Oleh: Ria Febrina
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Berada dalam ruangan bergaya klasik dengan ornamen beberapa alat perekam masa lalu membuat saya kembali ke masa populernya studio rekaman. Namanya ruangan Bengawan Solo. Di dalamnya ditampilkan proses perekaman sebuah karya musik, mulai dari perekaman, duplikasi, hingga menjadi kaset analog, dan mendistribusikannya kepada masyarakat.
Di tengah ruang juga disajikan alat perekam masa lampau, seperti Oscilloscope yang menampilkan visualisasi dari frekuensi audio yang ditangkap mikrofon, power supply Neumann U 64 yang menyediakan daya ke mikrofon agar dapat mengubah frekuensi suara instrumen musik menjadi elektrik, serta Ampex 622 amplifier + speaker reference yang merupakan speaker monitor portabel model koper saat Lokananta melakukan kegiatan merekam suara di luar ruangan. Di dinding ruangan, terdapat animasi bergerak yang menampilkan semua proses tersebut sehingga kita bisa melihat bagaimana kaset analog berputar di sebuah tape recorder. Setiap sisi di ruangan ini menjadi estetik untuk berfoto sembari mendengarkan alunan musik yang syahdu.
Ruangan tersebut berada di Lokananta, yakni sebuah studio rekaman yang berada di Kota Solo, tepatnya di Jalan Ahmad Yani, No. 379. Studio ini sangat lengkap dan paling mewah pada zamannya. Lokananta didirikan pada 29 Oktober 1956 oleh Raden Maladi, Oetojo Soemowidjojo, dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero.
Pada awalnya, Lokananta dibangun untuk merekam materi siaran dalam bentuk piringan hitam yang disiarkan di 26 stasiun RRI seluruh Indonesia. Namun, sejak 1958, pihak RRI mulai menjual piringan hitam berupa lagu-lagu daerah kepada masyarakat umum dengan merek dagang Lokananta. Di antara yang dijual ada musik Jawa, Bali, Sunda, Batak, serta lagu-lagu rakyat yang tidak pernah dikenali siapa penciptanya.
Pada 15 Agustus 1962, tepatnya pada penyelenggaraan Asian Games IV, para musisi tanah air menyanyikan lagu daerah Rasa Sayange dan direkam ke dalam piringan hitam untuk menjadi cendera mata para peserta Asian Games. Setelah itu, barulah Lokananta memproduksi piringan hitam dari musisi terkenal, seperti Titiek Puspa, Bing Slamet, hingga maestro jazz Buby Chen.
Hingga pada 1972, ketika produksi audio beralih dari piringan hitam ke kaset, Lokananta juga berjaya memproduksi rekaman audio kaset dan menjadi lembaga penggandaan film terbesar di Indonesia. Lokananta baru meredup pada 1999 ketika rekaman audio dilakukan dalam format CD.
Kisah perjalanan Lokananta sebagai studio musik ini saya nikmati dari seorang guide saat saya dan seorang teman berkunjung ke Lokananta. Saya berkunjung ke sana dalam rangka merayakan ulang tahunnya. Namun, saya yang mendapatkan kejutan karena bisa menyaksikan ruangan-ruangan yang menyajikan proses perekamanan musik di Indonesia dari waktu ke waktu.
Lokananta merupakan destinasi wisata yang tidak pernah masuk ke dalam daftar kunjungan saya. Siapa sangka saya bisa menjelajahi lorong musik Indonesia ini di Solo. Dari Stasiun Solo Balapan, saya mengendarai bus Trans-Solo hingga tiba ke lokasi ini. Di halaman Lokananta, saya melihat sebuah mobil berwarna merah terpajang. Mobil ini dulu menjadi mobil yang mendistribusikan karya musisi Indonesia. Di belakangnya terdapat sebuah bangunan yang menjadi pintu masuk ke Lokananta.
Sebelum masuk ke Lokananta, kita perlu reservasi. Ada beberapa jadwal kunjungan yang disediakan, yakni pukul 10.00 WIB, 12.00 WIB, 14.00 WIB, 16.00 WIB, dan pukul 18.00 WIB. Untuk tiket masuk, kita harus membayar sebanyak Rp30.000,00 dan akan didampingi oleh seorang guide. Selama satu jam, guide akan menjelaskan sejarah Lokananta, serta fungsi ruangan yang ada di dalamnya. Pada jam kedua, kita bisa berkeliling galeri Lokananta untuk menikmati setiap arsip yang ada, serta mengambil foto di berbagai sudut yang estetik.
Karena sudah membahas Lokananta, tentu amat penting mengetahui etimologi katanya. Lokananta merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna ‘gamelan dari khayangan yang bersuara merdu’. Oleh karena itu, di galeri Lokananta ini, kita dapat menyaksikan sebuah ruangan yang menyajikan alat musik gamelan paling lengkap. Namun bagi saya, ruang ini kurang menarik karena alat musik gamelan masih sangat mudah ditemukan di Pulau Jawa. Saya berharap ada display studio rekaman masa lampau sehingga pengunjung bisa merasakan bagaimana Lokananta dulu memproduksi musik-musik daerah dan melahirkan penyanyi-penyanyi ternama Indonesia.
Agar bisa menikmati setiap lorong di Lokananta, saya akan merunut perjalanan saya ketika dibawa ke dalam sembilan ruang di Lokananta. Pertama kali saya dibawa ke ruangan arsip yang menyajikan catatan tertulis dan arsip koran tentang sejarah dan perkembangan Lokananta. Namanya Lini Masa. Lini Masa terdiri atas dua ruangan yang memuat artefak perjalanan musik Indonesia dari 1951 sampai saat ini. Di dinding ruangan pertama kita dapat membaca secara detail tahun perjalanan Lokananta. Di meja kaca di bawahnya dipajang piringan hitam dan tulisan surat kabar yang menjadi saksi perjalanan Lokananta.
Di ruangan kedua, terdapat ruang pameran yang menyajikan tokoh dan alat-alat yang dipakai Lokananta selama memproduksi musik Indonesia. Di ruangan ini saya melihat Waldjinah, musisi pertama Indonesia yang merekam suaranya di Lokananta pada 1959. Dia membawakan lagu Kembang Katjang karya Gesang Martohartono, sang legendaris pencipta lagu Bengawan Solo. Selain itu, saya juga melihat kebaya, kain batik, dan selendang yang pernah dipakai Waldjinah di beberapa pertunjukannya tahun 1980-an.
Kala kita beranjak dari ruangan ini, kita akan diantar ke ruang yang menampilkan alat musik gamelan. Ruang ini sangat klasik dan menurut saya agak mistis. Saya tidak lama-lama di sini. Hanya melihat sejenak dan berfoto sebentar. Selanjutnya, saya berpindah ke ruang keempat yang bernama Diskografi. Ruangan ini berisi koleksi rekaman pita reel dengan format analog yang menjadi koleksi karya musisi Indonesia. Tempatnya agak kecil dengan lemari yang tinggi sampai ke loteng. Kita hanya boleh berdiri di luar garis kuning yang menjadi pembatas sembari melihat karya musisi yang tampak usang. Di ujung ruangan ada layar komputer yang bisa menyajikan beberapa karya musisi tersebut. Kita bisa memilih beberapa lagu untuk diputar.
Setelah ruangan ini, barulah kita masuk ke ruangan Bengawan Solo. Ruangan yang paling saya suka. Kami memang agak lama menikmati waktu di sini. Saya membaca setiap kata yang tertulis di dinding sembari mendengarkan alunan musik yang diputar. Di ruangan ini kita menjadi tahu bahwa koperasi RRI di seluruh Indonesia menjadi distributor karya yang diproduksi Lokananta saat itu.
Di sebelah ruangan Bengawan Solo, terdapat ruangan yang menampilkan 5.760 rekaman suara yang disimpan dalam kaset piringan hitam. Namanya ruangan Anekanada. Konon beberapa piringan hitam sudah rusak karena dimakan rayap. Beberapa bagian juga ada yang patah. Oleh karena itu, piringan hitam di ruangan ini kini dicek secara berkala dan disimpan di ruangan ber-AC agar bisa bertahan dari waktu ke waktu. Di antara piringan hitam tersebut, salah satu rekaman paling lama adalah rekaman Indonesia Raya pada tahun 1957.
Bak menemukan ruang rahasia, di sebelah ruangan Anekanada, kita akan masuk ke ruangan Proklamasi. Ruangan ini didesain tiga dimensi. Ternyata suara Bung Karno, Presiden Republik Indonesia I yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah hasil rekaman di Lokananta. Konon katanya Bung Karno pada awalnya menolak. Namun, setelah dijelaskan untuk arsip sejarah Indonesia, Bung Karno bersedia. Di dalam ruangan yang gelap ini, kita akan khidmat mendengarkan suara Bung Karno menyampaikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Setelah ruangan ini, ada tiga ruangan berderet yang menyajikan pameran kontemporer. Ruangan ini berisi hasil karya seniman dan musisi yang menjadi kolaborator Lokananta. Ruangan ini akan berganti-ganti temanya dalam periode tertentu. Saat saya berkunjung ke Lokananta, ruangan ini menyajikan karya enam musisi Indonesia, yakni Bottlesmoker, Fajar Merah, Grafis Nusantara, Printed Melodies, Syaura Qotrunadha, dan White Shoes & The Couples Company. Mereka merupakan seniman dari berbagai kota di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Jakarta.
Menjelajah sembilan ruang di Galeri Lokananta ini membuat saya bahagia karena masa kecil saya berada di Blok A Kota Padang. Orang tua laki-laki saya kala itu menjadi distributor kaset analog di Kota Padang. Setiap hari saya menemani beliau di tokonya sembari menyaksikan betapa tingginya minat orang-orang membeli kaset. Bahkan, saya pernah menemani beliau ke Jakarta membeli ratusan kaset yang memuat karya musisi Indonesia terkenal di Jakarta untuk dijual di Kota Padang.
Studio rekaman juga sangat berbekas dalam ingatan saya karena beliau juga pernah menjadi produser untuk Edi Cotok, musisi Minang terkenal saat itu. Namun sayang, saat ratusan kardus yang berisi beberapa kaset karyanya dikirim kepada kami, Indonesia sedang berada pada masa kritis. Kala itu sedang terjadi Kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan yang berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Kerusuhan itu juga menjadi penanda berpisahnya saya dengan segala hal yang berkenaan dengan label musik, penjualan kaset, dan rekaman musik. Kunjungan saya ke Lokananta kali ini setidaknya kembali memberikan kesan baik dan membuat saya kembali menjelajah lorong musik Indonesia.
Discussion about this post