Senin, 25/8/25 | 03:29 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home DESTINASI

Menjelajah Lorong Musik di Lokananta

Sabtu, 30/3/24 | 15:12 WIB

Oleh: Ria Febrina
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)

Berada dalam ruangan bergaya klasik dengan ornamen beberapa alat perekam masa lalu membuat saya kembali ke masa populernya studio rekaman. Namanya ruangan Bengawan Solo. Di dalamnya ditampilkan proses perekaman sebuah karya musik, mulai dari perekaman, duplikasi, hingga menjadi kaset analog, dan mendistribusikannya kepada masyarakat.

Di tengah ruang juga disajikan alat perekam masa lampau, seperti Oscilloscope yang menampilkan visualisasi dari frekuensi audio yang ditangkap mikrofon, power supply Neumann U 64 yang menyediakan daya ke mikrofon agar dapat mengubah frekuensi suara instrumen musik menjadi elektrik, serta Ampex 622 amplifier + speaker reference yang merupakan speaker monitor portabel model koper saat Lokananta melakukan kegiatan merekam suara di luar ruangan. Di dinding ruangan, terdapat animasi bergerak yang menampilkan semua proses tersebut sehingga kita bisa melihat bagaimana kaset analog berputar di sebuah tape recorder. Setiap sisi di ruangan ini menjadi estetik untuk berfoto sembari mendengarkan alunan musik yang syahdu.

BACAJUGA

Serba-serbi Kritik Sosial Habis Lebaran

Praktik Menyunting

Minggu, 17/8/25 | 14:06 WIB
Serba-serbi Kritik Sosial Habis Lebaran

Tradisi Menyalin dan Menulis dari “Naskah” atau “Manuskrip”

Minggu, 03/8/25 | 15:42 WIB

Ruangan tersebut berada di Lokananta, yakni sebuah studio rekaman yang berada di Kota Solo, tepatnya di Jalan Ahmad Yani, No. 379. Studio ini sangat lengkap dan paling mewah pada zamannya. Lokananta didirikan pada 29 Oktober 1956 oleh Raden Maladi, Oetojo Soemowidjojo, dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero.

Pada awalnya, Lokananta dibangun untuk merekam materi siaran dalam bentuk piringan hitam yang disiarkan di 26 stasiun RRI seluruh Indonesia. Namun, sejak 1958, pihak RRI mulai menjual piringan hitam berupa lagu-lagu daerah kepada masyarakat umum dengan merek dagang Lokananta. Di antara yang dijual ada musik Jawa, Bali, Sunda, Batak, serta lagu-lagu rakyat yang tidak pernah dikenali siapa penciptanya.

Pada 15 Agustus 1962, tepatnya pada penyelenggaraan Asian Games IV, para musisi tanah air  menyanyikan lagu daerah Rasa Sayange dan direkam ke dalam piringan hitam untuk menjadi cendera mata para peserta Asian Games. Setelah itu, barulah Lokananta memproduksi piringan hitam dari musisi terkenal, seperti Titiek Puspa, Bing Slamet, hingga maestro jazz Buby Chen.

Hingga pada 1972, ketika produksi audio beralih dari piringan hitam ke kaset, Lokananta juga berjaya memproduksi rekaman audio kaset dan menjadi lembaga penggandaan film terbesar di Indonesia. Lokananta baru meredup pada 1999 ketika rekaman audio dilakukan dalam format CD.

Foto 1. Penulis dan teman berada di Ruang Bengawan Solo

Kisah perjalanan Lokananta sebagai studio musik ini saya nikmati dari seorang guide saat saya dan seorang teman berkunjung ke Lokananta. Saya berkunjung ke sana dalam rangka merayakan ulang tahunnya. Namun, saya yang mendapatkan kejutan karena bisa menyaksikan ruangan-ruangan yang menyajikan proses perekamanan musik di Indonesia dari waktu ke waktu.

Lokananta merupakan destinasi wisata yang tidak pernah masuk ke dalam daftar kunjungan saya. Siapa sangka saya bisa menjelajahi lorong musik Indonesia ini di Solo. Dari Stasiun Solo Balapan, saya mengendarai bus Trans-Solo hingga tiba ke lokasi ini. Di halaman Lokananta, saya melihat sebuah mobil berwarna merah terpajang. Mobil ini dulu menjadi mobil yang mendistribusikan karya musisi Indonesia. Di belakangnya terdapat sebuah bangunan yang menjadi pintu masuk ke Lokananta.

Sebelum masuk ke Lokananta, kita perlu reservasi. Ada beberapa jadwal kunjungan yang disediakan, yakni pukul 10.00 WIB, 12.00 WIB, 14.00 WIB, 16.00 WIB, dan pukul 18.00 WIB. Untuk tiket masuk, kita harus membayar sebanyak Rp30.000,00 dan akan didampingi oleh seorang guide. Selama satu jam, guide akan menjelaskan sejarah Lokananta, serta fungsi ruangan yang ada di dalamnya. Pada jam kedua, kita bisa berkeliling galeri Lokananta untuk menikmati setiap arsip yang ada, serta mengambil foto di berbagai sudut yang estetik.

Karena sudah membahas Lokananta, tentu amat penting mengetahui etimologi katanya. Lokananta merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna ‘gamelan dari khayangan yang bersuara merdu’. Oleh karena itu, di galeri Lokananta ini, kita dapat menyaksikan sebuah ruangan yang menyajikan alat musik gamelan paling lengkap. Namun bagi saya, ruang ini kurang menarik karena alat musik gamelan masih sangat mudah ditemukan di Pulau Jawa. Saya berharap ada display studio rekaman masa lampau sehingga pengunjung bisa merasakan bagaimana Lokananta dulu memproduksi musik-musik daerah dan melahirkan penyanyi-penyanyi ternama Indonesia.

Agar bisa menikmati setiap lorong di Lokananta, saya akan merunut perjalanan saya ketika dibawa ke dalam sembilan ruang di Lokananta. Pertama kali saya dibawa ke ruangan arsip yang menyajikan catatan tertulis dan arsip koran tentang sejarah dan perkembangan Lokananta. Namanya Lini Masa. Lini Masa terdiri atas dua ruangan yang memuat artefak perjalanan musik Indonesia dari 1951 sampai saat ini. Di dinding ruangan pertama kita dapat membaca secara detail tahun perjalanan Lokananta. Di  meja kaca di bawahnya dipajang piringan hitam dan tulisan surat kabar yang menjadi saksi perjalanan Lokananta.

Di ruangan kedua, terdapat ruang pameran yang menyajikan tokoh dan alat-alat yang dipakai Lokananta selama memproduksi musik Indonesia. Di ruangan ini saya melihat Waldjinah, musisi pertama Indonesia yang merekam suaranya di Lokananta pada 1959. Dia membawakan lagu Kembang Katjang karya Gesang Martohartono, sang legendaris pencipta lagu Bengawan Solo. Selain itu, saya juga melihat kebaya, kain batik, dan selendang yang pernah dipakai Waldjinah di beberapa pertunjukannya tahun 1980-an.

Kala kita beranjak dari ruangan ini, kita akan diantar ke ruang yang menampilkan alat musik gamelan. Ruang ini sangat klasik dan menurut saya agak mistis. Saya tidak lama-lama di sini. Hanya melihat sejenak dan berfoto sebentar. Selanjutnya, saya berpindah ke ruang keempat yang bernama Diskografi. Ruangan ini berisi koleksi rekaman pita reel dengan format analog yang menjadi koleksi karya musisi Indonesia. Tempatnya agak kecil dengan lemari yang tinggi sampai ke loteng. Kita hanya boleh berdiri di luar garis kuning yang menjadi pembatas sembari melihat karya musisi yang tampak usang. Di ujung ruangan ada layar komputer yang bisa menyajikan beberapa karya musisi tersebut. Kita bisa memilih beberapa lagu untuk diputar.

Foto 2. Penulis berada di Ruang Anekanada yang menyajikan 5.760 rekaman suara dalam piringan hitam

Setelah ruangan ini, barulah kita masuk ke ruangan Bengawan Solo. Ruangan yang paling saya suka. Kami memang agak lama menikmati waktu di sini. Saya membaca setiap kata yang tertulis di dinding sembari mendengarkan alunan musik yang diputar. Di ruangan ini kita menjadi tahu bahwa koperasi RRI di seluruh Indonesia menjadi distributor karya yang diproduksi Lokananta saat itu.

Di sebelah ruangan Bengawan Solo, terdapat ruangan yang menampilkan 5.760 rekaman suara yang disimpan dalam kaset piringan hitam. Namanya ruangan Anekanada. Konon beberapa piringan hitam sudah rusak karena dimakan rayap. Beberapa bagian juga ada yang patah. Oleh karena itu, piringan hitam di ruangan ini kini dicek secara berkala dan disimpan di ruangan ber-AC agar bisa bertahan dari waktu ke waktu. Di antara piringan hitam tersebut, salah satu rekaman paling lama adalah rekaman Indonesia Raya pada tahun 1957.

Bak menemukan ruang rahasia, di sebelah ruangan Anekanada, kita akan masuk ke ruangan Proklamasi. Ruangan ini didesain tiga dimensi. Ternyata suara Bung Karno, Presiden Republik Indonesia I yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah hasil rekaman di Lokananta. Konon katanya Bung Karno pada awalnya menolak. Namun, setelah dijelaskan untuk arsip sejarah Indonesia, Bung Karno bersedia. Di dalam ruangan yang gelap ini, kita akan khidmat mendengarkan suara Bung Karno menyampaikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Setelah ruangan ini, ada tiga ruangan berderet yang menyajikan pameran kontemporer. Ruangan ini berisi hasil karya seniman dan musisi yang menjadi kolaborator Lokananta. Ruangan ini akan berganti-ganti temanya dalam periode tertentu. Saat saya berkunjung ke Lokananta, ruangan ini menyajikan karya enam musisi Indonesia, yakni Bottlesmoker, Fajar Merah, Grafis Nusantara, Printed Melodies, Syaura Qotrunadha, dan White Shoes & The Couples Company. Mereka merupakan seniman dari berbagai kota di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Jakarta.

Menjelajah sembilan ruang di Galeri Lokananta ini membuat saya bahagia karena masa kecil saya berada di Blok A Kota Padang. Orang tua laki-laki saya kala itu menjadi distributor kaset analog di Kota Padang. Setiap hari saya menemani beliau di tokonya sembari menyaksikan betapa tingginya minat orang-orang membeli kaset. Bahkan, saya pernah menemani beliau ke Jakarta membeli ratusan kaset yang memuat karya musisi Indonesia terkenal di Jakarta untuk dijual di Kota Padang.

Studio rekaman juga sangat berbekas dalam ingatan saya karena beliau juga pernah menjadi produser untuk Edi Cotok, musisi Minang terkenal saat itu. Namun sayang, saat ratusan kardus yang berisi beberapa kaset karyanya dikirim kepada kami, Indonesia sedang berada pada masa kritis. Kala itu sedang terjadi Kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan yang berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Kerusuhan itu juga menjadi penanda berpisahnya saya dengan segala hal yang berkenaan dengan label musik, penjualan kaset, dan rekaman musik. Kunjungan saya ke Lokananta kali ini setidaknya kembali memberikan kesan baik dan membuat saya kembali menjelajah lorong musik Indonesia.

Tags: #Ria Febrina
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Jarak Kehidupan

Berita Sesudah

Pemkab Dharmasraya Rilis RLPPD Tahun 2023

Berita Terkait

Lele Raksasa (Foto: Ist)

Pria ini Taklukan Lele Raksasa Ukurannya Nyaris Tiga Meter

Senin, 18/8/25 | 06:10 WIB

Lele Raksasa (Foto: Ist) Jakarta, Scientia.id - Seorang pemancing asal Republik Ceko kembali mengukir prestasi luar biasa di dunia perikanan....

Misteri Gunung Padang: Diduga Lebih Tua dari Piramida Giza

Misteri Gunung Padang: Diduga Lebih Tua dari Piramida Giza

Senin, 11/8/25 | 09:57 WIB

Jakarta, Scientia.id - Situs prasejarah Gunung Padang di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, kembali jadi sorotan setelah tim kajian menduga usianya...

Cap d’Agde: Desa Wajib Tanpa Busana di Prancis yang Ramai Dikunjungi Naturis

Cap d’Agde: Desa Wajib Tanpa Busana di Prancis yang Ramai Dikunjungi Naturis

Jumat, 08/8/25 | 06:12 WIB

Scientia.id - Terletak di selatan Prancis, Cap d’Agde dikenal sebagai desa naturis terbesar di dunia. Destinasi ini mewajibkan semua pengunjung...

Foto Zlatan Ibrahimovic di Bali Viral di Media Sosial

Foto Zlatan Ibrahimovic di Bali Viral di Media Sosial

Sabtu, 02/8/25 | 08:34 WIB

Jakarta, Scientia.id - Unggahan Zlatan Ibrahimovic di Bali mendadak viral setelah sang legenda sepakbola dunia membagikan tiga foto dirinya berendam...

Wow! Batu Pengganjal Pintu ini Nilainya Rp19,2 Miliar

Wow! Batu Pengganjal Pintu ini Nilainya Rp19,2 Miliar

Senin, 28/7/25 | 18:03 WIB

Jakarta, Scientia.id - Siapa sangka benda sederhana yang diwariskan orang tua bisa jadi harta karun. Kisah ini datang dari Rumania,...

Bubur Kirai Kuliner Khas Muaro Bungo Jambi dari Zaman Baheula

Bubur Kirai Kuliner Khas Muaro Bungo Jambi dari Zaman Baheula

Jumat, 13/6/25 | 21:47 WIB

Bubur Kirai, makanan khas tradisional Muaro Bungo yang ada sejak zaman dahulu (Foto: Rahma Yani) Jambi, Scientia.id - Mungkin sebagian...

Berita Sesudah

Pemkab Dharmasraya Rilis RLPPD Tahun 2023

Discussion about this post

POPULER

  • Aduh! Maarten Paes Cedera, Absen Bela Timnas Indonesia 6-8 Minggu

    Aduh! Maarten Paes Cedera, Absen Bela Timnas Indonesia 6-8 Minggu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbar Raih Penghargaan Nasional Perhutanan Sosial 2025

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • PCNU Dharmasraya Gelar Konfercab ke-V

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duka Kecelakaan Kereta di Padang: Wagub Sumbar Desak Perbaikan Sistem Keselamatan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ormas dan OKP Tak Dilibatkan dalam Kebijakan Pemkab, Sekretaris KNPI Dharmasraya: Bentuk Keangkuhan Bupati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pawai Budaya Sungai Duo Meriah, Panitia Tekankan Pelestarian Tradisi dan Kreativitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024