari bahasa India yang terserap ke dalam bahasa Indonesia, yakni capati ‘roti yang dapat dimakan dengan atau tanpa kari’, nan ‘roti yang ditaburi wijen atau jintan hitam’, dan parata ‘roti canai’. Ketiga kosakata ini pun baru masuk dalam empat tahun terakhir. Dalam KBBI Edisi V, belum ada kosakata bahasa Cina dalam KBBI.
Sebaliknya, bahasa Korea justru membawa pengaruh yang unik. Kosakata ini juga baru masuk ke dalam KBBI Edisi VI, tetapi sudah diserap dalam jumlah yang lebih banyak dari bahasa India. Jika ditelusuri dari sejarah masyarakat Indonesia, memang telah terjadi hubungan diplomatik antara Korea dan Indonesia dalam lima puluh tahun terakhir. Namun, terkait penutur Indonesia yang menikah dengan penutur Korea saat ini sepertinya amat sedikit. Penutur bahasa Korea belum memiliki komunitas yang besar di Indonesia, seperti penutur bahasa Cina dan penutur bahasa India. Lalu, bagaimana bahasa Korea masuk begitu banyak ke dalam bahasa Indonesia?
Masuknya bahasa Korea ke dalam bahasa Indonesia terjadi melalui fenomena budaya yang dikenal dengan Korean Wave atau Gelombang Korea (hallyu). Masyarakat Indonesia menerima bahasa dan budaya Korea melalui berbagai bentuk. Che-sŏng Chŏn dan Yuwanto (2014) dalam buku yang berjudul Era Emas Hubungan Indonesia-Korea: Pertukaran Kultural melalui Investasi dan Migrasi menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia menerima bahasa dan budaya Korea tersebut melalui K-pop (Korean pop), K-drama (Korean drama), film, animasi, game, dan K-food (Korean food).
Penutur bahasa Korea yang berbicara dengan nada yang enak didengar, dengan wajah yang enak dipandang, serta dengan kebudayaan yang unik, mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia menerima beberapa kosakata dengan mudah sebagaimana tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Edisi VI). Telah ada dua belas kosakata bahasa Korea yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kedua belas kosakata tersebut berkenaan dengan makanan berupa bancan ‘makanan yang terbuat dari daging, ikan, dan sayur’, bibimbap ‘makanan khas yang terbuat dari nasi, daging, dan sayuran’, gocujang ‘pasta cabai merah’, kimci ‘acar pedas yang terbuat dari sayuran’, mandu ‘pangsit Korea’; minuman berupa bingsu ‘es serut yang ditambah gula, kacang merah, dan buah’; pakaian berupa hanbok ‘pakaian tradisional Korea’; karya sastra berupa manhwa ‘komik Korea’; hiburan berupa mokbang/mukbang ‘siaran langsung atau video yang menunjukkan orang makan makanan dalam jumlah besar’; serta kata sapaan berupa oppa ‘kakak laki-laki’.
Frulyndese Karunia Simbar (2016) melalui penelitiannya yang berjudul “Fenomena Konsumsi Budaya Korea pada Anak Muda di Kota Manado” menjelaskan bahwa hal tersebut disebut dengan peminjaman linguistik. Masyarakat Indonesia menerima kosakata bahasa Korea, lalu menggunakannya dalam komunikasi bahasa Indonesia. Meskipun orang Korea secara langsung tidak datang ke Indonesia dan melakukan pernikahan dengan orang-orang Indonesia, kehadiran media digital atau terjadiya digitalisasi telah mendekatkan jarak yang ada antara Korea dan Indonesia. Hallyu menyebabkan segala hal tentang Korea sampai kepada masyarakat Indonesia.
Suhandano, Ria Febrina, Arina Isti’anah, dan Hwang Who Young (2024) melalui penelitiannya yang berjudul “Korean Loanwords in Indonesian: A Corpus Based Study” menjelaskan bahwa media sosial menyebabkan bahasa Korea memperkaya kosakata bahasa Indonesia modern. Dengan melakukan kajian menggunakan korpus bahasa dari media sosial Instagram dan X (dulu Twitter), mereka menemukan bahwa dalam akun-akun yang membahas pendidikan Korea, musik, drama, aktor dan aktris, serta topik kuliner, banyak kosakata bahasa Korea yang dipakai masyarakat Indonesia. Kosakata tersebut muncul di antara unggahan dan komentar berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan secara linguistik telah terjadi campur kode dalam masyarakat Indonesia secara tidak sadar sehingga lama-kelamaan kosakata dari bahasa Korea tersebut berbaur dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia.
Dengan melihat frekuensi kata yang dipakai dalam korpus, penutur bahasa Indonesia ternyata telah menerima 43 kata benda, 2 kata sifat, 4 kata keterangan, dan 3 seruan dari bahasa Korea. Kosakata tersebut mencerminkan berbagai domain, seperti kata sapaan, salam, kata ganti, profesi, ekonomi, musim, waktu, sejarah, peristiwa sejarah, budaya, seni, kerajinan, seni kuliner, hiburan, dan kosakata umum. Beberapa kata yang dimaksud adalah daebak ‘luar biasa’, gomawo, kamsahamnida ‘terima kasih’, hyeong ‘kakak laki-laki (digunakan oleh laki-laki)’, eonni ‘kakak perempuan’, ajeossi ‘paman’, chingu ‘teman’, dan sapaan jagiya ‘sayang’ untuk hubungan yang lebih intim. Orang Indonesia mengasimilasi dan menggunakan kata sapaan ini dalam komunikasi mereka dalam unggahan dan kolom komentar. Salah satu contoh dapat dilihat berikut.
Ahjussi Ridwan Kamil sangat tampan.
Ridwan Kamil merupakan Gubernur Jawa Barat periode 2018—2023. Sebagai seorang pemimpin, Ridwan Kamil dinilai oleh warganet Indonesia sebagai orang yang tampan. Dalam standardisasi masyarakat Indonesia saat ini, laki-laki yang tampan adalah laki-laki dari Korea sehingga mereka menilai Ridwan Kamil sama tampannya dengan selebriti Korea. Namun, karena Ridwan Kamil berusia di atas lima puluh tahun, mereka tidak memanggilnya dengan oppa ‘kakak laki-laki’, tetapi dengan ajeossi ‘paman’. Kata ajeossi pun dipakai untuk menunjukkan bahwa mereka mengenal Ridwan Kamil tersebut sebagai sosok pemimpin yang ramah kepada masyarakat.
Tidak hanya berkenaan dengan kata sapaan, ucapan terima kasih dalam bahasa Korea juga menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi dengan sesama penutur bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.
Alhamdulillah dapet emailnya, gomawo.
Kata gomawo dalam kalimat tersebut menunjukkan ekspresi penutur bahasa Indonesia yang sudah terpengaruh dengan budaya Korea. Seharusnya mereka dapat menggunakan kata makasih atau terima kasih. Namun, mereka malah memilih gomawo untuk menunjukkan kata tersebut sebagai ekspresi yang sangat sopan terhadap lawan bicara. Gomawo kemudian menjadi alternatif bagi masyarakat Indonesia dalam berterima kasih.
Kata ajeossi dan gomawo sangat sering terdengar di antara penutur bahasa Indonesia saat ini, sama halnya dengan kosakata kuliner, seperti topokki dan kimbap, juga kata sifat berupa kiyowo dan daebak. Kosakata ini belum ada dalam bahasa Indonesia, tetapi dapat diprediksi akan masuk dalam KBBI dalam beberapa tahun ke depan. Masyarakat Indonesia sudah menjadikan kosakata tersebut sebagai bagian dari komunikasi tanpa merasa asing dengan maknanya.
Masyarakat Indonesia saat ini sudah menjadikan topokki dan kimbap sebagai cemilan sebagaimana mereka menerima bakso dan mie ayam dari Cina sebagai makanan sehari-hari. Penerimaan tersebut terjadi melalui drama dan juga penyebaran informasi di media sosial. Mereka tertarik dengan sajian yang ditayangkan, tertarik dengan ekspresi yag diungkapkan, dan tertarik dengan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Korea.
Dibalik penerimaan tersebut, tampak bahwa digitalisasi telah memberi strategi baru dalam penyebaran kosakata asing ke dalam bahasa Indonesia. Dalam menerima kosakata asing, tidak harus terjadi melalui komunikasi secara langsung. Melalui film, drama, dan video di media sosial, masyarakat dapat menerima kata serapan secara cepat. Media sosial menyebabkan jarak antara satu wilayah dengan wilayah lain menjadi tidak berbatas. Bahasa, tradisi, dan budaya dari suku bangsa lain dapat dengan mudah tersebar kepada masyarakat Indonesia. Dengan demikian, digitalisasi menjadi strategi baru bagi masyarakat Indonesia dalam menerima kata serapan dari bahasa asing. Dalam hal ini, terwujud sebagai strategi baru bagi masyarakat Indonesia dalam menerima kosakata bahasa Korea.