Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Sastra Indonesia FIB Unand)
Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra di samping puisi dan prosa. Seorang penulis naskah drama disebut sebagai dramawan. Istilah ini juga berlaku untuk menyebut pemain, sutradara, maupun orang-orang lain yang berkecimpung di dunia seni drama. Naskah drama bukan semata-mata dibuat untuk dibaca saja, tetapi juga dimainkan. Seperti jenis sastra lainnya, drama tidak lahir dari sebuah kekosongan. Mengutip Damono (2006), sejak kemunculan pertamanya di Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19, drama menjadi salah satu jenis sastra yang paling populer. Drama diciptakan masyarakat untuk kebutuhan tertentu. Tidak hanya sekadar hiburan, drama kemudian juga menjadi bagian dari identitas suatu masyarakat.
Seorang pengarang dan penyair dapat menjadikan realitas di sekelilingnya sebagai inspirasi penciptaan suatu karya. Pada karya sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang yang berasal dari Minangkabau, latar belakang seperti situasi dan kondisi sosial masyarakatnya memengaruhi proses kreatif dalam menciptakan karyanya, seperti Marah Roesli dengan novel Sitti Nurbaya, A.A. Navis dengan cerpen “Robohnya Surau Kami”, Buya Hamka dengan novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck dan Terusir, Wisran Hadi dengan naskah dramanya yang berjudul “Orang-orang Bawah Tanah”, dan sebagainya.
Karya sastra yang ditulis oleh para pengarang berdarah Minangkabau kerap memasukkan unsur lokalitas. Hal ini tercermin dari unsur estetis dari karya-karya seperti latar tempat yang menjadi representasi daerah tertentu yang terdapat di Sumatera Barat, nama-nama khas Minangkabau, maupun bahasanya. Membaca karya sastra berlatar Minangkabau, pembaca dapat mengetahui prinsip dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Minangkabau, adat istiadat, dan tradisi. Tema-tema dalam cerita karya sastra Minangkabau disesuaikan dengan permasalahan yang sedang terjadi pasar saat itu. Oleh karena itu, karya sastra juga dapat menjadi media pengarang untuk menyampaikan kritik sosial.
Salah satu pengarang asal Minangkabau adalah Wisran Hadi. Ia lahir di Lapai, Padang, 27 Juli 1945 dan dikenal sebagai sastrawan, seniman, budayawan yang menulis karya sastra dengan berbagai genre seperti naskah drama, novel, cerpen; dan telah menghasilkan beragam karya seni seperti randai, pertunjukan teater serta seni lukis. Mengutip Monika (2021), ciri khas kepengarangan Wisran Hadi ialah dirinya yang kerap melakukan eksplorasi kata dan bahasa, mengaitkannya dengan kisah klasik seperti tambo, kaba; dan juga sejarah dalam karya-karyanya. Karya-karya Wisran Hadi juga berangkat dari situasi dan kondisi realitas sosial yang ada di Minangkabau.
“Orang-orang Bawah Tanah” (1996) merupakan satu dari naskah drama yang ditulis oleh Wisran Hadi. Naskah ini cukup populer untuk dipentaskan, salah satunya pada acara parade teater dalam rangka memperingati 35 tahun Teater Bumi (kelompok teater yang didirikan Wisran Hadi, dkk.) tanggal 12-16 November 2011. Orang-orang Bawah Tanah merupakan sebuah naskah yang menarik untuk diteliti, karena ceritanya mengambungkan muatan konteks sejarah dan kebudayaan. Misalnya pada ketujuh tokoh yang diceritakan melarikan diri dari kejaran polisi ketika terjadinya peristiwa revolusi sehingga dapat dikatakan bahwa naskah ini memiliki keterkaitan dengan Peristiwa PRRI tahun 1958-1961. Adapun dari konteks kebudayaan, naskah menjunjung spirit Mambangkik Batang Tarandam akibat peristiwa PRRI.
Naskah Orang-orang Bawah Tanah
“Orang-orang Bawah Tanah” menceritakan Malin, Ustad, Pakih, Gadih, Siti, Katik, dan Puti yang tinggal di Koto Tingga. Nagari Koto Tingga dikenal sebagai tempat yang masih mempertahankan budaya nenek moyang. Koto Tingga digambarkan sebagai nagari yang miskin namun kerap disinggahi pelancong dari berbagai kota dan negara lain karena masyarakatnya yang masih menjalankan tradisi adat serta sering mengadakan pertunjukan. Salah satunya adalah pertunjukan tari dalam sebuah upacara adat yang dilakukan ketujuh tokoh tadi. Malin sebagai pembuka acara sekaligus pengiring musik, serta tarian yang dibawakan oleh Pakih, Siti, Gadih, dan Puti.
Dalam iringan musik dan tari, Malin menjelaskan bahwa setiap gerakan tari memiliki nilai filosofis. Gerakan pertama ditarikan oleh Puti, Siti, Katik, dan Pakih. Empat penari melambangkan unsur alam kehidupan; air, api, udara, angin dan menjadi falsafah hidup masyarakat Koto Tingga yang telah diwariskan dari nenek moyang. Angka empat juga menjadi simbol arah mata angin yaitu Barat, Timur, Utara dan Selatan; serta menyimbolkan kato nan ampek, yaitu mandaki, mandata, manurun, dan malereng, yang mana angka empat itu bermuara pada struktur alam semesta. Setelah itu dilanjutkan dengan gerakan tari kedua dengan menampilkan Puti, Siti, dan Gadih yang berjumlah tiga orang. Tiga penari menjadi lambang keseimbangan unsur alam kehidupan dalam keyakinan beragama. Gabungan posisi empat dan tiga merupakan dasar adat dan kehidupan masyarakat Koto Tingga, adat bakaki ampek budaya bakaki tigo.
Selesai melaksanakan upacara adat, ketujuh tokoh mengumpulkan sumbangan dari para penunjung. Setelahnya mereka berkumpul di area dekat makam yang mereka sebut sebagai Di-Pertuan. Makam Yang Di-Pertuan menjadi objek wisata sekaligus simbol perekonomian di wilayah Koto Tingga. Mereka memperdebatkan siapakah ahli waris Yang Di-Pertuan sesungguhnya. Menurut tradisi, ahli waris berhak memimpin upacara. Selama ini Puti yang memimpin upacara, namun hal ini ditentang oleh Siti yang juga mengaku dirinyalah ahli waris yang sesungguhnya. Sementara itu Malin dan Ustad saling memperdebatkan tentang menjaga dan melestarikan kebudayaan, serta “menjual” kebudayaan agar tidak terus berada dalam kemiskinan.
Sesungguhnya, tidak ada yang disebut sebagai makam Yang Di-Pertuan karena hal itu adalah akal-akalan Malin saja. Pakih yang sudah curiga tentang makam tersebut meminta agar makam itu dibongkar. Tentu saja hal ini ditentang oleh Malin karena di dalam makam tersebut tersimpan berbagai dokumen terlarang. Terungkap bahwa ketujuh tokoh merupakan pelarian politik yang menghilang ketika terjadi pemberontakan. Ketujuh eks pelarian politik kemudian kabur ke Koto Tingga dan menyamar menjadi ahli budaya.
Orang-orang Bawah Tanah: Mengungkap Kebenaran Sejarah dan Melestarikan Budaya
Jika di lihat dari konteks sejarah, latar waktu menghilangnya Malin, dkk. ketika terjadi pemberontakan ini merujuk pada peristiwa peristiwa pemberontakan PRRI tahun 1958-1961. Mengutip Zed dalam Syafitra (2021), peristiwa PRRI tersebut memporak-porandakan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya daerah serta menimbulkan guncangan kultural dengan memupuk kebanggaan dan rasa percaya diri orang Minangkabau yang telah tumbuh subur. Kekalahan PRRI membuat masyarakat Minangkabau merasa malu, terhina, dan tertekan. Sebagaimana dikatakan Zed, dalam Syafitra (2021), banyak orang Minangkabau yang pergi merantau, bahkan menyembunyikan identitas mereka sebagai orang Minang.
Adapun pada masa pemerintahan Orde Baru, berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan harga diri dan kebanggaan masyarakat Minangkabau, baik itu dilakukan oleh masyarakat Minangkabau yang bermukim di kampung maupun di perantauan. Istilah inilah yang kemudian dikenal sebagai Mambangkik Batang Tarandam atau membangkit batang yang terendam. Istilah Mambangkik Batang Tarandam ini memiliki beberapa pengertian. Mambangkik Batang Tarandam bisa berarti membangkitkan kembali marwah atau kehormatan yang telah lama terpendam atau terabaikan karena suatu keadaan. Dalam Arifin (2021) Jika merujuk pada tradisi membangun rumah pada zaman dahulu, biasanya kayu atau bambu sebagai bangunan dibenamkan ke dalam rawa. Tujuannya adalah untuk mengawetkan kayu dan tersebut. Setelah sampai pada waktu yang telah dilakukan, kayu dan bambu itu akan dikeluarkan. Proses ini disebut Mambangkik Batang Tarandam.
Telah banyak dilakukan event-event di Sumatera Barat yang mengusung tema Mambangkik Batang Tarandam, terutama sebagai upaya dalam melestarikan dan mewariskan adat Minangkabau. Dalam Orang-orang Bawah Tanah, Mambangkik Batang Tarandam merujuk pada ketujuh tokoh yang menampilkan diri sebagai duta budaya Nagari Koto Tingga. Mereka semua mengenakan pakaian adat, menampilkan upacara serta tarian-tarian demi melestarikan kebudayaan dan memelihara tradisi nenek moyang. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan atas dasar kejujuran karena setiap tokoh yang ada pada drama ini memiliki tujuannya masing-masing.
Naskah “Orang-orang Bawah Tanah” berada di persimpangan antara mengungkap kebenaran sejarah dan melestarikan budaya. Tiap tokoh saling mengumbar aib satu sama lain namun pada akhirnya justru memperlihatkan kebobrokan jiwa dari setiap tokoh. Tradisi budaya Koto Tingga yang diperlihatkan kepada masyarakat lain dan pengunjung Nagari Koto Tingga dilahirkan dari sebuah kebohongan. Hal ini tentu menggeser esensi makna dari Mambangkik Batang Tarandam itu sendiri, yaitu untuk membangun kembali sebuah kehormatan yang telah lama terpendam.
Discussion about this post