Oleh: Anggi Oktavia
(Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Puisi merupakan aktivitas bahasa yang berbeda dengan pemakaian bahasa secara umumnya (Riffaterre, 1978). Puisi senantiasa untuk tidak mengatakan sesuatu secara langsung dan menyembunyikannya ke dalam sebuah tanda. Oleh karena itu, salah satu teori dan metode yang cocok untuk menganalisis atau mengkaji puisi adalah dengan menggunakan Teori Semiotik Michael Riffaterre.
Ketidaklangsungan ekspresi dalam Puisi disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Penggantian arti, yaitu pemakaian tanda yang tidak sesuai dengan arti sebenarnya disebabkan metafora yang dikenal dengan bahasa kiasan. Penyimpangan arti disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, yaitu berupa enjambement, sajak, tipografi, dan Homalegwe (Riffaterre, 1978). Toeri semiotik Rifaterre digunakan untuk menganalisis puisi “Sawah Sepetak di Kerampang” karya Fitri Yanti. Puisi tersebut dapat dibaca di bawah ini.
Sawah-sawah menjadi emas
berkapling-kapling di bibir
ninik mamak dan penghulu
daun-daun di gurun
jadi tumpukan kertas
menghijaukan mata
tulang-tulang di pandam pekuburan
terimpit gedung-gedung perbelanjaan
dan kau anakku, perempuan
dengan nama terakhir dalam ranji
menatap gagu ke pagu
tempat padi dahulu di rumah berbilik banyak
merencanakan keturunan
dengan jari terkembang
Telah engkau coba genggam hulu persoalan
tak ada yang tinggal di telapakmu
selain kepergian
selain kesunyian
dan sawah sepetak yang bisa kaubawa kemana-mana itu
2019
Semiotik Riffaterre dalam “Sawah Sepetak di Kerampang” dilihat dengan pembacaan heruistik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik merupakan interpretasi tahap pertama yang menghasilkan serangkaian arti yang bersifat heterogen. Pemaknaan tanda dengan makna yang sebenarnya. Hasil pembacaan heuristik menggambarkan berpetak-petak sawah disulap menjadi emas dari mulut Ninik Mamak. Daun-daun berubah menjadi kertas berwarna hijau. Dia atas kuburan di bangun mal. Si anak perempuan menjadi garis keturunan terakhir dalam ranjinya. Dia menatap penuh keraguan ke atas loteng Rumah Gadang dan tidak sanggup untuk menikah serta punya anak. Anak perempuan mencoba menyelesaikan permasalahan, tetapi tetap saja tidak mendapatkan apa-apa sehingga yang tersisa hanya pergi dari kampung dan membawa diri sendiri. Pembacaan tahap kedua disebut pembacaan hermeneutik atau retroaktif. Pembacaan ini didasarkan pada konvensi sastra atau pemaknaan tanda tidak dengan makna yang sebenarnya, melainkan lebih jauh dari yang sebenarnya.
Pembacaan hermeneutik terhadap “Sawah Sepetak di Kerampang” menunjukkan peran Ninik Mamak pada sebuah kaum yang berani menjual atau menggadaikan tanah pusako tinggi berupa sawah, dengan kekuasaan yang dimiliki. Ninik mamak menggadaikan mata ukur emas dan uang untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri. Harta pusaka tinggi yang dijual berupa sawah dengan mata ukur emas, tanah dengan mata ukur uang, bahkan sampai ke tanah kuburan nenek moyang, di atasnya di bangun tempat perbelanjaan. Ninik mamak yang gila akan uang dan kekayaan, rela menjual tanah pusako milik kemenakannya, tanpa memikirkan akibatnya. Akibatnya, kemenakan perempuan kehilangan pusako tinggi sehingga dirinya yang menanggung kerugian dan tidak punya warisan untuk keturunan. Padahal, anak perempuan itu merupakan keturunan terakhir dalam ranji keluarga. Ia kehilangan rumah gadang sehingga diasingkan dari rumah sendiri. Tidak ada lagi tempat untuk membangun rumah serta sawah untuk mata pencaharian, sedangkan tanah saja sudah pupus dijual mamak. Dalam artian si anak perempuan akan kehilangan kampung dan kehilangan identitas di kampung halamannya atas kepemilikan tanah, sawah, dan rumah. Ia akan kesulitan dalam persiapan menikah sebab keluarga harus memulai dari nol untuk mencari penghidupan.
Rumah, tanah, dan sawah harus diusahakan sebelum menikah dalam budaya Minangkabau. Seorang lelaki yang akan menjadi suami perempuan nantinya akan tinggal di rumah gadang milik perempuan dan menggarap tanah ladang atau sawah yang merupakan harta milik perempuan. Dalam puisi tersebut digambarkan hanya diri anak perempuan itu yang tersisa dan dibawa ke rantau orang. Tidak ada lagi yang menahan mereka untuk tetap tinggal di kampung halaman akibat keserakahan ninik mamak yang tidak memikirkan kemenakan. Tokoh ibu dalam puisi digambarkan sebagai orang yang sangat marah atas tindakan ninik mamak, saking marahnya ia mengatakan hanya diri anak perempuannya yang tersisa, entah bagaimana nasib anak cucunya kelak.
Selain analisis heuristik dan hermeneutik, matriks, model, dan varian juga dapat dilihat dalam puisi “Sawah Sepetak di Kerampang”. Kata kunci atau inti dari serangkaian teks disebut matriks. Matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi dan tidak muncul dalam teks. Matriks dapat berupa kata, frase, klausa, atau kalimat sederhana. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model yang dapat berupa kata atau kalimat tertentu. Model ini kemudian diperluas menjadi varian-varian sehingga menurunkan teks secara keseluruhan.
Matriks dalam puisi tersebut adalah kemarahan seorang ibu kepada Ninik Mamak karena menggadaikan harta pusaka tinggi. Model yang terdapat dalam puisi, yaitu Ninik Mamak sebagai sebab dari penjualan tanah pusako tinggi sehingga merugikan kemenakan. Varian-varian yang ada dalam puisi sebagai berikut: Pertama, Ninik mamak menjual harta pusaka tinggi berupa sawah dengan mata ukur emas. Sawah-sawah yang berpetak-petak itu dapat dikuasai hanya di bibir ninik mamak. Kedua, ninik mamak menjual tanah pusaka tinggi berupa tanah dengan mata ukur uang. Mata ninik mamak menjadi hijau saat melihat uang. Hijau disini berarti tertarik melihat uang atau “kancang kapitih”. Ketiga, Ninik mamak menjual tanah pusako sudah melewati batas sampai menjual tanah kuburan tempat nenek moyang dipusarakan untuk menghasilkan uang hingga tanah kuburan itu dibangun gedung-gedung tempat perbelanjaan. Keempat, akibat mamak yang menjual tanah pusaka, hal itu berdampak kepada kemenakannya, anak perempuan yang menjadi keturunan terakhir dalam ranji keluarga. Ia menjadi asing di rumah sendiri, ia gagap atau ragu saat menikah sebab tidak memiliki apa pun lagi secara material, baik rumah, tanah, maupun sawah. Kelima, anak perempuan telah mencoba mempertahankan tanah pusako dengan mendudukkan perkara tanah pusako tinggi yang dijual oleh ninik mamaknya, tetapi persoalan tetap tidak bisa di selesaikan. Keenam, hanya sawah sepetak yang tersisa pada diri anak perempuan.
Terakhir, hipogram. Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan sebuah teks baru. Hipogram merupakan landasan bagi penciptaan karya yang baru, mungkin dipatuhi, tetapi mungkin juga disimpangi oleh pengarang. Menurut Riffaterre (1978:23), hipogram ada dua macam, yaitu hipogram aktual dan hipogram potensial. Hipogram aktual adalah matriks inti teks atau kata kunci, dapat berupa satu kata, frase, atau kalimat sederhana yang menjadi latar penciptaan teks baru. Hipogram potensial terwujud dalam segala bentuk aplikasi makna kebahasaan, baik presuposisi, maupun sistem-sistem deskriptif atau kelompok asosiasi konvensional. Hipogram potensial terwujud dalam teks-teks yang ada sebelumnya, baik berupa mitos, maupun karya sastra lainnya (Riffaterre, 1978:23).
Hipogram yang relevan dengan teks puisi di atas yaitu fenomena sosial yang dirasakan masyarakat Minangkabau, khususnya yang dirasakan perempuan dewasa ini tentang eksistensi ninik mamak dan penghulu yang semena-mena sehingga merugikan kemenakan. Salah satu hipogram yang bisa ditarik sebagai teks relevan yaitu pepatah Minangkabau berbunyi, “alah tungkek nan mambao rabah”. Pepatah ini mengandung makna kiasan atas perilaku seorang pemimpin yang membuat sengsara anak kemenakan serta kaumnya.
Kesimpulan akhir analisis puisi “Sawah Sepetak di Kerampang” memuat kiasan atas kondisi kaum perempuan yang kehilangan harta pusako untuk bertahan hidup akibat ulah ninik mamaknya sendiri. Kiasan ini bukan suatu teks yang baru, melainkan dikembangkan dari kiasan yang telah ada sebelumnya, yaitu dari pepatah Minangkabau.
Discussion about this post