Minggu, 01/6/25 | 06:28 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

“Dalamnya Jurang Pembatas antara Kaum Bangsawan dan Kaum Bawahan yang Digambarkan dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer”

Minggu, 17/12/23 | 15:10 WIB

Dara Suci Rezki Efendi
(Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)

“Tentang nasib orang bawahan dan kebesaran orang atasan, tentang kejatuhan orang – orang bawahan dan kemuliaan orang atasan, tentang orang bawahan yang menumpang diri pada orang atasan, tentang kekuasaan dan tentang takdir.” Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer)

Ketimpangan sosial, merupakan masalah yang tidak akan pernah ada habisnya. Perbedaan status antara kaum bangsawan dengan kaum bawahan seolah menjadi momok yang selalu menghantui hidup manusia. Terlebih lagi dalam budaya Indonesia, masyarakat dibedakan atas status dan kedudukannya. Si kaya dan si miskin, kaum terhormat dan kaum melarat bagaikan perbedaan siang dan juga malam. Orang – orang bangsawan kadang dengan sesuka hati memperlakukan orang di bawahnya. Ketidakberdayaan dari kaum bawah, membuat mereka menjadi kaum yang selalu tertindas. Kisah tentang jurang pemisah antara kaum bangsawan dengan kaum bawahan itu digambarkan dalam sebuah cerita yang sangat epik.

Novel dengan judul “Gadis Pantai” yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer merupakan novel yang mengangkat isu – isu sosial dalam kehidupan masyarakat. Adanya jarak dan pemisah yang menyebabkan ketimpangan sosial antara kaum bangsawan dengan kaum bawahan, digambarkan secara jelas dalam novel ini. Melalui novel Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer ingin memperlihatkan kepada masyarakat luas tentang cerita miris yang terjadi di tanah Jawa mengenai foedalisme pada zaman kolonial Belanda.

BACAJUGA

Sastra Bandingan: Kerinduan yang Tak Bertepi di Antara Dua Puisi

Sastra Bandingan: Kerinduan yang Tak Bertepi di Antara Dua Puisi

Minggu, 22/12/24 | 12:22 WIB

Katalogus sebagai Sarana Informasi dan Preservasi terhadap Naskah Kuno

Minggu, 15/9/24 | 11:07 WIB

Gadis Pantai merupakan panggilan untuk tokoh utama yang ada di dalam novel ini. Saat berumur empat belas tahun, Gadis Pantai dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang laki – laki bangsawan yang dipanggil Bendoro. Bendoro adalah bangsawan kaya raya yang berasal dari kota, sedangkan Gadis Pantai hanyalah orang biasa yang berasal dari  kampung nelayan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Gadis Pantai terpaksa menikah dengan Bendoro karena dorongan dari ayahnya. Alasan Gadis Pantai dinikahkan dengan Bendoro untuk memperbaiki kehidupan dari Gadis Pantai dan memenuhi keinginan dari Bendoro.

Tidak hanya itu, terjadinya pernikahan dini juga menjadi masalah yang diangkat dalam novel ini. Gadis Pantai yang baru berumur empat belas tahun, harus menerima pernikahan yang sebetulnya belum siap untuk ia jalani. Lagi – lagi semua itu terjadi karena keterpaksaan, Bendoro yang merupakan seorang kaum bangsawan dengan bebas mengambil siapa saja untuk dijadikan istrinya. Terlebih jika ia ingin mengambil istri dari kaum bawah, maka ia berhak menentukan apa saja tanpa mempedulikan nasib orang lain.

Salah satu contohnya dalam menentukan bentuk pernikahan. Dalam prosesi pernikahan yang sebenarnya harus dihadiri oleh kedua mempelai, justru saat itu, Bendoro digantikan oleh sebuah keris saat menikahi Gadis Pantai. “Kemarin ia dinikahkan, dinikahkan dengan sebilah keris”. Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa pernikahan bisa digantikan dengan sebilah keris. Itu terjadi karena Bendoro adalah orang yang berkuasa dan bebas melakukan apa saja. Termasuk menggantikan dirinya dengan sebilah keris saat pernikahan. Hal demikian tentu bukanlah suatu hal yang normal untuk dilakukan, namun karena Gadis Pantai adalah kaum bawahan, maka ia patuh dan menerima semua perlakuan itu.

Dalam novel ini, digambarkan mengenai kehidupan Gadis Pantai setelah ia menikah dengan Bendoro. Hidup yang sebetulnya tidak pernah ia inginan sama sekali. Bahkan orang – orang memanggilnya dengan sebutan Mas Nganten. Sebuah panggilan baru yang melekat dalam diri Gadis Pantai. Panggilan yang menjadi pemisah antara dirinya dengan orang di bawahnya dan menjadi jarak antara ia dengan orang tuanya sendiri. Tak hanya itu, kehidupan baru tersebut seolah menjadi rantai yang membelenggu hidupnya. Seharusnya wanita bebas menikah dengan siapa saja yang ia cintai, hidup dengan tenang tanpa memikirkan batasan dan ketimpangan sosial yang terjadi.

Bahkan diakhir pernikahannya Gadis Pantai harus menerima perlakukan yang sangat menyakitkan. Menjadi istri percobaan adalah puncak dari rasa sakit dari seorang istri. Gadis Pantai diceraikan dengan tidak hormat.“Dan ingat. Pergunakan pesangon itu baik – baik. Dan tak boleh sekali – kali kau menginjakkan kaki di kota ini. Terkutuklah kau bila melanggarnya. Kau dengar?”. Ucap Bendoro saat menceraikan Gadis Pantai. Sia – sia sudah segala pengorbanan yang telah dilakukan oleh Gadis Pantai. Pesangon dijadikan sebagai patokan, seolah – seolah harga diri seseorang bisa dibeli hanya dengan harta. Begitulah kenyataan yang sebetulnya terjadi, apabila sudah bosan, maka seseorang bisa dicampakkan begitu saja. Alasannya adalah Bendoro akan menikah dengan wanita yang sederajat dengannya.

Maka yang tersisa dari Gadis Pantai hanya luka dan kekecewaan. Itu adalah segelintir dari banyaknya kasus serupa yang terjadi pada masa itu. Harga diri dan perasaan kaum bawahan bukanlah hal yang penting. Gadis Pantai yang bahkan sudah menjadi Mas Nganten sekalipun tak luput dari ketidakadilan itu, karena pada dasarnya Gadis Pantai adalah perempuan yang berasal dari kaum bawah, bukan dari kaum bangsawan.

Novel Gadis Pantai merupakan novel yang ditulis pada era kolonial Belanda. Cerita ini tidak hanya berkisah tentang kehidupan Gadis Pantai saja, namun kesenjangan sosial juga tergambar dari kisah seperti Gadis Pantai dengan pembantunya, dengan ibunya dan Bendoro dengan orang – orang yang kedudukannya lebih tinggi dari Bendoro itu sendiri. Novel ini ditulis dengan alur yang cukup sederhana oleh Pramoedya Ananta Toer, namun dengan kisah yang sangat epik. Melalui tokoh Gadis Pantai, kehidupan yang dipenuhi kesenjangan sosial itu dapat tergambar dengan jelas. Gadis Pantai melihat sendiri bahkan menjadi korban dari kesenjangan itu.

Dari novel Gadi Pantai ini, Pramoedya Ananta Toer mencoba untuk menyinggung dengan tegas tentang kebiasaan dan kebudayaan suatu masyarakat. Masyarakat yang menciptakan jurang pemisah antara satu sama lain. Status dijadikan landasan dasar untuk membedakan manusia. Kaum bangsawan hanya akan bergaul dengan kaum bangsawan juga, dan enggan untuk memandang pada kaum bawahan. Dalam novel Gadis Pantai, Masyarakat yang tinggal di perkotaan sangat menjaga jarak dengan masyarakat desa atau pinggiran.

Gadis Pantai menjadi lambang dari banyaknya kesenjangan sosial yang terjadi di tanah Jawa pada era itu. Gadis Pantai sekaligus menjadi saksi betapa peliknya kehidupan yang dihiasi oleh jurang pemisah antara kaum bangsawan dengan kaum bawahan.“Ah, tidak. Aku tidak suka pada pada priyayi. Gedung – gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan”. Ungkapan yang menjelaskan kekecewaan Gadis Pantai pada kaum priyayi yang suka menindas lalu berlindung dalam gedung – gedung mewah mereka, tanpa memikirkan perasaan orang yang teraniaya.

 

Tags: #Dara Suci Rezki Efendi
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Puisi-puisi Rola Novita Sari dan Ulasannya oleh Dara Layl

Berita Sesudah

Kehidupan Masa Lalu Ahmad Salam dalam Novel Neraka Dunia terhadap Kehidupan Masyarakat Masa Kini (Kajian Resepsi Sastra)

Berita Terkait

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Minggu, 25/5/25 | 14:40 WIB

Oleh: Raisa Tanjia Ayesha Noori (Mahasiswa S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas) Peraturan Daerah (Perda) sering kali dianggap sebagai...

Kekacauan dalam Film “Pengepungan di Bukit Duri”

Kekacauan dalam Film “Pengepungan di Bukit Duri”

Minggu, 25/5/25 | 13:01 WIB

Oleh:  Queendi Kumala (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas) GILA! Bukan karena film ini adalah suatu masterpiece, tetapi semua adegan...

Jumbo, Cermin Estetika Luka Dewasa di Balutan Imaji Anak-Anak

Jumbo, Cermin Estetika Luka Dewasa di Balutan Imaji Anak-Anak

Minggu, 18/5/25 | 07:55 WIB

Oleh: Nayla Aprilia (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Universitas Andalas, Padang)   Salah satu film animasi anak yang sedang naik daun...

Realitas Kekuasaan Budaya Politik Elite di Indonesia

Realitas Kekuasaan Budaya Politik Elite di Indonesia

Senin, 12/5/25 | 08:22 WIB

Oleh: Muhammad Syaifuddin Aziz (Mahasiswa Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya) Kekuasaan merupakan konsep sentral dalam...

Perkembangan Hukum Islam di Era Digital

Perkembangan Hukum Islam di Era Digital

Senin, 12/5/25 | 08:12 WIB

Oleh: Nahdaturrahmi (Mahasiswa Pascasarjana Hukum Islam, Universitas Islam Negeri Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi) Dunia modern bergerak dengan kecepatan yang luar...

Pandangan Khalil Gibran tentang Musik sebagai Bahasa Rohani

Pandangan Khalil Gibran tentang Musik sebagai Bahasa Rohani

Minggu, 11/5/25 | 11:53 WIB

Oleh: Faathir Tora Ugraha (Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)   Sebagai orang yang benar-benar menghargai seni sepanjang...

Berita Sesudah
Kehidupan Masa Lalu Ahmad Salam dalam Novel Neraka Dunia terhadap Kehidupan Masyarakat Masa Kini (Kajian Resepsi Sastra)

Kehidupan Masa Lalu Ahmad Salam dalam Novel Neraka Dunia terhadap Kehidupan Masyarakat Masa Kini (Kajian Resepsi Sastra)

Discussion about this post

POPULER

  • Kualitas Aspal Jalan di Kecamatan IV Koto Agam Dipertanyakan

    Kualitas Aspal Jalan di Kecamatan IV Koto Agam Dipertanyakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Libur Panjang 29 Mei – 1 Juni 2025, Ini Rekomendasi Wisata Seru di Kota Padang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Klarifikasi Wali Nagari Koto Gadang, Lahan Sawit yang Dipinjamkan ke Petani Akan Diremajakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Firdaus : Welly Suhery, Kader PKB untuk Masyarakat Pasaman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukittinggi Harus Bisa Tarik Banyak Minat Wisatawan Berkunjung

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Welly Suhery dan Parulian Resmi Dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Pasaman 2025–2030

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024