Oleh: Ria Febrina
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Suatu hari saya dihubungi oleh salah seorang teman di Padang. Dia minta saya mencari sebuah buku berbahasa Belanda. Buku tersebut tersedia terbatas. Beberapa tempat yang menyediakan akses buku tersebut adalah Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Nasional RI, perpustakaan kampus, seperti Perpustakaan UGM dan Perpustakaan UI, serta perpustakaan khusus, seperti Perpustakaan Balai Arkeologi Yogyakarta dan Perpustakaan Balai Arkeologi Bali. Lokasi yang jauh dan akses yang terbatas membuat teman saya harus mencari cara untuk mendapatkan buku tersebut.
“Untunglah kamu berada di Yogyakarta,” ujarnya.
Teman saya merasa beruntung dengan status saya sebagai mahasiswa UGM. Dia pun meminta salah mencari buku tersebut di Perpustakaan UGM. Namun, sebaliknya, sayalah yang beruntung. Permintaan teman tersebut membuat saya akhirnya mampir ke Perpustakaan UGM dan juga perpustakaan lain di Yogyakarta. Saat itu perpustakaan terbuka secara terbatas karena pandemi. Waktu berkunjung pun sangat singkat.
Meskipun sudah beberapa bulan di Yogyakarta, saat itu saya belum berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan di Yogyakarta, termasuk Perpustakaan UGM. Namun, permintaan teman membuat saya akhirnya memulai petualangan sendiri. Sebuah petualangan yang kemudian membuat saya jatuh cinta dan nyaman menghabiskan waktu di perpustakaan dari pagi sampai laruik sanjo atau petang tiba. Dari Senin sampai Jumat dan kadang-kadang juga hari Sabtu.
Bagi saya, perpustakaan-perpustakaan di Yogyakarta memiliki aura tersendiri. Setelah berkali-kali berkunjung, saya selalu ingin kembali lagi. Di Yogyakarta sendiri, saya sudah berkunjung ke Perpustakaan Kota Yogyakarta, Perpustakaan Balai Bahasa Yogyakarta, perpustakaan kampus, baik kampus negeri maupun kampus swasta, serta lapak buku dan kafe-kafe yang menyajikan rak-rak buku. Di Yogyakarta, perpustakaan, museum, dan galeri layak dijadikan destinasi wisata.
Para pustakawan selalu tersenyum menyambut kita. Melayani dengan ramah dan hangat. Ketika menanyakan sebuah buku, mereka senantiasa membantu, mengarahkan dengan tangan kanan sembari empat jari ditekuk dan jempol menjadi petunjuk. Meskipun tidak tertulis, sikap ini sangat sopan. Suasana yang memang khas di Yogyakarta.
Saya mulai berpetualang di Layanan Sirkulasi. Di ruangan ini banyak buku yang terpajang. Rata-rata buku-buku dengan tahun lama. Namun, buku-buku tersebut memang koleksi yang tidak akan dicetak lagi. Menemukan buku-buku tersebut membuat saya senang karena ada judul-judul yang memang tidak bisa lagi ditemukan di perpustakaan mana pun di Padang. Tentu saja saya tidak melewatkan kesempatan meminjam dan mengoleksi buku tersebut.
Satu hal lagi yang menyenangkan di perpustakaan Yogyakarta adalah layanan yang sudah memanfaatkan teknologi. Buku-buku sudah memiliki barcode sehingga ketika buku sudah didapat, pustakawan akan memindai dan otomatis data masuk ke dalam akun kita. Saat singgah di perpustakaan Universitas Sanata Dharma, pelayanan juga sama. Bahkan, kita disediakan anjungan buku mandiri sehingga setelah mendapatkan buku, kita dapat memindai sendiri buku-buku yang dipinjam. Setelah itu, buku-buku diserahkan kepada pustakawan untuk dicek kembali.
Di beberapa lokasi di Indonesia, memang layanan perpustakaan masih sangat manual. Masih banyak yang mencatat manual di atas kertas sehingga kemungkinan buku-buku hilang dan buku-buku tidak kembali ke perpustakaan pasti akan terjadi. Data buku yang dipinjam dan data buku yang masih ada di perpustakaan pun menjadi sulit dilacak. Berbeda dengan sistem yang memanfaatkan teknologi ini. Ketika saya singgah ke perpustakaan lain, termasuk ke Perpustakaan Taman Ismail Marzuki di Jakarta, saya menyaksikan bahwa perpustakaan di kota-kota besar sudah menerapkan hal yang sama. Pustakawan sudah peduli dengan keberadaan buku dan keefesienan pelayanan. Sebuah cara yang patut ditiru oleh pustakawan lain di daerah.
Namun sayangnya, buku teman saya tidak ada di koleksi tersebut. Saat kebingungan, saya dibantu pustakawan melacak di layanan digital dan ternyata buku tersebut sudah masuk ke koleksi langka. Saya pun pindah ke lantai 2 Perpustakaan UGM yang khusus melayani koleksi langka. Di koleksi langka, buku-buku yang terdaftar tidak semuanya ada fisiknya. Hampir rata-rata buku hanya ada versi digital. Pustakawan bercerita kalau buku-buku tersebut sudah banyak yang dimakan rayap dan hampir rusak. Salah satu cara yang dilakukan pustakawan adalah mendigitalisasi buku-buku tersebut sehingga kami masih bisa mengakses melalui komputer.
Saya jadi ingat dengan perbincangan singkat bersama alumni Sastra Minangkabau Universitas Andalas yang saat ini mengajar di Leiden University, Dr. Suryadi, beberapa saat lalu saat berkunjung ke Yogyakarta. Beliau berharap perpustakaan di Indonesia mengutamakan digitalisasi. Jangan sampai kita mengulang kejadian 50 tahun lalu. Kita tidak memiliki arsip sendiri. Arsip-arsip kita hanya ada di Belanda. Kadang untuk menemukan buku yang ditulis oleh orang Indonesia, kita justru harus ke Belanda. Jangan sampai Indonesia 50 tahun ke depan tidak memiliki arsip seperti mengulang masa lalu.
Digitalisasi yang dilakukan Perpustakaan UGM layak diapresiasi. Namun, memang belum semua yang diarsipkan secara digital. Pemikiran-pemikiran bagus dari penulis, pemikir, ahli, akademisi, dan praktisi Indonesia dalam berbagai bentuk, seperti tulisan, audio, visual, patut diarsipkan sehingga kapan pun nanti kita ke perpustakaan, perpustakaan benar-benar menjadi jendela kita melihat masa lalu dan juga jendela untuk merencanakan masa depan.
Setelah menemukan dokumen digitalnya, saya memotret lembar demi lembar yang ternyata isinya memuat data nama-nama tempat pada masa Belanda. Membaca toponimi pada masa lampau membuat saya kembali pada mata pelajaran sejarah. Bahasa mendokumentasikan sejarah dan sejarah menceritakan kembali apa yang terjadi pada masa lampau.
Sejak saat itu, saya lanjutkan berkelana ke Perpustakaan UGM. Saya mencari tempat ternyaman di setiap sudut perpustakaan. Ruang-ruang di Perpustakaan UGM memang tidak seperti ruang-ruang di Perpustakaan Taman Ismail Marzuki, Cikini, yang memberikan suasana megah, cantik, dan modern. Setiap sudut di Perpustakaan Taman Ismail Marzuki sangat instagrammable atau cocok menjadi latar foto yang akan diunggah ke Instagram. Di Perpustakaan UGM, dari lima lantai yang ada, hanya satu ruangan yang mirip dengan Perpustakaan Taman Ismail Marzuki, yaitu ruangan The Gade Creative Lounge. Sebuah ruangan yang berkonsep mini co-working space yang sangat modern, ramah, dan mampu melahirkan ide-ide kreatif untuk mahasiswa yang duduk di dalamnya.
The Gade Creative Lounge ini tercipta atas kerja sama antara Rektor UGM dan Direktur Utama PT Pegadaian. Namun, ruangan ini tidak hanya ada di UGM. Di kampus lain, seperti Universitas Brawijaya, Universitas Sebelas Maret, Universitas Airlangga, dan juga Universitas Andalas juga sudah memiliki ruangan ini. Ada banyak kursi yang didesain minimalis dan modern yang bisa dipakai oleh mahasiswa untuk bekerja, baik untuk menulis tugas kuliah, menulis skripsi, tesis, dan disertasi, serta menulis proposal-proposal kreatif untuk bersaing di tingkat nasional dan internasional.
Di ruangan ini juga ada ruangan bersekat untuk pribadi dan kelompok. Di ruangan bersekat pribadi, kita seperti berada di ruangan kerja pribadi. Di ruangan sekat berkelompok, kita bisa berdiskusi dan rapat kecil untuk setiap proyek yang akan dikerjakan. Semua ruangan ditata modern dengan lampu-lampu baca yang berwarna kuning dan cantik, serta diiringi dengan instrumen alam. Selama berada di ruangan, kita akan mendengarkan suara air mengalir dan suara burung yang berkicau. Musik yang mampu membuat kita larut dalam pikiran sendiri.
Jika merasa jenuh dan lelah, pengunjung bisa bermain dan rehat sejenak. Kita bisa bermain golf, sepak bola meja atau football, serta bermain catur. Dengan ruangan yang sejuk karena AC, saya yakin sudah banyak karya-karya lahir di ruangan ini. Sejak awal masuk ke ruangan ini, kita memang dimanjakan dengan desain yang nyaman. Pikiran kita bebas menjelajahi dunia melalui jendela di layar laptop. Saat berkelana tersebut, ruangan bersama ini pun berubah menjadi ruangan privat.
Di layar laptop, saya mulai menjelajah. Saya membuka library UGM melalui lib.ugm.ac.id. Ada banyak fasilitas yang diberikan, seperti akses ke jurnal, buku-buku digital, serta tesis dan disertasi. UGM memang membuka kesempatan kepada mahasiswa dan juga pengunjung luar untuk mencari referensi, tidak hanya dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Akses ke jurnal internasional sangat terbuka, seperti Scopus, Science Direct, JStor, Sage Journals, Taylor and Francis, Cambridge Core, dan Springer Link.
Setelah menjelajah di beberapa perpustakaan tersebut, saya menyimpulkan bahwa tidak hanya mahasiswa yang boleh masuk. Siapa pun bisa berkunjung dan menikmati wisata edukasi di perpustakaan-perpustakaan Yogyakarta. Pustawakan akan memberikan kesempatan bagi kita untuk masuk, berkelana menemukan buku dan juga referensi. Di Perpustakaan UGM misalnya, pengunjung yang bukan mahasiswa UGM dapat melapor ke bagian resepsionis, lalu memberikan identitas berupa KTP atau kartu siswa/kartu mahasiswa. Setelah mendapat surat izin masuk, kita bisa merasakan sehari menjadi keluarga Universitas Gadjah Mada.
Destinasi ternyata tidak hanya tentang indahnya pemandangan alam, bukan? Pemandangan, pengetahuan, dan kekayaan alam, sejarah, dan budaya yang tersimpan dalam tulisan, audio, dan visual yang ada di perpustakaan juga merupakan sebuah destinasi. Jadi, jangan lupa ke perpustakaan UGM kalau mampir ke Yogyakarta ya!
Discussion about this post