Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Senja mulai membayang. Cahaya merah mulai terbentang di ufuk barat. Burung dara yang biasanya membersamai pengunjung di sepanjang Alun-Alun Kota Malang sudah kembali ke sarangnya. Suasana di taman masih ramai dijubeli pengunjung. Pasangan-pasangan muda duduk di bangku-bangku taman tanpa terusik. Pengunjung yang lain berfoto-foto mengabadikan setiap momen yang mereka lewati. Bapak-bapak dan emak-emak pedagang bakulan dan emperan berjejer di sepanjang jalan menawarkan dagangan mereka. Kereta odong-odong terparkir di pintu keluar taman menunggu penumpang untuk berkeliling Alun-Alun. Lampu warna warni mulai menyala. Semburat senja memperindah suasana. Dari Menara Masjid Agung Jami’ Malang terdengar ayat-ayat suci dilantunkan menyambut datangnya waktu magrib.
Magrib pun datang. Kumandang azan dari masjid Agung Jami’ Malang membelah senja. Juga dari masjid-masjid lain di sekitar tempat itu. Sebagian besar orang yang sedang rehat di taman bergegas menuju masjid. Sebagian yang lain tetap di tempat mereka. Tidak hanya dari taman yang berhadap-hadapan dengan masjid, dari berbagai sisi orang datang memenuhi seruan suci itu. Tua muda laki-laki perempuan. Masjid Agung Jami’ Malang yang megah itu dalam sekejab dipenuhi jemaah Magrib yang datang dari berbagai arah. Rasanya nyaman sekali memasuki rumah Allah yang bersih dan rapi itu. Tempat beruduknya bersih. Toiletnya juga bersih. Di depan ada tempat penitipan sendal dan barang bawaan. Di depan pintu masuk sebelah kanan saya melihat sebuah ATM yang lain dari yang biasa, yaitu ATM beras dengan moto “berbagi bersama peduli sesama”. Berdasarkan beberapa paparan di dinding ATM beras tersebut, saya menyimpulkan bahwa ATM ini merupakan sarana masjid untuk mengumpulkan sedekah dari para jemaah yang nantinya akan dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Suatu program sosial masjid untuk kemaslahatan jemaah. Suasana di dalam masjid juga nyaman karena karpetnya yang bagus dan wangi serta arsitektur ruangan yang menyegarkan.
Selesai magrib berjemaah, banyak jemaah menikmati senja sambil duduk-duduk di pelataran masjid yang nyaman sambil menatap jauh meninkmati kerdap-kerdip lampu taman air mancur alun-alun. Sementara itu, di depan masjid, di seberang jalan, di pintu barat alun-alun banyak pula orang berhilir mudik yang hendak ke dan dari masjid tersebut.
Di antara yang banyak itu, tidak sedikit yang terpukau terkagum-kagum dengan kemegahan masjid Agung Jami’ Malang di senja yang cerah itu. Di antara mereka yang terpukau itu, ada empat orang turis mancanegara. Tatapan mereka tidak beranjak dari arah masjid. Mereka memoto dan memperhatikan setiap jengkal masjid sambil menunjuk bagian-bagian tertentu dari masjid yang bersejarah itu. Mereka bercakap-cakap sesama mereka dengan bahasa yang bukan Inggris. Lama mereka tidak beranjak dari tempat mereka berdiri sambil terus mengamati masjid. Lambat laun mereka mulai bergerak mendekati pintu gerbang masjid sambil terus membidikkan lensa kamera telpon genggam mereka. Agaknya ada keinginan mereka untuk masuk ke dalam masjid demi melihat dari dekat arsitektur dan bangunan masjid yang sudah berdiri sejak tahun 1853 itu.
Saya diam-diam memperhatikan ke empat turis asing itu. Ingin tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Setelah lebih kurang 15 menit mereka memperhatikan, memoto, dan mendekati masjid, akhirnya mereka meninggalkan masjid sambil sesekali menoleh ke menara masjid yang gemerlap oleh lampu. Mereka menuju arah utara, lalu sesampai di depan papan nama Alun-Alun Malang meminta anak bujang saya menjebret mereka. Selepas itu mereka menghilang entah ke mana. Selepas turis itu pergi, kami pun berfoto-foto pula di tempat itu.
Selepas berfoto-foto, kami meneruskan perjalanan ke kawasan pendestrian Kayutangan heritage di jalan Basuki Rahmat. Tempat ini mirip-mirip seperti Malioboro di Yogyakarta yang adakalanya diplesetkan menjadi Malangbro. Di sepanjang jalan ini banyak kafe dan warung-warung kekinian. Begitu juga di dalam gang-gang yang ada di kampung Kayutangan. Karena sudah malam, kami hanya berkeliling di pinggir jalan besar dan sedikit masuk kampung yang memang diplot sebagai kawasan wisata. Kami menikmati perjalanan di sana walaupun perut telah lapar.
Kuliner yang ditawarkan kebanyakan adalah kuliner moderen yang kaya gula, masakan Jawa, bakso dan mie pedas, sego sambel malangan, dan sebagainya yang tidak cocok dengan lidah kami. Ramai pengunjung yang menggenggam es krim berlapis-lapis yang entah apa namanya serta mengantre di kafe-kafe dan kedai yang ada. Cari mencari akhirnya kami menemukan warung makan tradisional yang sesuai selera. Kami santap malam di sana dengan harga yang terjangkau. Awalnya saya khawatir akan ada nuthuk seperti pengalaman di Malioboro, tetapi tidak. Harga makanan di kawasan itu sesuai dengan yang dipajang di dinding setiap tempat makan.
Memang suasana di kawasan ini dibuat seperti di Malioboro, tetapi lokasinya agak sempit dan bising karena kendaraan yang lewat tidak dibatasi seperti di Malioboro pada waktu malam hari. Tetapi itu tidak menjadi masalah, Malangbro tetap menarik disinggahi bila kita ke Kota Malang. Ramai orang di sana bersantai dan menikmati kuliner seperti halnya di Malioboro walaupun lokasi Kayutangan heritage ini tidak sepanjang dan selebar kawasan Malioboro.
Kalau di kota Padang, Sumatera Barat ia mirip seperti kawasan jalan Hangtuah terus ke Jalan M. Yamin sampai depan masjid Taqwa Muhammadiyah. Konsep kawasan Kayutangan heritage atau Malangbro ini memang didisain sama persis dengan suasana di Malioboro Yogyakarta. Lampu-lampu hias dan kursi-kursi taman di atas trotoar sama seperti apa yang ada di Malioboro. Agaknya, kopi paste Malioboro seperti pada kawasan Kayutangan heritage ini menjadi kecendrungan kota-kota besar di Indonesia yang menginginkan kawasan tertentu di kota mereka menjadi ikon wisata baru. Malang sebagai kota kedua terbesar di Jawa Timur setelah Surabaya tentu punya keinginan untuk membangun ikon-ikon baru di bidang parawisata yang kelak akan menjadikan mereka tidak hanya sebagai kota pelajar, tetapi juga kota wisata.
Begitulah, perjalanan saya di suatu senja di Alun-Alun Kota Malang, di Masjid Agung Jami’ Malang, dan di Kayutangan heritage Malang mengingatkan saya pada pengalaman mengunjungi kota-kota besar di berbagai tempat di mana mereka memiliki ikon yang nyaman untuk dikunjungi, baik untuk berwisata, berburu kuliner, berbelanja, maupun untuk tujuan ekonomi dan pendidikan. Kini ada kecendrungan kota-kota besar di Indonesia berlomba-lomba membangun kawasan pusat kota dengan menghadirkan konsep yang mirip dengan yang ada di Malioboro Yogyakarta. Terlepas apakan itu meniru atau bukan, yang penting setiap kota harus memiliki ikon di tengah-tengah kota mereka. Bila Malang selama ini terkenal sebagai kota apel, itu agaknya lebih ke Kabupaten Malang. Jadi, tidak salah bila dipusat kota Malang dibangun ikon wisata baru seperti Kayutangan heritage atau Malangbro atau apalah namanya.
Kisah dalam tulisan ini hanyalah refleksi. Saya, istri saya, dan anak saya dapat menikmati suasana yang nyaman berkunjung ke kota Malang walaupun kami hanya mengunjungi tiga tempat dan dalam waktu yang pendek. Suasana yang saya ceritakan ini mungkin juga ada di kota-kota lain di Indonesia, termasuk di kota Padang. Intinya setiap kota mesti memiliki ikonnya masing-masing. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post