Oleh: Elly Delfia
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Begitu banyak cerita yang menyisakan pengalaman berharga. Demikian juga cerita pengalaman hidup saya pernah tinggal di Korea Selatan. Pengalaman hidup tersebut memberikan pembelajaran berharga yang membuat diri saya terus belajar menjadi pribadi yang lebih baik dan bijaksana. Salah satu pengalaman hidup yang berkesan selama berada di Korea Selatan adalah menghadiri festival film yang besar dan meriah, yaitu Busan International Film Festival atau disingkat dengan BIFF atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Festival Film Internasional Busan.
Festival film terkenal dan bergengsi di Korea Selatan ini pertama kali diselenggarakan pada tanggal 13-21 September 1996 dan berlanjut hingga sekarang. BIFF yang sudah berumur 28 tahun digelar pada bulan Oktober setiap tahunnya kecuali pada masa Covid-19 pernah tidak diselenggarakan. Acara festival yang bertempat di Busan Cinema Center, Centum City, Haeundae-gu ini selalu berlangsung amat meriah dengan kehadiran artis-artis dan selebritas papan atas Korea Selatan. Selain itu, artis dan selebristis dari luar negara Korea Selatan juga turut hadir, seperti artis-artis Hollywood, Bollywood, dan dari beberapa negara di Eropa, seperti Prancis, Jerman, dan Inggris. Dari negara-negara Arab, ada Iran, Mesir, Afganistan, dan lain-lain. Dari Asia Tenggara ada Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Philipina, dan lain-lain.
Selama empat tahun tinggal di Busan, saya selalu mengikuti festival ini. Saya senang pernah hadir dan melebur dalam kemeriahan festival. Festival film adalah sebuah perayaan dan penghormatan atas kreativitas anak manusia dalam mengkontruksi nilai-nilai kehidupan menjadi cerita yang diangkat ke layar lebar dan dapat kita tonton bersama. Tempat pemutaran film-film tersebut tidak hanya di Busan Cinema Center, Centum City, tetapi juga di gedung bioskop Busan International Film Festival Pasar Nampodong dan juga di bioskop-bioskop yang ada di Shinsegae Plaza, daerah Haeundae.
Saya mendapat pengalaman yang berbeda-beda setiap kali hadir dalam festival. Pada bulan Oktober tahun 2015 adalah momen pertama saya menghadiri BIFF, saya merasa beruntung karena dipertemukan dengan Garin Nugroho, Sutradara film Indonesia terkenal dan Pevita Pearce, artis Indonesia yang multitalenta dan terkenal dengan adegan-adegan berkarakter.
Saya juga pernah terkesan dengan penonton lain yang merasa kecewa setelah menonton salah satu film Indonesia dalam festival itu. Ia protes dan kecewa setelah menonton film Indonesia yang berjudul A Copy of My Mind. Film tersebut berkisah tentang sisi gelap pembajakan film di Jakarta. Film tersebut mengambil latar belakang tempat-tempat kumuh dan gang-gang sempit di Kota Jakarta. Penonton tersebut adalah orang Korea. Ia merasa kecewa melihat wajah Indonesia yang tidak indah dalam film itu. Ia bertanya-tanya, mengapa Indonesia yang sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945 hanya dua hari beda dari Korea Selatan masih sangat jelek, kotor, dan jauh tertinggal dari Korea dalam segi pembangunan. Ia menonton film Indonesia dengan harapan melihat keindahan alam Indonesia yang sangat terkenal, tetapi ia tidak menemukan itu dalam film. Dari penonton orang Korea tersebut saya belajar memahami satu hal bahwa pembuat film harus berhati-hati dalam mengambil gambar agar tidak terlalu mengekspos tempat-tempat jelek dan kumuh dari Indonesia.
Tahun berikutnya saya menonton film yang bermuatan politik karena sudah mendekati tahun politik dan saya tidak terlalu suka film itu karena mengandung unsur provokatif. Selain itu, saya juga menonton beberapa film Indonesia yang lebih humanis dan mengekspos masalah psikologis tokoh-tokoh tersebab oleh berbagai hal, seperti film Marlina the Murderer in Four Ritz yang dibintangi oleh Marsha Timothy dan 27 Steps of May yang dibintangi oleh Raihaanun.
Menyaksikan film-film Indonesia yang diputar di BIFF adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi saya sebagai penikmat film dan sebagai orang Indonesia. Film Indonesia mampu lolos seleksi dan mampu bersanding dengan film-film dari negara lain di dunia, seperti film dari Prancis, Inggris, Jerman, Amerika, Iran, Mesir, Thailand, Malaysia, Jepang, dan negara lain. Melalui Festival Film Internasional Busan tersebut, rasa rindu saya terhadap Indonesia terobati manakala berada di negeri orang. Saya terharu menyaksikan kreativitas insan perfilman Indonesia dinikmati dunia internasional. Perasaan tersebutlah yang membawa saya untuk terus mengikuti festival kebanggaan orang Korea Selatan itu.
Mengapa BIFF disebut sebagai festival kebanggaan Korea Selatan? Karena melalui acara tersebut, Korea Selatan menjadi tuan rumah bagi orang-orang, terutama insan perfilman. Mereka beramai-ramai datang ke Korea Selatan untuk mengikuti festival film. Tidak hanya mengikuti festival, mereka juga bisa menyaksikan kemajuan Korea Selatan sebagai negara industri dan pariwisata. Melalui acara itu, Korea Selatan juga berkesempatan untuk memamerkan kebudayaan mereka, baik kebudayaan tradisional maupun kebudayaan modern, seperti K-Pop, drama, dan film-film yang dikenal dengan Gelombang Korea (Korean Wave). BIFF hanyalah salah satu ajang yang mampu menebar pengaruh kecintaan terhadap budaya Korea.
Kemudian, mengapa BIFF selalu dilaksanakan di Busan? Bukankah Korea Selatan tidak hanya Busan? Mungkin hal itu juga menjadi pertanyaan orang-orang. Sebagai kota metropolitan dan kota besar kedua yang ada di Korea Selatan, Kota Busan dipilih sebagai tuan rumah tetap atau permanen bagi pelaksanaan festival ini. Kota Busan memang tempat yang kondusif dan memiliki pesona tersendiri.
Banyak destinasi wisata berada di Busan, baik wisata bersejarah, seperti museum dan kuil-kuil yang berumur ratusan tahun maupun wisata alam, seperti gunung-gunung dan pantai-pantai yang indah, serta wisata kuliner laut yang aduhai enak melengkapi magnet kota ini. Para pengunjung BIFF tentu tidak hanya datang ke Korea Selatan untuk menonton film, tetapi juga ingin melihat sisi lain Korea Selatan, seperti tempat wisatanya, kulinernya, atau mencoba kemajuan industrinya. Nah, semua yang dicari hampir ada di Kota Busan.
Wisata alam seperti Pantai Haeundae yang terkenal bersih dan landai, Pantai Gwangan yang terkenal lampu-lampu gemerlap dan mewah dengan pemandangan Gwangan Bridge di malam hari, hotel-hotel berbintang yang berjejer di sepanjang pantai, Pantai Dadaepo yang alami, Pantai Songdo yang terkenal dengan berbagai wahana seperti gondola, tidak ketinggalan kampung warna-warni, Gamcheon Cultural Village. Pasar Ikan Jagachi, tempat wisata belanja Pasar Nampo, Lotte Gwangbok Plaza, dan lain-lain.
Semua tempat wisata itu ada di Kota Busan. Kota Busan juga tidak terlalu padat dan ramai, seperti halnya Kota Seoul, ibu kota Korea Selatan. Hal yang wajar jika Kota Busan dipilih sebagai lokasi tetap pelaksanaan Festival Film Internasional Busan. Busan memang kota yang ramah, nyaman, dan mengesankan. Hal itu yang saya rasakan sebagai orang yang pernah tinggal di Kota Busan. Jadi, jika sobat pembaca ada kesempatan berkunjung ke Kota Busan atau berada di Busan pada bulan Oktober, jangan lupa menyaksikan Festival Film Internasional Busan dan mendapatkan pengalaman berharga di sana.
Discussion about this post