Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Ketika mendapat kabar gelaran piala dunia U-20 batal dilaksanakan di Indonesia, kami kecewa berat. Jauh sebelum gelaran tersebut dibatalkan FIFA, kami sudah mengambil ancang-ancang untuk menyaksikan secara langsung tim-tim kelas dunia berlaga di Stadion Manahan Solo. Penjajakan stadion sudah kami lakukan. Dari Jogja kami datang ke Manahan dengan mobil berplat BA, milik Uni Elly yang sedang studi doktor di UGM sama seperti saya. Sopir kami Jendri, mantan mahasiswa saya di Universitas Andalas yang juga sedang studi doktor di UNY. Kami ke Manahan ketika renovasi stadion belum rampung benar. Walaupun begitu, stadion sudah terlihat sangat megah. Kami tidak bisa masuk untuk sekedar merasakan rumput lapangan karena pintunya digembok. Kami hanya menikmati suasana di luar stadion. Sekali lagi, megah dan membanggakan.
Hari itu, Minggu 27 November 2022, saya, Jendri, Uni Elly, dan Rudi suaminya, jalan-jalan menghabiskan akhir pekan menghilangkan beban pikiran yang berat dengan disertasi. Mula-mula kami ke Klaten, mengunjungi Pak Danang. Dulu dosen kami, kini sejawat senior. Dulu Pak Danang bertugas di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas. Kini, menjelang masa pensiunnya, Beliau pindah tugas ke kampung halamannya di Klaten.
Dari Jogja kami berangkat pukul sembilan pagi. Kami menyusuri Ring Road Utara, Bandara Adi Sucipto, kawasan Candi Prambanan, dan Klaten. Jalannya lurus saja. Mulus. Tidak sampai sejam perjalanan, kami sampai di pusat Kota Klaten. Mutar-mutar mencari rumah Pak Danang, habis kira-kira 15 menit. Pak Danang tidak memberi kami google map karena menurutnya justru bisa membuat kami tersesat. Rumahnya di wilayah yang banyak gang. Pertolongan Tuhan, hanya sekali bertanya, kami menemukan rumah Pak Danang. Subhanallah, penampilannya masih seperti beberapa tahun yang lalu. Tidak berubah sama sekali walaupun usianya semakin bertambah.
Bertemu Pak Danang bagi kami seperti bertemu orang tua. Beliau teladan kami dalam urusan perkuliahan maupun dalam urusan di luarnya. Ternyata, di kampungnya, Pak Danang juga seorang yang dituakan. Hampir semua warga mengenalnya. “Oo, Pak Danang yang pernah di Padang itu, ya!” kata warga tempat kami bertanya.
Panjang cerita kami di rumah Pak Danang. Tak terasa waktu berlalu. Pak Danang bersemangat sekali bercerita tentang kehidupannya setelah kembali ke Klaten. Pak Danang bercerita tentang kampus barunya. Juga tentang orang-orang Minang yang berada di Klaten. Tidak ketinggalan pula tentang rumah makan Padang di Klaten yang citarasa makanannya tidak (lagi) otentik. Dari puluhan rumah makan Padang yang tersebar di Kota Klaten, hanya beberapa saja yang memang dimiliki orang Padang (Minang). Selebihnya milik orang yang bukan Minang. Pak Danang yang lidahnya sudah seperti orang Padang, tahu betul mana rumah makan Padang asli dan mana yang Padang jadi-jadian. Tapi begitulah, orang-orang yang pernah bersentuhan dengan rumah makan Padang pada akhirnya banyak yang membuka usaha sendiri dengan tetap memakai label masakan Padang. Pak Danang mengatakan, jika ingin menguji rumah makan Padang itu asli atau kw, mudah saja. Mintalah kepada pegawainya minuman teh talua, jika rasanya otentik maka itu pasti hasil olah tangan orang Padang, tetapi jika tidak enak itu pekerjaan si Padang palsu.
Setelah satu setengah jam di rumah Pak Danang, kami pamit melanjutkan perjalanan. Dari rumah Pak Danang, kami ke Masjid Agung Al Aqsha Klaten untuk salat Zuhur dan menjamak Asyar di sana. Masjid Agung Al Aqsha besar dan megah. Lapangan parkirnya luas. Area relaksasi juga luas. Di sekitaran masjid ini terlihat banyak jemaah sedang istirahat siang selepas mengerjakan salat. Ada jemaah yang tidur-tiduran dan ada yang berfoto-foto. Ada pula yang selfi-selfi. Anak-anak gadis berhijab berfoto dengan melintangkan dua jari di depan dada sambil senyum-senyum. Di luar masjid, pedagang asongan dan pedagang kaki lima berebut rezeki dari jemaah yang kehausan dan kelaparan.
Selesai salat dan istirahat sejenak, kami meneruskan perjalanan. Tujuan selanjutnya Kota Solo. Sebenarnya kami ingin makan siang dulu di sekitaran masjid agung itu, tetapi tidak menemukan rumah makan yang cocok. Kami terngiang-ngiang kata-kata Pak Dadang. Banyak rumah makan Padang kw di Klaten. Mobil terus melaju. Jalan raya Klaten-Solo ramai lancar. Makin lama makin dekat kami ke Solo. Sama persis seperti perut kami yang juga semakin dekat ke punggung. Sudah lapar sangat. Akhirnya kami berhenti di sebuah rumah makan yang pada billboardnya tertulis soto istimewa.
Setelah masuk ke rumah makan itu, ternyata tidak hanya soto yang dijual di sana. Macam-macam menu yang tersedia. Kami memesan sesuai selera masing-masing. Selesai memesan, kami harus menunggu cukup lama karena menu yang dipesan dimasak dulu oleh pegawai rumah makan. Perut kami makin keroncongan. Kerupuk yang ada di meja, kami lahap untuk mengganjal perut. Setelah semua pesanan dihidangkan di meja, kami makan. Tidak lahap. Di antara kami, hanya menu Jendri yang habis. Dia memesan menu yang sudah biasa, pecal ayam. Adapun saya, Uni Elly, dan suaminya memesan menu yang tidak biasa. Nama menunya sudah tidak kami ingat lagi. Setelah disantap dua suap tiga suap, perut kami langsung menolaknya. Uni Elly coba makan telur yang ada dalam piringnya, katanya seperti menyantap butiran garam. Benar-benar asin. Begitulah makan siang kami siang itu. Di luar rumah makan, kami menyebut bahwa makan siang kami itu sebagai makan siang kerupuk dan mendoan karena hanya menu itu yang berhasil kami habiskan. Kami teringat kenangan ketika menjadi mahasiswa S1 di Universitas Andalas yang hanya makan siang dengan kerupuk sate dan bakwan di pelataran Masjid Nurul Ilmi kampus tersebut.
Kami melanjutkan perjalanan. Syukur Jendri bisa menghabiskan menunya. Kalau tidak, bercabang pula pikirannya mengemudikan mobil seperti bercabangnya pikiran kami. Selepas meninggalkan rumah makan itu, lama kami mempergunjingkan menunya. Kami ingin balas dendam. Nanti di Solo, kami ingin makan sepuas-puasnya di rumah makan Padang. Suami Uni Elly bela-belain meminta rekomendasi kepada temannya yang sedang menetap di Solo untuk mencarikan rumah makan Padang yang recommended untuk kami di sekitaran Solo. Ujung rekomendasi temannya itu, Rumah Makan Sederhana Solo. Siap, kami ingin makan sepuasnya di Sederhana Solo.
Sampai di Solo waktu sudah pukul 15 lewat. Dendam kami tidak langsung terbalaskan. Urung jadinya kami makan lagi melanjutkan makan siang tadi yang buruk. Perut kami telah kenyang dengan beberapa cemilan yang tersedia di mobil. Ketika mobil kami mamasuki gerbang Kota Solo, kami lupa pada perut karena mata kami bekerja ekstra memperhatikan setiap jengkal wilayah kota yang dikomandoi oleh putra Presiden Jokowi tersebut. Kami ke Manahan Solo terlebih dahulu. Mudah kami menemukan lokasinya. Itu berkat petunjuk rambu-rambu yang terpasang di sepanjang jalan kota tersebut. Tak ada kami bertanya. Tahu-tahu sudah terperogok saja kami di depan stadion kelas dunia itu. Takjub kami menyaksikannya.
Tidak ramai orang waktu itu. Hanya beberapa orang saja yang sedang berolahraga. Mobil kami menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung. Petugas parkir mengucek-ngucek matanya. Entah kemasukan debu atau pangling melihat plat AB yang terbalik menjadi BA. Entahlah. Hanya dia yang tahu. Di depan patung Manahan di depan pintu VIP kami berfoto-foto. Banyak fotonya. Berbagai gaya. Selesai berfoto-foto, samar-samar saya teringat kata-kata ayah saya almarhum beberapa puluh tahun yang lalu. Waktu itu, beliau mengatakan, jika suatu saat nanti saya ke Solo, jangan lupa ke Manahan. Di situ dulu Beliau sering bermain-main.
Lama juga kami di Manahan. Setelah keluar dari area parkir kami berputar mengelilingi stadion itu. Tujuan kami selanjutnya Masjid Syeikh Zayaed Solo yang sedang viral di medsos. Kami sampai di sana. Lautan manusia memenuhi pelataran masjid itu. Kami urung turun. Hanya mengambil foto dari atas mobil saja sambil berputar-putar. Tidak ada tempat parkir tersedia. Kami berdiskusi untuk tujuan selanjutnya. Solo sudah diambang Magrib. Kami putuskan untuk mencari tempat makan dulu. Sejak dari Manahan hingga ke Masjid Syeikh Zayed telah banyak waktu terpakai hingga perut kami kembali minta diisi. Ini saatnya balas dendam pada makan siang tadi yang buruk.
Kami ke Sederhana Solo. Minta semua menu yang ada dihidangkan. Makan di Sederhana Solo juga kurang maknyus. Menu Padangnya telah disesuaikan dengan lidah Solo. Ada manis-manisnya. Tetapi, walaupun begitu masih bisa kami santap. Sesudah makan, kami semua setuju membenarkan kata-kata Pak Danang. Banyak rumah makan Padang di Solo, Klaten, dan Jogja tidak lagi otentik. Racikannya sudah disesuaikan dengan lidah setempat. Pengelolanya juga bukan semuanya orang Padang. Susah mencari rumah makan Padang otentik di Solo, Klaten, dan Jogja. Kalau pun ada, hanya satu dua. Itu pun kadang-kadang posisinya tersuruk.
Begitulah tulisan ini saya tulis, sebuah catatan yang dipungut dari perjalanan Jogja, Klaten, Solo. Intinya, kemana pun orang Minang alias Si Padang pergi merantau (atau hanya untuk sekedar jalan-jalan) yang dikejar dan dicari tetap jugalah selera Padang, selera kampung halamannya. Bertabur jumlah rumah makan di Jogja, Klaten, dan Solo dengan berbagai menu masakan, tetap juga orang Padang mencari nasi Padang. Luar biasa. Sebenarnya, tidak hanya orang Padang yang begitu, orang Klaten seperti Pak Danang yang sudah berlidah Padang, tetap memburu lontong gulai paku dan teh talua yang dijual orang Padang di beberapa warung rumahan di Kota Klaten. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post