Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Rangkaian debat pasangan calon (paslon) calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) telah berakhir pada 4 Februari 2024. Berbagai reaksi masyarakat dan media dengan gampang kita temukan dalam berbagai media sosial, contohnya Twitter. Media Twitter cukup dinamis dan terkini dalam menyampaikan tagar yang menjadi trending oleh penggunanya dalam menyampaikan opini mereka. Setelah debat terakhir 4 Februari lalu, beberapa tagar yang trending adalah #MakanGratis, #BBMGratis, #InternetGratis, #PerubahanPastiMenang, #WaktunyaPerubahan, #300FK, dan #Stunting.
Jika ditilik dari kacamata analisis wacana kritis, terdapat interdiskursivitas yang ditemukan dalam tuturan cawapres selama debat. Fairclough (2003) menyatakan bahwa interdiskursivitas merupakan kelindan dari aspek-aspek wacana dari berbagai genre yang berkontribusi pada transformasi praktik sosial. Wacana debat ternyata tidak memiliki ciri-ciri bahasa dialogis saja, namun terdapat ciri kebahasaan yang ditemukan dalam jenis wacana lain, terutama wacana promosi. Beberapa penanda linguistik menjadi ciri khas wacana promosi, seperti metafora, superlatif, kuantifikasi, dan penguat atau intensifier. Tulisan ini mencoba mengulas beberapa aspek interdiskursivitas dari wacana debat pilpres.
Intensifier dapat berupa tuturan yang disebut maximizer untuk menajamkan penilaian penutur terhadap suatu entitas (benda) yang memiliki kualitas maksimal atau paling baik. Jika ditilik lebih lanjut, maximizer dapat diidentifikasi secara leksikal dari kata itu sendiri, seperti kata wonderful “menakjubkan”, atau diidentifikasi dari kata di sekelilingnya seperti penggunaan superlative “paling” dalam frasa “paling bagus”.
Dalam kaitannya dengan debat pilpres 2024, beberapa intensifier dapat ditemukan dalam visi misi para pasangan calon, seperti “makan siang gratis”, “BBM gratis”, dan “internet gratis”. Penggunaan kata “gratis” merupakan strategi persuasif dalam bentuk maximizer yang digunakan para calon presiden dan wakil presiden untuk memaksimalkan nilai visi misi mereka ketika terpilih. Program tersebut, entah akan terealisasi atau tidak, menggunakan fitur linguistik yang mirip dengan wacana iklan. Sebagai contoh, iklan sampo “bebas ketombe” dan “bebas rambut rontok”. Penggunaan kata “bebas” merupakan intensifier yang bertujuan memaksimalkan kualitas produk dengan memberikan jaminan penggunanya.
Dalam wacana debat pilpres, kata “gratis” dalam “makan siang gratis”, “BBM gratis”, dan “internet gratis” juga dimanfaatkan oleh para politisi untuk memberikan janji dan jaminan terhadap pemilih. Terlepas dari konteks politik yang melatarbelakanginya, unsur linguistik tersebut nyatanya direproduksi dari wacana promosi lain yang ditemukan dalam iklan produk rumah tangga sehari-hari. Tentu pemilihan kata “gratis” tersebut tidak secara acak dipilih oleh para calon presiden dan wakil presiden.
Bahasa merupakan piranti yang mengonstruksi dan dikonstruksi secara sosial. Penggunaan kata “bebas” memang secara leksikal memiliki makna yang berbeda dengan kata “gratis”. Namun demikian, keduanya memiliki makna kontekstual yang sama, yakni memberikan jaminan para pengguna sampo dan para pemilih dari perasaan tertentu. Sampo “bebas ketombe” memberikan jaminan penggunanya dari rasa gatal akibat ketombe, dan “makan siang gratis” memberikan jaminan pemilih dari rasa lapar. Pun dengan “internet gratis” akan menjamin pemilih dari pengeluaran sehari-hari untuk membeli pulsa, dan begitupun dengan “BBM gratis”.
Selain maximizer, fitur linguistik lain yang ditemukan dalam debat pilpres adalah kuantifikasi. Kuantifikasi ditemukan dalam tuturan pilpres untuk menunjukkan visi misi capres dan cawapres. Beberapa contohnya antara lain “40 kota selevel DKI”, “1 desa, 1 nakes, 1 faskes”, “3 juta rumah”, dan “300 FK (Fakultas Kedokteran)”.
Contoh-contoh tersebut memuat angka spesifik yang disebutkan para capres dan cawapres. Penggunaan angka spesifik tersebut juga bertujuan untuk meyakinkan para pemilihnya bahwa mereka akan menyediakan berbagai fasilitas yang ditawarkan. Dengan menyebut angka tertentu, misal dalam “1 desa, 1 nakes, 1 faskes”, capres tersebut bertujuan menawarkan “rasa aman” security kepada para pemilihnya. Dalam konsep evaluasi bahasa, penyebutan angka spesifik tidak hanya bertujuan menajamkan sikap penuturnya terhadap entitas yang disebutkan. Angka tertentu nyatanya dimanfaatkan dalam debat pilpres untuk menimbulkan perasaan tertentu para pemilihnya. Nantinya, jika terealisasi, para pemilih akan merasa aman atas jaminan kesehatan yang akan mereka rasakan. Kemudahan akses kesehatan yang dapat ditemukan dalam level desa akan membuat para pemilih merasa aman.
Hal yang sama juga dapat kita interpretasikan dalam tuturan “3 juta rumah” yang akan dibagi ke “1 juta di pedesaan, 1 juta di pesisir, dan 1 juta di perkotaan”. Para pemilih yang hidup di pedesaan, pesisir, dan perkotaan tentu akan merasa memiliki harapan dan rasa aman atas jaminan tempat tinggal. Penggunaan angka “3 juta” dan “1 juta” juga merupakan aspek kebahasaan yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan aman, terutama bagi mereka yang tidak memiliki rumah. Digunakannya kata “pedesaan”, “pesisir”, dan “perkotaan” juga dimaksudkan untuk menyasar berbagai kelompok masyarakat dan tidak berfokus pada satu level.
Penggunaan angka spesifik di atas juga merupakan reproduksi dari strategi wacana promosi. Dalam iklan perumahan, misalnya, sering kita temukan tawaran “cicilan mulai 2 jutaan”, “DP 10%”, dan “All in 3 juta”. Pembuat iklan secara sengaja memuat angka spesifik dalam promosi perumahan untuk menarik para konsumen. Dengan menyebut angka spesifik, konsumen dibujuk untuk membeli perumahan tersebut dengan harga tertentu yang terjangkau sehingga memberikan rasa aman bagi mereka dalam proses pembelian dan pembayaran selanjutnya. Jika dikaitkan dengan contoh pada debat pilpres, maka keduanya memiliki kesamaan dalam pemilihan strategi linguistik tertentu untuk membujuk para pemilih dan pembeli.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa wacana debat pilpres tidak berdiri sendiri. Pemilihan bahasa dalam wacana debat politik pun ternyata dipengaruhi oleh wacana lain, yakni wacana promosi. Dapat dikatakan bahwa keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni membujuk pemilih untuk percaya kepada janji dan jaminan tertentu yang ditawarkan pasangan capres dan cawapres. Interdiskursivitas terlihat dari rekontekstualisasi fitur linguistik tertentu, seperti intensifier dan kuantifikasi yang pada akhirnya digunakan dalam wacana debat pilpres.
Ulasan di atas memberikan gambaran bahwa sebagai bagian dari pemilihan umum, kita dapat juga bertindak layaknya konsumen sebuah produk. Jika para capres dan cawapres memposisikan visi misi layaknya seperti janji yang digunakan dalam iklan, kita juga dapat membuat pilihan wakil rakyat sebagai konsumen yang juga memiliki pilihan subjektif dengan harapan-harapan tertentu. Sebagai bagian dari demokrasi, hendaknya kita dapat bertindak sebagai konsumen yang bijaksana dan yang hati-hati dalam memilih produk. Kita nantikan saja, apakah jaminan yang disebutkan dalam visi misi selama debat pilpres akan terealisasi atau tidak, tugas kita mengawalnya.
Discussion about this post