Oleh: Ria Febrina
(Dosen Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Menikmati matahari terbit dari atas kawasan Gunung Bromo dan melihat lautan awan di bawah kaki berpijak sungguh idaman setiap orang. Itulah yang kami alami ketika minggu kemarin mendapat kesempatan berkunjung ke Malang, kota dengan udara yang sejuk karena berada di daerah pegunungan. Bahkan, saat kami tidak menggunakan AC, kami masih harus menarik selimut saat tidur karena dingin. Di kota inilah kami masih bisa menikmati cuaca tempo dulu. Tidak perlu kipas angin dan AC untuk menikmati cuaca yang sejuk. Mirip Kota Padangpanjang dan Kota Bukittinggi di Sumatera Barat.
Namun, kami lupa bahwa Gunung Bromo tidak terletak di Kota Malang, tetapi jauh ke atas gunung yang terletak di empat wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang. Daerah ini termasuk sangat dingin. Saat menggunakan air di toilet, dinginnya seperti air yang dikeluarkan dari kulkas.
Sebelum berangkat ke Gunung Bromo, teman-teman mengingatkan agar jangan lupa membawa banyak jaket, kupluk, syal, sarung tangan, dan kaus kaki. Saya pun sebagai orang pertama yang berkunjung ke daerah ini, manut saja. Saya bahkan menyiapkan tiga jaket untuk tiap-tiap kami. Jikalau cuaca begitu dingin, kami sudah siaga. Sesuai dengan dugaan, pada pukul 04.45 WIB, saat kami tiba di pondok dekat sunrise point di Gunung Bromo, cuaca sangat dingin. Saya yang sudah mengenakan manset, baju, dua buah jaket, serta kupluk, syal, sarung tangan, dan kaus kaki, masih tidak kuat. Rupanya saya melupakan satu hal. Celana legging. Harusnya saya mengenakan celana yang ketat untuk membalut kulit tubuh. Celana yang biasa saya pakai memiliki ruang yang menyebabkan angin gunung masuk melalui celah-celah bagian kaki.
Karena sudah sampai di sini, perjalanan harus lanjut. Tidak boleh diam saja atau menyerah di pondok. Kami menghangatkan tubuh dengan memesan minuman panas, lalu duduk di dekat perapian yang disediakan pemilik pondok. Saat azan subuh berkumandang, saya memilih tayamum karena saat masuk ke pondok, saya sudah ke toilet dan merasakan air di sana seperti memegang es batu. Suami dan anak saya juga melakukan hal yang sama. Kami tidak ingin tumbang sebelum sampai ke puncak Gunung Bromo.
Selepas salat, pemandu sudah memberi aba-aba bahwa kita akan naik ke Gunung Bromo. Sejak tadi sudah banyak tamu yang lain yang naik. Mereka naik melalui banyak jalan setapak. Pemandu kami dari Dolan Gunung Bromo (@dolan_gunungbromo) memberitahu bahwa kami akan naik di sisi yang lain. Kami manut karena memang sejak awal, sejak berada di basecamp, pemandu sudah menyampaikan beberapa hal.
Pertama, kami dilarang membahas apa pun dalam perjalanan ketika misalnya mendengar suara gong, gamelan, orang menangis, atau bahkan seseorang memanggil nama kami. Jika terdengar, diam saja dan abaikan. Maklum, kami berada di gunung. Tidak boleh ada perasaan sombong saat di sana. Kedua, kami diminta untuk mengikuti petunjuk pendamping. Jika pendamping berkata, kita akan menyewa ojek, kami akan mematuhi. Kalau pemandu berkata, kita duduk di pondok A, kami sebaiknya mengikuti. Benar adanya, ketika turun dari mobil jeep, kondisi di lapangan tidak seramah yang dibayangkan. Banyak penduduk lokal yang datang mengendarai motor dan agak memaksa agar kami naik ke motor mereka.
Khususnya ketika kami naik ke penanjakan dari pondok peristirahatan, ada seorang Bapak mendekat dan memaksa kami naik motor saja ke atas sembari berkata, “Jalannya jauh, bisa 40 menit”. Lalu, di ujung jalan, saat dia bertemu temannya, dengan agak kasar mereka berkata bahwa saya keterlaluan kepada anak karena membiarkan mereka mendaki. Padahal, jarak antara pondok dengan puncak tidak jauh. Kami hanya berjalan sekitar 5-10 menit. Syukurlah petunjuk dari pendamping membuat kami terhindar dari hal-hal yang tidak nyaman tersebut.
Konon katanya, tamu yang naik motor mereka, yang awalnya ditawari dua puluh ribu rupiah, bisa-bisa menjadi empat puluh ribu atau lima puluh ribu rupiah saat turun nanti. Masyarakat lokal memang belum semuanya siap dengan kemajuan wisata di sana. Padahal, dari penuturan pengemudi mobil jeep, ada seribu mobil jeep yang membawa tamu hari itu. Saat libur Lebaran, jumlah mobil jeep yang dikendarai bisa sampai 1500-an. Satu mobil jeep bisa diisi oleh 3—6 orang tamu. Sungguh jumlah yang luar biasa.
Kala sudah naik ke bagian atas—meskipun belum puncaknya—saya sudah menyaksikan lautan awan. Masyaallah. Allahu Akbar. Tak henti-henti kami memandang takjub keajaiban alam. Tak berapa lama setelah berdiri, pemandu memberitahu agar kami mengabdikan momen saat matahari terbit. Cahaya jingga memang sudah mulai nampak dari timur. Saya tentu tidak mau melewatkan kesempatan ini. Saya mengabadikan matahari terbit dari balik cahaya gelap sampai terang.
Di sela-sela itu, pemandu mengabadikan momen kami berfoto dengan latar tersebut. Kami berfoto saat berada di pinggir lautan awan dengan latar puncak gunung. Puncak Gunung Batok yang tinggi dan puncak Gunung Bromo yang rendah menjadi latar foto kami. Sebuah pemandangan yang pasti akan dirindukan. Bahkan, selepas dari sana, saya dan suami berkata dan berjanji, suatu hari ke sini lagi. Kali ini akan mendaki sampai ke kawah Bromo. Untuk ke kawah Bromo, butuh dua jam berjalan ke sana. Karena membawa anak-anak, kami tidak sanggup kali ini.
Selepas dari sunrise point, kami dibawa ke Bukit Widodaren, yaitu objek wisata yang lokasinya tidak jauh dari Gunung Bromo dan Gunung Batok. Bukit ini merupakan bagian dari kaldera Tengger yang sekalian menjadi bagian dari halaman Nasional Bromo Tengger Semeru. Namun, kabut terlalu tebal. Kala cuaca cerah, sangat bagus menikmati pemandangan alam dan berfoto di sini. Meskipun begitu, kami tetap mengabadikan diri di antara kabut sambil berkodak beberapa jepret.
Dari Bukit Widodaren, kami dibawa ke parkiran mobil jeep untuk sarapan. Di sana sudah tersedia banyak pondok yang menyajikan makanan prasmanan. Ada aneka sayur, telur asin, ayam goreng, serta nasi panas. Ditemani segelas teh hangat, perut dan tubuh yang dingin menjadi hangat setelah menikmati sarapan. Harganya juga tidak mahal. Hanya dua puluh ribu rupiah dengan ampela ayam dan lima belas ribu rupiah dengan telur asin. Harga segelas teh panas juga hanya lima ribu rupiah.
Jika saya pikir sejak awal kedatangan, masyarakat sekitar sudah sangat siap dengan kunjungan wisatawan. Saat kami datang, sudah ada pondok untuk istirahat menjelang matahari terbit. Setelah agak pagi, juga sudah ada tempat sarapan yang berjejer banyak sekali. Di pondok-pondok tersebut, juga tersedia perlengkapan ke gunung bagi yang lupa membawanya. Ada jaket yang disewakan. Ada kupluk, syal, sarung tangan, dan kaus kaki tebal yang dijual. Sangat lengkap sehingga membuat kita yang belum pernah ke sana tidak perlu khawatir kekurangan apa pun.
Setelah sarapan, kami memanfaatkan waktu berfoto di sini di tengah ratusan mobil jeep yang sedang parkir. Betul-betul memberikan suasana yang berbeda dengan latar lagi-lagi Gunung Batok dan Gunung Bromo. Setelah berfoto, kami melanjutkan perjalanan ke Pasir Berbisik. Pasir Berbisik berada di kawasan puncak Gunung Bromo yang memiliki hamparan padang pasir yang luas. Ratusan mobil jeep berkeliaran di sini. Kami melihat mobil jeep bak kotak korek api yang bertebaran di mana-mana. Luasnya daerah ini memungkinkan kami untuk berfoto dengan latar gunung sepi. Padahal, di sekitar sana banyak tamu dan banyak mobil jeep berseliweran.
Di pasir berbisik, cuaca sudah mulai hangat. Kami tidak lagi kedinginan. Saya sudah mulai melepaskan jaket dan menyisakan syal di leher untuk tetap merasa hangat. Pemandu kami yang merupakan seorang fotografer mengarahkan dengan sangat profesional bagaimana seharusnya kami berpose di atas dan di samping mobil jeep, serta di bebatuan di sekitar Pasir Berbisik. Bahkan, beliau mengendarai mobil jeep untuk memposisikan tepat berada di depan gunung. Hasilnya sangat memuaskan. Kami mendapatkan foto yang sangat cantik.
Setelah berfoto, sejenak kami menikmati lautan pasir dengan cuaca yang hangat sebelum akhirnya dibawa ke wisata terakhir, yaitu Bukit Teletubbies. Bukit Teletubbies merupakan sabana yang luasnya mencapai 382 hektar. Masyarakat dulu menyebutnya dengan Lembah Jemplang. Namun, karena bukit-bukit berwarna hijau mirip dengan bukit dan padang hijau di serial Teletubbies, dinamakanlah bukit ini dengan Bukit Teletubbies.
Di kawasan ini banyak sekali tanaman. Ada pakis, ilalang, lavender, dan berbagai jenis rumput. Berada di antara ilalang tersebut dengan latar Bukit Teletubbies juga menjadi tempat terbaik untuk berfoto. Mata pun seperti dimanjakan dengan pemandangan yang sangat hijau. Mata saya bak menjalani kisah terbaiknya. Pemandangan hijau membuat bagian mata yang berwarna putih atau skleramata semakin putih. Mata terasa segar dan cerah.
Karena kawasan ini menjadi lokasi terakhir, pemandu pun menyuruh kami untuk berkeliling sambil menikmati bakso, kelapa muda, atau es krim. Di kawasan ini para penduduk banyak yang berjualan dengan sepeda motor. Sebuah pemandangan yang membuat saya mengangguk-angguk dan berkata dalam hati, “Keren sekali Bromo. Kita benar-benar menikmati sebuah destinasi dengan manajemen yang tertata, meskipun sederhana dan konvensional.”
Setelah menikmati es krim di cuaca yang mulai panas, saya mengajak adik saya berfoto di depan mobil jeep dengan latar Bukit Teletubbies. Kami benar-benar menikmati waktu di sini sampai akhirnya pemandu datang dan berkata, “Saatnya kita pulang”. Tentunya sebelum pulang, saya mengabdikan kenangan bersama pemandu dan juga pengemudi mobil jeep. Jika nanti kami datang kembali, saya akan menemui mereka untuk kembali menjalin silaturahmi.
Setelah menaiki mobil, kami mulai merasa lelah. Mata mulai mengantuk karena tidak tidur sejak semalam. Cuaca juga terasa panas dan sudah saatnya bersembunyi dengan tidur dalam perjalanan. Sebelum mata terpejam, kami masih menyaksikan jalan yang dilewati semalam saat kondisi gelap dan kabut pekat. Ternyata di sisi kiri dan sisi kanan jalan yang dilalui semalam, ada jurang-jurang yang membuat kuduk bergidik ngeri. Bahkan, kabut yang pekat semalam sempat membuat kami tersesat dengan berkendara melingkari kawasan Bromo. Namun, kami tersesat berjamaah sebab jarak antara satu mobil jeep dan mobil jeep lain sangat berdekatan, seperti jarak mobil di lampu merah jalanan kota. Syukurlah saat kabut memudar, pengemudi membawa kami ke jalan yang seharusnya dan bertemu dengan para pengemudi mobil jeep yang berada di jalur yang benar.
Saat mengetahui semua itu, saya tidak mau mengenang lebih jauh. Kami bersyukur sudah melewati perjalanan ini karena pemandu sempat bercerita saat kami sudah berada di Kota Malang. Ada tamu yang mendengar gong sejak tiba sampai masa pulang. Ada juga tamu yang melihat penghuni dunia lain di kawasan ini. Kami bersyukur tidak menjadi bagian dari mereka. Sebagaimana pesan pemandu, berkelana ke alam harus dengan niat yang baik. Niat kami hanya menikmati dan mensyukuri keindahan alam yang diciptakan Tuhan.
Discussion about this post