Oleh: Riza Andesca Putra
(Dosen Departemen Pembangunan dan Bisnis Peternakan Unand & Mahasiswa Program Doktor Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan UGM)
Hari ini, 20 Oktober 2024, Pemerintah Indonesia akan memiliki Presiden dan Wakil Presiden baru, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Seyogyanya, pemerintahan baru selalu ada tertompang harapan dan keinginan untuk bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Namun, belum dilantik, pemerintahan baru sudah menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak. Dimulai pidato presiden terpilih, Prabowo Subianto, pada acara BNI Investor Daily Summit 2024, 9 oktober lalu, menyatakan pemerintahannya ke depan akan diisi oleh kabinet gemuk. Dari informasi yang telah beredar, kementerian yang saat ini berjumlah 34 kementerian, akan bertambah menjadi 44 atau 46 kementerian. Prosesi pemanggilan tokoh-tokoh ke kediaman Pak Probowo di jalan Kartanegara pada 14-15 Oktober 2024 mengkonfirmasi itu semua. Setidaknya 49 orang calon menteri dan 59 orang calon wakil menteri dan atau kepala badan datang memenuhi panggilan dan menandatangani pakta integritas.
Pak Prabowo beralasan, Indonesia ini negara besar dan mesti dikelola oleh lebih banyak orang supaya lebih efektif dalam mencapai tujuan pembangunan. Dengan pikiran positif, kita dapat memahami maksud dan tujuan Pak Probowo. Sebagai presiden, haknya pula menentukan bagaimana cara bangsa ini dalam mencapai tujuan yang diamanahkan kontitusi. Namun, menambah jumlah, meleburkan, mengganti, atau memecah kementerian yang sudah ada akan menimbulkan berbagai dampak. Selain dampak positif yang dicitakan, dampak negatif juga menaungi.
Penulis mencatat ada beberapa dampak negatif yang akan timbul jika menambah jumlah, meleburkan, mengganti, atau memecah kementerian, di antaranya: pertama, terganggunya pelayanan publik. Dengan pergantian kementerian, akan ada struktur baru, sistem baru, aturan baru, pegawai baru, hingga perangkat teknologi yang berbeda yang tidak serta merta ada ketika perubahan kementerian itu terjadi. Butuh waktu dan proses yang mendalam untuk penyesuaian. Waktu yang seharusnya digunakan untuk melayani masyarakat tersita untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan baru yang ada di kementerian.
Kedua, pemborosan anggaran. Mengganti atau mendirikan kementerian baru membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setidaknya diperlukan biaya untuk pengadaan infrastruktur kantor, perubahan logo, penyesuaian perangkat teknologi baru, pelatihan pegawai, mencetak plang nama, blanko administrasi dan biaya-biaya yang lain. Kita ambil contoh untuk satu item biaya, seperti mencetak plang nama institusi pada lingkup Kementerian Pendidikan. Menurut data BPS tahun 2023, terdapat 219.485 sekolah negeri (SD, SMP, SMA/SMK) yang ada di Indonesia. Jika terjadi perubahan Kementerian Pendidikan, maka seluruh sekolah negeri akan mengganti plang namanya. Jika satu sekeloh butuh biaya Rp 1.000.000,- saja, secara total negara akan mengeluarkan biaya penggantian plang nama sebesar Rp. 219,5 M. Angka yang lumayan besar untuk satu item kecil pemborosan saja, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk program-program yang produktif dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Ketiga, kebingungan hukum. Perubahan dan penambahan kementerian pasti disertai dengan perubahan aturan-aturan yang ada. Dimulai dengan aturan setingkat undang-undang sampai aturan teknis operasional. Proses ini melibatkan banyak pihak, baik legislatif, eksekutif dari berbagai tingkatan yang memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Proses ini tidak pernah bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Butuh waktu berbulan bahkan bertahun untuk bisa menyelesaikannya. Tumpang tindih antara regulasi baru dan lama juga akan terjadi, karena seringkali aturan yang baru tidak sepenuhnya dapat mengganti aturan lama. Bahkan tumpang tindih dengan lembaga lain tidak bisa dihindakan. Diperlukan korban atau pengaduan dari masyarakat terlebih dahulu, baru aturannya disesuaikan. Masa ini adalah masa kebingungan hukum dari semua yang terlibat, baik pegawai pemerintah apalagi masyarakat pengguna jasa.
Keempat, menurunkan kepercayaan investor. Pergantian kementerian, apalagi jika sering dilakukan, akan membuat investor terganggu dalam menginvestasikan dananya di Indonesia. Pergantian kementerian sudah pasti disertai dengan aturan dan sistem baru yang mau tidak mau si investor juga harus menyesuaikan diri. Proses menyesuaikan diri ini tentu tidak gratis, pasti ada biaya dan waktu yang terpakai. Dari kacamata investor, proses ini tidak menarik dalam mengembangkan bisnisnya.
Kelima, penurunan kinerja pembangunan. Dengan terganggunya pelayanan publik, terjadinya pemborosan anggaran negara, terjadi kebingungan hukum dan menurunnya kepercayaan investor, maka dengan sendirinya kinerja pembangunan akan menurun. Pemerintah sibuk dengan penyesuaian, baik penyesuaian sistem, anggaran, infrastruktur maupun pegawainya. Program-program pembangunan yang sudah direncanakan relatif akan terabaikan. Masyarakat secara tidak langsung diminta untuk sabar dan menerima kenyataan.
Lima catatan di atas adalah refleksi dari pengalaman yang sudah pernah terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Penulis pun sudah pernah menjadi korban akibat penggabungan kembali Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2019 yang kabarnya tahun ini akan dipisah lagi. Satu hal yang mesti menjadi catatan penting untuk semua presiden di Indonesia, konsistensi kebijakan. Seringkali pergantian pemerintahan atau bahkan menteri membawa kebijakan baru dan meninggalkan kebijakan lama, meskipun kebijakan sebelumnya sudah menunjukan hasil yang positif. Jika kondisi ini terjadi terus menerus, Indonesia akan berada dalam masa transisi yang tak berkesudahan, jauh dari kematangan.
Sebagai negara yang besar, mestinya Indonesia membangun kebijakan yang lebih konsisten dan berkelanjutan. Reformasi birokrasi perlu lebih terarah dengan mempertimbangkan efektivitas jangka panjang, tidak sekedar pencitraan dan emosional tokoh yang sedang menjabat. Penulis berpendapat, hanya dengan cara ini Indonesia bisa menjadi negara maju ataupun macan asia seperti yang dicita-citakan oleh Pak Prabowo, presiden kita.