Oleh: Ria Febrina
(Dosen Prodi Bahasa & Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Sebelum datang ke Yogyakarta, saya diberi tahu tempat wisata yang wajib dikunjungi adalah Malioboro, Keraton Yogyakarta, dan Alun-alun Selatan. Lokasi wisata yang paling sering dibahas teman-teman yang sudah berkunjung ke sini. Namun, setelah menetap selama dua tahun di Kota Berhati Nyaman ini dalam rangka menjalani studi, saya menemukan banyak tempat wisata yang berdekatan di Kota Yogyakarta. Satu hal yang menjadikan Yogyakarta spesial. Sekali jalan, dua tiga tempat bisa dikunjungi sekaligus.
Berjalan-jalan ke Yogyakarta amat menarik jika dimulai dari Tugu Yogyakarta, sebuah monumen yang menjadi “Sumbu Filosofi Kraton Ngayogyakarta”. Sultan Hamengku Buwono I menata Kota Yogyakarta membentang dari utara ke selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya. Sultan mendirikan Tugu Golong Gilig (kini Tugu Yogyakarta) di sisi utara keraton dan Panggung Krapyak di sisi selatan. Dari ketiga titik tersebut, apabila ditarik satu garis lurus, akan membentuk sumbu imajiner yang dikenal dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Dari Tugu Yogyakarta inilah, kita dapat melakukan perjalanan ke arah selatan dan menikmati sejumlah tempat wisata, seperti Stasiun Yogyakarta, Malioboro, Pasar Beringharjo, Museum Vredeburg, Museum Sonobudoyo, Alun-alun Utara, Keraton, Museum Kereta Api Keraton, Taman Sari, Alun-alun Selatan, dan Panggung Krapyak. Setiap tempat memiliki keunikan tersendiri. Tentu amat disayangkan jika tidak mengunjungi semua tempat dan mengetahui sejarah di baliknya.
Jika berkunjung ke semua spot tersebut, pengunjung pasti selalu ramai. Meskipun berada jauh dari ibu kota negara, Yogyakarta memang menjadi pusat destinasi bagi banyak orang dari berbagai kota di Indonesia. Banyak yang mengagendakan kunjungan kerja, seminar, dan studi wisata ke Yogyakarta. Bahkan, sekadar backpacker atau jalan-jalan bersama keluarga, semua mata tertuju ke Yogyakarta.
Yogyakarta bak kota yang memiliki magnet agar orang datang berkali-kali dan menikmati waktu berlama-lama. Saya selalu tersenyum sembari geleng-geleng kepala. Teman sekolah (SD hingga SMA), teman kuliah, tetangga dekat rumah, rekan kerja, hingga kerabat bertemu dengan mudahnya di Yogyakarta. Sementara kala di Padang, meskipun berada dalam satu kota, agak sulit bagi kami untuk mengagendakan waktu untuk bersua. Inilah keajaiban Yogyakarta. Membuat jarak menjadi tiada. Membangun kenangan saat bersua.
Di Kota Yogyakarta, saya meluangkan waktu untuk menikmati kunjungan kala pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari hanya untuk sekadar merasakan suasana yang ditawarkan. Datang ke tempat yang sama pada waktu yang berbeda ternyata memberikan suasana yang berbeda. Datang lagi dengan orang yang berbeda, tetap membuat betah.
Sebagai pembuka, amat menarik jika kita mulai jalan-jalan dari sebuah tempat yang menjadi garis imajiner Yogyakarta, yaitu Tugu Yogyakarta. Tugu Yogyakarta merupakan landmark Kota Yogyakarta yang berada di simpang empat antara Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A. M. Sangaji, dan Jalan Diponegoro.
Berada di Tugu Yogyakarta sebenarnya sama persis berada di banyak simpang di kota lain. Lokasi di sekitar ini merupakan jalan raya utama bagi warga Yogyakarta. Namun, yang membedakan jalan ini dengan jalan di kota lain adalah kesempatan yang diberikan oleh warga Yogyakarta kepada para pengunjung untuk berfoto di sekitar lokasi ini. Para pengendara Yogyakarta sangat ramah kepada para pengunjung. Mereka berkendara dengan tertib. Meskipun kadang terhambat oleh para pengunjung yang sedang berfoto, mereka tak mau menghidupkan klakson. Mereka memilih mengurangi laju kendaraan sehingga para pengunjung merasa dihargai dengan kesempatan tersebut.
Satu hal lainnya yang amat kentara dari jalan raya di sekitar Tugu Yogyakarta adalah kebersihan. Jalan-jalan di sekitar ini amat bersih. Tak ada satu sampah pun yang bisa kita temukan di lokasi ini. Pemerintah Kota Yogyakarta memang memiliki dinas kebersihan kota yang sangat garcep dan peduli dengan kebersihan kota. Namun, satu hal yang unik, para pengunjung juga tidak mau merusaknya dengan membuang sampah sembarangan. Padahal, di banyak lokasi wisata lainnya, sampah menjadi problematika yang tidak bisa dihindari dari para pengunjung yang datang.
Hal lain yang paling saya suka berada di Tugu Yogyakarta adalah langit di atasnya. Kala siang hari, langit di atas Tugu Yogyakarta sangat biru. Begitu bersih. Kala langit begitu cerah, berfotolah dari berbagai sisi Tugu Yogyakarta. Hasilnya sangat bagus. Begitu juga kala malam hari. Tugu Yogyakarta seakan-akan berada di bawah atap yang besar. Atap berupa langit malam yang indah. Ditambah hiasan lampu-lampu di berbagai sudut di dekat Tugu Yogyakarta, membuat kita bisa mendapatkan hasil foto yang cantik.
Padahal, jika teman-teman sedang berada di Tugu Yogyakarta, tak satu menit pun mobil-mobil berhenti berseliweran. Bahkan, pada jam kerja, jumlah mobil dan motor yang lewat sangat ramai. Begitu juga di akhir pekan, bus-bus besar lewat dalam jumlah yang banyak. Namun, berada di Tugu Yogyakarta tetap mempesona. Sebuah magnet yang kadang tidak bisa dilogikakan saat berkunjung ke sini. Hanya sekadar monumen, tapi bisa ramai dan seindah ini.
Sebenarnya, di balik suasana yang unik di Tugu Yogyakarta ini, ada nilai filosofis dan magis yang patut diketahui. Tugu Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755 di garis imajiner Yogyakarta yang menghubungkan Pantai Parangtritis dan Panggung Krapyak di Kabupaten Bantul, Keraton Yogyakarta di Kota Yogyakarta, dan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman. Pada awalnya tugu ini disebut dengan Tugu Golong-Gilig karena puncaknya berbentuk bulat (golong) dan tiangnya berbentuk silindris (gilig). Tingginya sekitar 25 meter. Tugu ini didirikan untuk menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti atau semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan.
Malang tak dapat diraih, mujur tak dapat ditolak. Pada 10 Juni 1867, monumen ini runtuh karena gempa bumi besar terjadi di Yogyakarta. Dikutip dari laman Jogjacagar, dijelaskan bahwa gempa tersebut menyebabkan Tugu Golong Gilig patah menjadi tiga bagian. Atas desakan dari rakyat, tugu tersebut pun direnovasi. Renovasi dilakukan oleh Pemerintah Belanda yang dipimpin oleh J.W.S. Van Brussels yang pada saat itu menjabat sebagai Opzichten Van Waterstaat (sebutan Kepala Dinas Pekerjaan Umum pada masa itu) dengan pihak Kraton Yogyakarta sebagai pengawas yang diwakilkan oleh Patih Danureja V.
Konon katanya renovasi yang dilakukan mengubah nilai filosofis bangunan. Pemerintah Belanda merenovasi tugu menjadi berbeda. Monumen yang awalnya silinder diubah menjadi segi empat yang meruncing ke atas. Monumen pun dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bawah, tengah, dan atas. Bagian bawah merupakan udakan atau tangga yang berjumlah empat. Undakan tersebut menjadi fondasi tugu agar menjadi kokoh. Bagian tengah berbentuk segi empat dengan keempat sisinya terdapat inskripsi yang menunjukkan siapa yang terlibat dalam renovasi. Bagian atas berbentuk seperti mahkota yang terdapat uliran yang meruncing ke atas. Ketinggian monumen yang awalnya 25 meter berkurang menjadi 15 meter. Monumen diberi warna putih dan dinamakan dengan De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Meskipun monumen sudah direnovasi, perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta tidak pernah berubah. Peristiwa sesudahnya justru menunjukkan semangat yang terus membara dari rakyat Yogyakarta. Bahkan, untuk mengenang monumen awal yang pernah dibangun, Pemerintah Kota Yogyakarta membangun Diorama Tugu Golong Giling di sebelah tenggara Tugu Yogyakarta. Diorama ini merupakan hadiah ulang tahun Kota Jogja ke-259 yang jatuh pada 7 Oktober 2015 lalu. Melalui diorama ini, masyarakat dapat mengetahui sejarah Tugu Yogyakarta.
Diorama Tugu Golong Giling mengisahkan pembangunan kembali tugu atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Ada tiga panil yang menceritakan awal pembangunan Tugu Golong Giling. Panil pertama mendeskripsikan suanana lingkungan sekitar Tugu Golog Gilig, panil kedua mendeskripsikan runtuhnya Tugu Golong Gilig akibat gempa, dan panil ketiga menjelaskan pembangunan Tugu Pal Putih.
Jika dulu garis imajiner Kota Yogyakarta intagible atau tidak berwujud, kini keberadaan poros imajiner sudah berwujud. Kita bisa melihat replikanya di Taman Diorama Golong Gilig. Ada Gunung Merapi, Tugu Yogyakarta, Keraton Ngayogyakarta, Panggung Krapyak, dan Laut Selatan. Itulah sebabnya keberadaan Diorama Tugu Golong Giling mampu memberi kesan heritage, terutama sejak Tugu Yogyakarta ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Nah, kalau teman-teman berjalan-jalan ke Tugu Yogyakarta, jangan lupa menikmati sejarahnya di Taman Diorama Tugu Golong Gilig. Banyak juga pengunjung yang mengambil foto Tugu Yogyakarta dari taman ini.
Discussion about this post