Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Only Yesterday film yang mengisahkan seorang anak perempuan bernama Taeko Okajima. Di dalam film, ada dua versi Taeko yang ditampilkan, yaitu Taeko dewasa berusia 27 tahun dan Taeko muda berusia 10 tahun.
Keduanya saling terhubung. Pasalnya, Taeko dewasa yang telah berusia 27 tahun selalu membawa serta dirinya ketika masih berusia 10 tahun. Hal ini tidak sepenuhnya baik bagi Taeko dewasa. Sebab, di usia tersebut banyak terjadi hal-hal yang membentuk pribadi Taeko di kemudian hari.
Di usia 10 tahun ia dihadapkan dengan masa transisi dari anak-anak menjadi seorang gadis belia. Meskipun dalam keluarga ia di kelilingi oleh banyak perempuan seperti ibu, nenek, dan dua orang kakak perempuan, namun hal itu tidak serta merta menjadikan Taeko jauh lebih siap dan jauh lebih paham tentang pubertas. Di mata nenek, ibu, dan kedua kakak perempuannya, Taeko 10 tahun hanyalah bocah perempuan lugu, polos, dan kekanakan.
Taeko dapat dikatakan tidak pernah dengan puas mengekspresikan diri dalam bentuk terbaik sesuai keinginan dan minatnya di waktu kecil. Hal ini salah satunya dikarenakan pola asuh dan hubungan persaudaraan antarperempuan di dalam keluarganya. Ia adalah putri terakhir dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Usianya pun terpaut cukup jauh dari kedua kakaknya yang telah memasuki sekolah menengah atas dan kuliah. Ayahnya, sebagai satu-satunya lelaki dalam keluarga bertipikal patriaki dengan karakter yang dingin, konservatif, selalu dilayani, diutamakan, dan penentu akhir untuk suatu keputusan.
Taeko berusia 10 tahun tidak mendapat kebebasan untuk mengekspresikan hal-hal yang ia suka. Bahkan, ia mendapat penentangan serta tiadanya dukungan dari orang-orang terdekatnya. Persoalan ini tidak ditampilkan secara gamblang, tetapi hanya melalui tindakan kecil dan obrolan sehari-hari semisal obrolan di meja makan bersama keluarga.
Hal itu rupanya berdampak pada kehidupan Taeko setelah dewasa. Ia memang tumbuh seperti gadis pada umumnya. Berusia 27 tahun, memiliki karier yang memumpuni, dan lajang. Sekilas kehidupan dewasa Taeko tampak biasa dan tidak ada yang salah dengan itu. Namun, seiring berjalannya film, kita dihadapkan pada Taeko dewasa yang kebingungan, tidak puas, hampa, bertanya-tanya, dan memiliki masalah dengan kepercayan dirinya.
Taeko lemah dalam pelajaran matematika. Ia kesulitan dalam mengerjakan soal pecahan yang menurut kakaknya amatlah mudah. Bersama ibunya, sang kakak mempertanyakan apakah Taeko normal? Pembicaraan itu terdengar oleh Taeko yang membuatnya tersontak kaget. Di dalam film adegan itu berakhir dengan Taeko yang tampak cemberut selayaknya anak perempuan yang sedang kesal ketika berusia 10 tahun. Namun, tanpa disadari obrolan itu rupanya menyisakan luka hingga Taeko berusia dewasa. Pernyataan sang kakak cukup mengikis rasa percaya dirinya.
Ketika melihat lembaran nilai hasil belajarnya, sang ibu hanya fokus pada nilai matematika Taeko yang tidak memuaskan. Ia melupakan nilai Taeko yang tinggi dalam mengarang. Bahkan, Taeko bercerita bahwa guru di sekolah memuji hasil karangannya. Namun, sang ibu mengabaikan hal itu. Ia malah berkata bila ia lebih suka Taeko yang tidak pilih-pilih makanan dibandingkan Taeko yang jago dalam mengarang.
Suatu waktu, Taeko tampil dalam teater sekolah. Ia mendapat peran kecil sebagai penduduk desa biasa. Dalam penampilan ia melakukan sedikit improvisasi yang justru membuat ia mendapat tawaran untuk tampil di teater kampus. Taeko amat menginginkan tawaran tersebut, namun ayahnya tidak menyetujuinya.
Menyaksikan Taeko terbilang mustahil bila kita tidak ikut meraba kembali bagaimana diri kita di masa kecil. Meskipun telah dirilis sejak 32 tahun lalu, film ini masih realistis bila dikaitkan dengan masa sekarang. Barangkali kita masih membawa diri kita sewaktu kecil kemana-mana. Ada sejumlah hal yang mengganjal di masa itu, namun tak terselesaikan dengan baik. Sisi kanak-kanak kita yang terluka itu perlu dibenahi.
Itulah yang dilakukan Taeko dewasa. Mengambil cuti kerja untuk liburan ke pedesaan adalah pilihan yang mengubah dirinya. Di desa ia bertemu Toshio yang sedikit banyak membantunya berdamai dengan dirinya yang berusia 10 tahun. Mereka bertukar sudut pandang lewat obrolan sehari-hari yang hangat dan saling respek satu sama lain. Toshio adalah pendengar yang baik. Ia membiarkan Taeko mengungkapkan apapun yang ingin ia bicarakan. Hal-hal yang selama ini barangkali berusaha dipendam oleh Taeko dalam-dalam.
Seperti judul film ini, Taeko 10 tahun terasa begitu dekat dengan Taeko 27 tahun. Semuanya seperti baru saja terjadi kemarin. Taeko melihat masa kanak-kanaknya dari sudut pandang lain seolah mereka berdialog untuk menemukan yang hilang dan mengembalikan yang seharusnya. Taeko akhirnya mendapatkan keduanya, ia berdamai dengan sisi kanak-kanaknya.
Discussion about this post