Oleh: Fadli Hafizulhaq
(Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas dan Ketua FLP Sumbar)
Dalam sebuah diskusi, seorang kenalan pernah mengaku bahwa tesis magister yang ia kerjakan terbilang sulit. Kesulitan itu dimulai sejak ia memilih bahan penelitian. Bahan penelitiannya adalah buah sawo yang harus dipetik langsung dari ladang. Hal itu dilakukan untuk memastikan bahwa buah yang akan dijadikan sampel bebas atau paling tidak minim kerusakan. Kenalan saya ini bahkan sempat berseteru dengan petani lantaran petani keberatan untuk mengikuti arahannya.
Dia meminta agar pemanenan tidak dilakukan dengan menjatuhkan buah dari pohon. Meskipun telah dijelaskan dengan baik-baik, petani beralasan bahwa selama ini mereka memanen dengan menjatuhkan buah dan buahnya tidak rusak. Padahal kenyataannya kerusakan buah bukan hanya yang kasat mata, melainkan juga yang tidak tampak. Kerusakan yang tidak tampak inilah yang dapat menjadi penyebab pendeknya umur simpan buah.
Berkenaan dengan uraian di atas, Food and Agriculture Organization (2019) memperkirakan 14% dari makanan di dunia, dengan nilai 400 miliar dolar Amerika Serikat, hilang setiap tahun di waktu antara panen hingga sampai ke pasar eceran. Salah satu penyebab kerugian tersebut tidak lain adalah kesalahan teknis pada saat pemanenan—seperti yang sudah kita ilustrasikan di pembuka tulisan ini.
Teknik pemanenan tradisional berpotensi menciptakan kerusakan dan cedera pada buah. Sebagai contoh, pemanenan dengan galah berpotensi merusak kulit luar atau daging buah jika tidak tepat mengenai tangkai. Jika pun pemanen dilakukan tepat pada tangkai, energi impak yang dihasilkan saat buah membentur permukaan juga sangat berpotensi menciptakan kerusakan mekanis. Umumnya jenis kerusakan yang terjadi adalah lecet, luka, atau memar pada kulit dan daging buah.
Untuk meminimalisir terjadinya kerusakan mekanis di atas, pemanenan dapat dilakukan dengan menggunakan galah berjaring. Jaring akan menampung buah yang jatuh sehingga terhindar dari benturan dengan permukaan. Hal ini akan meminimalisir jumlah buah reject yang tidak laku dijual atau yang berharga murah. Alhasil, jumlah produk berkualitas atau kelas terbaik dari setiap proses panen dapat ditingkatkan.
Selain itu, petani juga harus waspada dengan kesalahan waktu panen. Pemanenan yang dilakukan di waktu yang tidak tepat dapat mengakibatkan produk kurang matang atau bahkan terlewat matang. Pada beberapa komoditas, produk yang dipanen sebelum waktunya memiliki harga jual yang lebih rendah. Sementara itu, produk yang dipanen lewat waktunya akan cepat membusuk sehingga berpotensi hilang ketika proses distribusi. Untuk meminimalisasi risiko, petani dapat mendokumentasikan perkembangan tanaman pertanian dan menjadwalkan panen di waktu yang seharusnya.
Uraian-uraian tadi barangkali memberi kesan “merepotkan” bagi sebagian pembaca atau petani. Kenapa memanen buah saja harus seperti itu? Kenapa yang mudah dibuat susah? Jawaban dari kedua pertanyaan itu sangat terkait dengan kualitas dan keamanan buah hasil panen. Kerusakan mekanis seperti luka dan memar mungkin tidak tampak serius di hari pemanenan, akan tetapi luka tersebut dapat menjadi pintu masuk bagi mikroba. Saat mikroba telah masuk ke dalam buah, pembusukan dapat terjadi lebih cepat. Buah yang tadinya segar dapat kedaluwarsa lebih awal dan tidak aman untuk dikonsumsi.
Jika pun kita coba mengenyampingkan potensi kedaluwarsa yang lebih awal, sebagai pembeli agaknya kita akan memilih buah yang mulus daripada yang memiliki goresan dan sejenisnya, bukan? Buah-buah yang rusak memang tetap masih bisa dijual, tapi dengan harga yang lebih murah. Sebagai contoh, tidak jarang kita temukan di jalanan ada penjual memasang label harga murah dengan tulisan yang besar. Trik pemasaran tersebut sungguh menarik, namun saat kita mencoba menanyakannya, bisa jadi harga tersebut adalah harga untuk buah rusak ataupun kualitas rendah hasil sortiran.
Satu hal lagi, buah-buah yang rusak hampir tidak mungkin masuk ke pasar-pasar modern seperti swalayan. Pemilik bisnis tentu akan selektif dengan pemasok buah ke toko mereka. Pemasok juga tentu lebih selektif dalam menerima hasil panen petani yang dijual pada mereka. Nah, bayangkan jika petani mau lebih peduli dengan teknik pemanenan dan kualitas buah ini, mereka tentu bisa meminimalisasi potensi kerugian. Lebih dari itu, bukan tidak mungkin juga para petani bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menjual langsung ke pengecer akhir. Dengan kata lain, petani punya peluang memperpendek rantai pasok atau distribusi dan meningkatkan pendapatan mereka.[]
Discussion about this post