Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Empat orang dosen muda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas yang sedang studi doktor di Universitas Gadjah Mada bertemu di Malioboro. Jarang-jarang momen seperti ini terjadi. Setiap diri sibuk dengan tugas masing-masing. Kalau pun bertemu, tidak pernah lengkap keempat-empatnya. Kalau pun bertemu, hanya satu dua di antara yang empat, itu pun tidak di Malioboro. Paling sering bertemu di kampus. Ada kalanya di kontrakan. Sekali-kali di tempat makan. Buat janji, lalu bertemu.
Pertemuan empat dosen muda ini di Malioboro yang merupakan pusat urat nadi kota Yogyakarta dapat dikatakan sesuatu yang istimewa. Lebih istimewa lagi karena pertemuan keempatnya diikuti pula pertemuan dengan seorang senior lulusan Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra, Universitas Andalas tahun 1991 yang sekarang menjadi staf pengajar (dosen) di Universitas Leiden di Belanda, yaitu Dr. Suryadi, M.A. Kebetulan pada hari itu, Uda Suryadi–saya biasa memanggilnya Uda karena gagap memanggilnya Ajo seperti kebiasaan di Pariaman–yang telah menjadi dosen tetap di Universitas Leiden sejak tahun 2001 itu sedang berlibur bersama keluarganya di Yogyakarta.
Tidak ada yang merencanakan pertemuan itu. Semua serba kebetulan. Hari itu, Dini seorang dari empat dosen FIB Unand yang sedang studi di FIB UGM melaksanakan ujian komprehensif. Dini lulus ujian dengan memuaskan. Selesai ujian, yang tiga lainnya datang memberikan ucapan selamat. Ketiganya tidak hadir ketika Dini sedang ujian karena memang tidak terbuka untuk disaksikan. Ucapan selamat untuk Dini disampaikan di University Club UGM, tempat Dini menginap. Tidak lama di sana, keempat dosen muda itu meluncur ke Malioboro untuk bertemu Uda Suryadi yang telah dikontak Defi untuk bertemu. Keberadaan Uda Suryadi di Yogyakarta terlacak melalui akun facebooknya. Gayung bersambut, keinginan bertemu akhirnya bisa terwujud.
Mulanya pertemuan direncanakan di warung makan “Sate Gajah” Malioboro. Keempat dosen muda menunggu di sana, tetapi terjadi lost contact dengan Uda Suryadi yang tidak terkoneksi sinyal internet karena menggunakan HP dengan nomor Belanda. Menurut Uda Suryadi, kini sulit untuk membeli nomor Indonesia karena harus registrasi macam-macam. Tidak seperti beberapa tahun silam di mana begitu sampai di bandara Indonesia dari penerbangan luar negeri dapat segera membeli nomor Indonesia. Karena tidak memiliki nomor Indonesia, Uda Suryadi terpaksa memanfaatkan jaringan wifi dan tethering HP untuk mengaktifkan akun medsosnya yang menjadi medianya untuk berkomunikasi. Tidak berapa lama menunggu di depan warung makan “Sate Gajah” Malioboro, Uda Suryadi muncul di sana sesuai dengan jam yang dijanjikan. Nampaknya kedisiplinan Uda Suryadi terhadap waktu telah menjadi bagian dari hidupnya sebagai manisfestasi dari keberadaannya di dunia barat yang memang dikenal disiplin waktu.
Pertemuan yang direncanakan di warung “Sate Gajah” Malioboro batal karena agak bising. Pertemuan dipindahkan ke sebuah tempat makan di Malioboro Mall lantai tiga. Suasana di dalam Malioboro Mall sama seperti di jalan Malioboro. Ramai. Banyak orang berkunjung ke sana. Belibur menikmati suasana. Ada juga yang sekedar cuci mata melihat-lihat produk baru dan isi mall. Tamu-tamu Malioboro dari luar daerah berbelanja berbagai produk khas Yogyakarta yang diperdagangkan di sana.
Bagi saya dan teman-teman dosen muda FIB Unand bukan suasana di Malioboro itu yang menarik karena kami sudah sering ke sana. Pertemuan dengan Uda Suryadi justru yang berkesan. Walaupun tidak lama, kami dapat pencerahan melalui diskusi berbagai topik, seperti selesai kuliah tiga SKS. Bukan seperti ota lapau. Diskusi diawali dengan cerita perjalanan Uda Suryadi kali ini dari Belanda ke Indonesia dalam rangka mengisi liburan musim panas mereka. Walaupun istilahnya pergi berlibur, tetapi tetap saja ada beberapa permintaan baginya untuk memberikan kuliah umum di beberapa tempat di Indonesia. Jadi katanya, kedatangannya tidak mutlak berlibur. Lebih tepatnya berlibur sambil bertugas. Di Yogyakarta dia berusaha untuk bersembunyi, tetapi tetap saja teman-temannya yang mengetahui kehadirannya di kota tersebut memintanya menghadiri beberapa forum. Kebetulan pada saat yang bersamaan, di FIB UGM sedang dilaksanakan kegiatan seminar Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa). Untuk kali ini, Uda Suryadi terpaksa mintak nas saja.
Pada pertemuan siang itu kami sempat mendiskusikan topik disertasi masing-masing. Lalu mendiskusikan fenomena dan perkembangan bahasa Indonesia saat ini. Mendiskusikan sumber-sumber pembelajaran dan arsip-arsip yang tersedia di Indonesia dan di Belanda. Uda Suryadi memberi gambaran pada kami bahwa apa pun arsip mengenai Indonesia ada di Belanda. Berbanding terbalik dengan kondisi yang dialami oleh salah seorang dari kami yang tidak menemukan arsip yang dibutuhkannya di lembaga arsip nasional. Uda Suryadi menyebutkan bahwa arsip tentang pabrik Semen Indarung 1 yang mulai beroperasi tahun 1910 lengkap dengan laporan keuangannya setiap tahun tersimpan dengan baik di Belanda. Uda Suryadi menjanjikan, jika butuh referensi yang sudah terlacak, tetapi tidak menemukannya di Indonesia, bisa meminta bantuannya untuk mencarikannya di Belanda.
Diskusi mengenai bahasa Indonesia menjadi tema yang paling menarik siang itu. Bahasa Indonesia merupakan sesuatu yang selalu menarik dan tidak pernah selesai untuk dibicarakan. Misalnya saja bagaimana bahasa Indonesia menyerap kosakata bahasa asing seperti bahasa Belanda dan bahasa lainnya dari waktu ke waktu. Bagaimana saat ini bahasa Indonesia dibanjiri oleh istilah-istilah baru yang bukan asli Indonesia. Bagaimana Badan Bahasa mengakomodasi perkembangan bahasa Indonesia, dan sebagainya. Termasuk juga bagaimana bahasa Indonesia dipolitisasi untuk kepentingan duit dan proyek. Kami distimulus oleh Uda Suryadi untuk menelurkan penelitian-penelitian baru mengenai fenomena tersebut. Kata “tethering” tiba-tiba menjadi contoh diskusi kami karena tiba-tiba muncul sebagai bahasa yang populer di tengah masyarakat saat ini. Dari mana kata itu berasal. Apa maknanya. Kapan dia muncul. Itu semua dapat diteliti dan dijadikan sebagai artikel ilmiah yang menarik.
Tidak terasa waktu berlalu, akhirnya kami mengakhiri pertemuan. Uda Suryadi ada janji lagi dengan mahasiswanya di Leiden yang sedang belajar di Yogyakarta untuk bertemu. Kami berpamitan. Besoknya Uda Suryadi akan meneruskan liburan sambil bertugasnya ke Surabaya. Ketika keluar dari Maliobooro Mall ternyata hari sudah menjelang magrib. Nun dari corong masjid yang ada di sekitaran Malioboro telah berkumandang suara azan. Saya ke masjid untuk salat magrib. Tiga teman lain juga berpencar-pencar kembali ke kontrakan masing-masing.
Begitulah, hari itu kami memperoleh ilmu dan berkah dari sesuatu yang tidak direncanakan, tetapi telah ditakdirkan Yang Maha Kuasa. Siang itu, empat anak muda yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta bertemu di Malioboro yang ikonik itu, berdiskusi hangat dengan seorang intelektual hebat, pakar filologi dan kebudayaan Minangkabau, putra Piaman yang meretas sejarah intelektualnya di Leiden, Belanda. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan”. Siang itu, bagi kami Malioboro bukan lagi sekadar tempat pelesiran, melainkan tempat merajut silaturahmi antara dua generasi dari almamater yang sama, yaitu Universitas Andalas. Wallahu alam Bissawab.
Yogyakarta, 25/08/2023
Discussion about this post