Oleh: Ronidin
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Ibarat ungkapan sakali aie gadang, sakali tapian berubah banyak yang berubah di Yogyakarta. Di mata saya, seorang yang telah lama berinteraksi dengan Yogyakarta, perubahan itu terasa tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara nonfisik. Perubahan fisik tentu kasat mata, sedangkan perubahan nonfisik tidak kasat mata. Perubahan yang paling terasa di mata saya adalah mengenai lingkungan sosial. Contoh kecil misalnya adalah perilaku masyarakat di jalan raya. Bila satu dasawarsa yang lalu ketika saya menetap untuk pertama kalinya di Yogyakarta jarang sekali ditemukan pengguna jalan yang cingkahak, tetapi kini di mana-mana ditemukan pengguna jalan yang melampaui batas kultural masyarakat Yogyakarta. Kini, di jalanan Yogyakarta banyak kita temukan motor dengan knalpot brong. Banyak pengendara yang menggeber-geber motornya. Banyak pengendara yang seenak perutnya. Semaunya.
Jalan-jalan di kota Yogyakarta semakin sempit. Bukan karena volume jalannya yang berkurang, tetapi volume kendaraan yang semakin banyak. Jalannya segitu juga, sementara kendaraan terus bertambah. Fenomena ini tentu seperti juga di kota lain di negeri ini. Bila pada jam-jam sibuk, jangan berharap kita akan bisa sampai di tempat tujuan tepat waktu karena waktu kita tersita di jalan. Semua orang keluar secara berbarengan seperti semut yang tercangkul dari sarangnya. Bila kita ingin sampai tidak terlambat dari jadwal, harus berangkat lebih awal. Pada akhir pekan atau tanggal merah, jalan-jalan di Yogyakarta penuh sesak oleh berbagai kendaraan. Pasca-Covid 19, ada kecenderungan orang berlibur ke Yogyakarta tidak lagi hanya terfokus pada akhir pekan, tetapi juga pada tanggal-tanggal merah atau bahkan setiap hari.
Selain suasana di jalan, perubahan yang terlihat di Yogyakarta adalah di lingkungan kos-kosan. Di tempat-tempat kos yang jumlahnya tidak terhitung di Yogyakarta, terbuka pintu gerbang kebebasan. Penghuni-penghuni kos dapat keluar masuk sesukanya. Di atas jam 10 malam masih terlihat anak-anak perempuan yang keluar-masuk kosannya diantar oleh pasangannya. Pengawasan sudah lemah. Siapa yang akan mengawasi. Pemilik kos tentu punya keterbatasan, sedangkan orang tua mereka ada di kampung, ada di daerah yang entah di mana. Mr. X, seorang warga Yogyakarta yang menjadi sumber data saya yang tidak mau disebutkan namanya ketika berbincang-bincang dengan saya mengenai fenomena ini menilai bahwa Yogyakarta sudah seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kota yang para penghuninya sudah sulit melepaskan diri dari fenomena hedonisme dan liberalisme.
Kini bukan fenomena yang aneh bila kita melihat pasangan-pasangan muda yang bisa jadi adalah mahasiswa nongkrong di kafe-kafe, kedai-kedai kopi, tempat-tempat makan yang bukan angkringan, dan sebagainya hingga larut malam. Mereka merasa betah dan nyaman di sana dengan alibi mengerjakan tugas secara bersama. Fenomena ini di satu sisi membuka peluang bisnis yang menggiurkan bagi warga lokal yang berduit, sedangkan di sisi lain secara pelan-pelan membunuh usaha-usaha tradisional yang sudah ada sejak lama. Warga-warga lokal yang tidak berduit hanya mengamin saja melihat perkembangan ini.
Selain itu, perubahan yang terasa di kalangan generasi Z yang ada di Yogyakarta saat ini menurut Mr. X adalah sikap mereka yang acuh. “Anak-anak kos saat ini banyak yang cuek, kurang responsif. Di tempat kos mereka kurang bersosialisasi dengan lingkungan dan cenderung individual atau hanya bergaul dengan teman-teman sekelompoknya. Bila bertemu di jalan mereka tidak menegur. Bila lewat tidak permisi. Bila memasuki kawasan yang harus mematikan mesin kendaraan, mereka tetap saja menyalakannya”, katanya. “Hal ini sangat berbeda dengan kondisi satu dua dasawarsa yang lalu”, katanya lagi. Menurut Mr. X dulu anak-anak di Yogyakarta dibentuk dari kecil untuk disiplin, menghargai orang lain, responsif, dan sebagainya. Seiring perjalanan waktu dan perkembangan teknologi anak-anak itu berubah mengikuti tren yang sedang berkembang. Apalagi Yogyakarta terbuka dengan berbagai kelompok masyarakat lain yang dalam interaksi dan asimilasinya menciptakan berbagai perubahan baik yang kasatmata maupun yang tidak.
Lalu, sebagai orang kampus yang setiap hari berinteraksi dengan lingkungan kampus, saya juga melihat ada perubahan yang terjadi pada gerakan mahasiswa, khususnya di masjid-masjid kampus. Bila sepuluh atau lima belas tahun yang lalu saya datang ke masjid kampus misalnya di UGM atau di UNY, saya akan menemukan berbagai kajian keislaman silih berganti di selenggarakan oleh mahasiswa yang terafiliasi ke dalam lembaga-lembaga dakwah kampus. Kajian-kajian itu dibarengi oleh militansi anak-anak muda penggerak dakwah itu untuk menjadi berarti di tengah derasnya perubahan zaman. Tapi itu dulu, kini kajian-kajian yang ada tidak lagi sesemarak dulu. Aktifis masjid menghilang satu persatu. Kajian-kajian keislaman tidak lagi diminati. Tragiknya, ketika azan berkumandang untuk salat, hanya sebagian kecil dari ratusan mahasiswa yang sedang duduk-duduk di bangku-bangku di sekitaran masjid itu yang datang memenuhi panggilan itu. Mereka cenderung abai tetap saja asyik dengan dunia yang sedang mereka kerjakan. Intinya, dunia pergerakan mahasiswa saat ini saya lihat sedang lesu. Mereka disibukkan dengan dunia baru yang ada dalam genggaman dan kantong-kantong mereka.
Kondisi ini adalah sebuah fakta yang sulit untuk dibantah. Ini adalah fenomena yang mungkin saja tidak hanya terjadi di Yogyakarta, tetapi juga di tempat lain di Indonesia. Kenyataan ini harus diterima sebagai sebuah konsekuensi dari perputaran zaman. Khusus untuk Yogyakarta, bisa jadi yang menjadi pelaku dari setiap perubahan seperti dikatakan di atas bukanlah warga asli Yogyakarta, tetapi para pendatang yang membawa beragam kurenah (perangai) mereka ke sana. Bila saat ini di Yogyakarta kita menemukan anak-anak muda yang suka menggeber-geber kendaraan mereka saat berhenti di lampu merah atau saat konvoi di jalan raya, bisa jadi mereka adalah pendatang yang tidak paham dengan budaya Yogyakarta. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan pula itu dilakukan oleh anak-anak Yogyakarta yang telah terseret kepada dunia baru yang membawa mereka tercerabut dari akar budaya dan tradisi mereka.
Begitulah, Yogyakarta saat ini menuju metropolitasnisme. Berbagai hal berkembang dengan pesat di Yogyakarta. Kehidupan berbagai lapisan masyarakat saat ini dibayang-bayangi hedonisme dan liberalisme. Air gadang yang membawa perubahan mulai mengikis sendi-sendi keistimewaan Yogyakarta. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post