Oleh: Amaluddin Sope
(Dosen Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo)
Kawan Scientia, Kota Yogyakarta yang lahir dari adanya Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755, adalah salah satu dari kota bersejarah di Indonesia yang menyimpan kekayaan warisan budaya. Namun, ada yang menarik dari kota yang memiliki jargon “berhati nyaman” ini, tata ruang kotanya bukanlah pembangunan tanpa makna sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, melainkan ada makna filosofi yang tersirat dari setiap penempatan bangunan. Kota ini membentang dari arah utara (Merapi) ke selatan (Laut Selatan) sebagai sumbu imajiner, di antaranya berdiri Tugu Golong Gilig/Tugu Jogja di sisi utara, Keraton Yogyakarta sebagai pusat filosofi, dan Panggung Krapyak di sisi selatan. Apabila ditarik garis lurus, akan terbentuk garis yang disebut dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah simbol harmoni (keselarasan dan keseimbangan) hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah), sesama manusia (Hablun min Annas), dan manusia dengan alam, termasuk unsur kehidupan dan pembentuknya (api dari Gunung Merapi, tanah dari bumi Ngayogyakarta, air dari Laut Selatan, angin, dan langit). Keseluruhannya terinspirasi dari konsep filosofi Jawa, Sangkan Paraning Dumadi, dan oleh Sultan Hamengku Buwana I mengubahnya menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Hamemayu Hayuning Bawana” dan “Manunggaling Kawula Ian Gusti”.
Kawan Scientia, ide brilian Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I ) yang tertuang dalam tata ruang kota Yogyakarta, pada tanggal 18 september 2023 bertempat di Arab Saudi, Komite Warisan Dunia UNESCO dalam sidang luar biasa menetapkan The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks sebagai warisan dunia setelah melewati proses pengajuan sejak tahun 2014. Akhirnya, sumbu filosofi Yogyakarta dapat setara dengan situs-situs warisan dunia lainnya karena memenuhi kriteria (ii) dan (iii) Outstanding Universal Value (OUV) UNESCO.
Menyikapi penetapan tersebut, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat DI Yogyakarta-Jawa Tengah bekerja sama dengan Balai Pelestarian Kawasan Sumbu Filosofi (BPKSF) Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta mengadakan sarasehan pada tanggal 16 Oktober 2023 di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, melibatkan perwakilan tokoh masyarakat, akademisi, perwakilan perkumpulan pengusaha Malioboro (PPMAY) yang berada di area garis sumbu filosofi. Kegiatan sarasehan yang mengambil tema persepsi publik terhadap penetapan The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks sebagai warisan dunia ini berjalan lancar dan mendapat apresiasi positif dari narasumber dan peserta sarasehan.
Dalam sarasehan tersebut, hadir juga Kepala BPKSF, Dwi Agung Hernanto yang merespon persepsi publik terhadap penetapan sumbu filosofi Yogyakarta. Saat itu, BPKSF sedang mengupayakan beberapa kegiatan sosialisasi yang melibatkan berbagai stakeholder terkait setelah sebelumnya sosialisasi hanya dilakukan melalui media sosial.
Ini adalah langkah awal yang dilakukan untuk mengetahui persepsi publik terhadap penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Hasilnya, kita mengetahui beragam persepsi publik, terutama masyarakat yang tinggal dan mencari nafkah di sekitar garis sumbu filosofi. Persepsi masyarakat diwakilkan oleh Bapak Mustofa W. Hasyim, seorang budayawan dan juga tokoh masyarakat. Ada yang menjadi tanda tanya besar bagi beliau, mengapa penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta tidak seperti penetapan wayang, batik, dan pencak silat yang relatif mendapat respon positif dari masyarakat? Beragam jawaban muncul dari masyarakat ketika ditanya tentang Sumbu Filosofi Yogyakarta. Ada yang tidak tahu, ada yang menganggap persoalan lain lebih mendesak misalnya persoalan sampah, dan ada yang mengapresiasi sumbu filosofi.
Lain hal dengan persepsi pengusaha yang diwakilkan oleh Bapak Sadikin, mereka mempunyai persepsi yang relatif positif. Awalnya, para pengusaha tidak tahu mengenai sumbu filosofi namun setelah intens berinteraksi dengan dinas kebudayaan barulah mereka mengetahui tentang sumbu filosofi yang melewati area pertokoan mereka. Para pengusaha mendukung adanya penetapan sumbu filosofi sebagai warisan dunia karena akan menjadi milik bersama dan berharap adanya edukasi mengenai sumbu filosofi tersebut kepada wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.
Kemudian, informasi persepsi publik dari Dwi Pradnyawan, seorang pengajar di Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dalam sebuah sarasehan. Beliau juga adalah masyarakat yang tinggal di area sumbu filosofi. Menurutnya, penetapan sumbu filosofi sebagai warisan dunia menimbulkan beragam reaksi dari masyarakat, ada yang mengapresiasi sebagai prestasi dan kebanggaan dan ada yang skeptis dengan eksistensi sumbu filosofi. Hal yang paling penting setelah satu bulan penetapannya sebagai warisan dunia adalah memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan kesadaran pelestarian sumbu filosofi Yogyakarta pada semua kalangan.
Discussion about this post