Cerpen: Ibnu Naufal
Aku tak mengerti terkadang dengan diriku sendiri.
Diri yang begitu unik dan istimewa, menuntut untuk diperlakukan istimewa oleh diriku sendiri. Terkadang, dia menjadi pembantuku dalam menyelasaikan hal-hal yang ingin dicapai, tapi terkadang malah menjadi penghalang utama dalam meraih sesuatu yang berada di puncak awang-awang pikiran. Diri, apakah kau bagian dari diriku, atau kau merupakan bagian tersendiri tempat aku meminjam kekuatan untuk hidup?
Hal yang kutahu pasti, sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 11.57 malam. Aku memaksa diri untuk menyelesaikan draf cerita yang sudah ditugaskan. Besok pagi jam 07.15 perkuliahan dimulai. “Kalau tidak suka dengan kelas ini,” ucap dosen itu minggu lalu, “Silakan ganti perkuliahan saja. Mata kuliah ini juga bukan pembelajaran wajib kalian toh?” tuturnya waktu itu.
Memang benar apa yang disampaikan dosen itu. Terlebih tugas ini juga sudah dibebankan minggu lalu di pundakku. Tak ada salah sebenarnya barang setitik pun. Begitu banyak waktu yang terhabiskan dengan hal remeh-temeh yang tidak perlu diprioritaskan. Menonton film-film tanpa henti, menikmati makanan yang lezat-lezat, merebahkan diri sampai sore lalu menikmati semalaman suntuk tanpa mengantuk dengan tak tahu tujuan sebenarnya dari hidup yang sementara ini. Bermenung-bermenung akan kenikmatan yang tak kunjung datang. Hanya ingin menanggalkan beban sebagai manusia dan berleha-leha menghabiskan waktu kosong tanpa guna sedikitpun. Mencukupkan kebutuhan nafsu dengan sepenuh-penuhnya tanpa tahu usia dan kesempatan memiliki batasan yang nyata.
“Tak tahulah aku akan jadi apa besok.” Suara kecil entah dari mana datangnya. Ah, aku tak mengerti kenapa aku bisa seperti ini. Padahal, dulu sewaktu masih berseragam sekolah, aku bersemangat menggapai mimpi dan menjadi santri yang berprestasi di kelas. Ya, itu dulu. Sewaktu Mama dan Ayah masih ada dan menjadi teladan kami semua. Sekarang, ya beginilah hidup. Tak menyangka akan duduk di depan pemakaman kedua orang tua kami di waktu yang begitu muda. Meratapi kepergiannya yang sekonyong-konyong telah tiada. Itu membuat jiwa hampa seketika.
Bagai mimpi di siang bolong. Kemarin, mereka masih bercanda ria bersama kami. Sekarang, tiba-tiba pergi ke tempat yang tidak diketahui. Mendahului anak-anaknya yang masih muda dan memaksa untuk mengkarbit jiwa dewasa kami dengan siksaan kesedihan. Di saat pemakaman, walaupun tinggal sepenggal-sepenggal ingatan atas peristiwa itu, ada satu cerita perpisahan yang diutarakan oleh teman Mamaku. Aku pun juga baru tahu bahwa di tahun 2035 sungguhlah sangat berbeda dengan tahun-tahun Mamaku muda dulu. Seingatku ia bercerita seperti ini:
Dulu, di masa saat lagu-lagu ciptaan negeri sendiri mendominasi telinga kiri dan kanan penumpangnya bak semut yang menggelitik gendang telinga dengan perih kenikmatannya. Lagu-lagu hits masa itu secara serentak menjadi syair-syair suci yang diucapkan setiap hari. Entah sambil bermenung memikirkan si dia yang sedang apa, atau bersabar dengan si teman yang menghilang ketika mau menagih hutang, lagu-lagu tersbut tetap menjadi penyejuk akan jiwa yang nestapa ini. Angkot dan keretalah yang menjadi pelipur lara akan kesengsaraan hidup yang penuh dengan kegembiraan fatamorgana.
Apalagi bisa menaiki KRL yang selalu bau kabel hangus di atas atap tanpa perlu membeli karcis yang 3.500-an itu menjadi kebanggaan tersendiri. Kereta yang masih membolehkan masyarakat mengkreativitaskan ide mereka ke dalam perusahaan negara secara langsung, yang membuat satu dengan yang lain semakin dekat dan bersahabat. Nyanyian-nyanyian orisinil di dalam kereta yang tahu-tahu dompet pun bisa terbang ke lain orang, BlackBerry pun dipetik oleh si panjang tangan, dan penumpang pun menjadi menggerutu akan seenaknya penguasa terhadap dirinya yang sudah sengsara jua. Ah dunia yang penuh drama, begitu pedihnya keindahan akan kreativitas zamannya masing-masing. Dan kini, engkau telah tiada, meninggalkan kami dan menjadi kenangan yang membuat kami tambah ingin mencicipi masa dahulu.
Akan tetapi sekarang, entah dari mana munculnya ide untuk ikut-ikutan menjadi negara yang super power, hingga orang-orang yang dikatakan intelek membuat gebrakan yang sangat mengejutkan.
“Untuk membuat negara kita menjadi super power agar di satu abad negeri kita ada yang kita banggakan,” Katanya waktu itu di acara press release peluncuran program itu.
“Kita mesti menempatkan air ke dalam gelas yang tepat agar pertumbuhan negara kita bisa meroket dan menjadi pemain utama dunia. Untuk itu, demi kemeroketan negara kita, saya minta masyarakat sekalian tetap mematuhi hal-hal yang sudah kita sepakati agar kita sama-sama selamat,” katanya waktu itu.
Program ini, merupakan hal yang menakutkan sebenarnya untuk kita semua. Sangat disayangkan teman kita, keluarga kita, menjadi salah satu korban dari kegagalan pertama program tersebut. Semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di……
“Bud, Budi! Itu adikmu Pekerti menangis dan tak kau peluk? Cuma kamu yang dia miliki sekarang, Bud! Jaga dia!” Kata suara yang tak tahu entah berasal dari mana di pemakaman itu. Suaranya begitu lembut, tetapi tegas. Mirip dengan suara Mamaku. “Atau jangan-jangan dia Mamaku?” Kataku. Setelah memeluk adikku, aku dan mencoba memikirkan suara itu dan aku tiba-tiba menjadi tidak sadarkan diri.
***
“Abang bangun! Sudah jam berapa ini?!” teriak adikku di depan kuping yang membuat aku terperanjat dan terjatuh dari tempat tidur. Suaranya memang seperti orang lagi bertengkar memang. Untung tetangga sudah maklum dengan kebiasaan adikku ini. Pernah dulu, tetangga se-RT datang untuk memastikan kami baik-baik saja. Ya, dia pernah berteriak sangat kencang seperti orang lagi disiksa. Ternyata adikku melihat tikus yang sedang bersiap pergi bekerja sambil makan pagi dengan anak istrinya di dapur. Itu membuat dia kaget sekaget-kagetnya.
“Aih apalah ini si adek,” protesku.
“Hihihi siapa suruh pintu tak dikunci. Itu lagi, kenapa banyak tisu di sana bertebaran?”
“Yang sabarlah, Bang. Palingan cuma satu sampai tiga tahun lagi kok ah,” kata adikku yang membuat aku marah dan juga memikirkan apa yang sudah aku lakukan tadi malam.
“Aku nggak mau ya Abang aku ternyata bukan Abang aku lagi. Cukup Ayah dan Mama saja yang pergi meninggalkan kita,” tambahnya sayup-sayup terdengar ketika aku menuju kamar mandi dengan buru-buru untuk masuk kelas pagi bersama dosen itu.
Sudah jam 6.59. Kelas itu mulai jam 7.15 tepat. Belum lagi menuju ke sana memakan waktu hingga 20 menit. Dengan buru-buru, dibantu dengan manjanya adikku yang meminta tolong ambilkan ini itu untuk persiapannya ke kampus. Akhirnya, jam 7.14 dapatlah aku ojek yang dikendarai ibu-ibu untuk mengantarkan ke kampus.
“Yang cepat ya, Bu. Saya sudah telat,” kataku kepada ibu ojek.
“Oke, Mas,” jawabnya.
Di perjalanan, aku pun kembali termenung memikirkan diriku yang kenapa malah menjadi seperti ini dan aku malah tertidur. Aku terbangun ketika ada suara klakson yang kencang.
“Nging nging,” suara klakson motor sebelah yang protes kepada angkot yang seperti terbang seenaknya dan tiba-tiba menurunkan orang tanpa lampu sein.
“Sudah hilang menungannya yang lelap itu, Mas! Mas mau lewat Selokan atau Mirota?!” Ujar ibu ojek dengan rada emosi karena penumpangnya seenaknya termenung dan tertidur. Ditambah juga dengan angkot terbang itu yang membuat ulah. Mungkin juga karena sedang ada bulan yang bertamu. Abis galak bener sih.
“Lewat mana yang cepat aja, Bu,” ucapku dengan gelagapan yang untungnya masih dipahami oleh ibu pengendara ojek.
“Udah di-inject kok masih bermenung. Nanti kalau ditandain tahu rasa lo,” balasnya.
“Hehe iya, Bu. Masih belum terbiasa ngatur diri kayak yang diperintah itu,” sambungku.
“Pokoknya Mas hati-hati saja. Ini sudah satu tahun loh diterapkan. Kalau Mas masih sering kayak tadi ihhh nggak kebayang lah,” lanjutnya.
“Iya, Bu. Saya juga pernah melihat langsung kok bagaimana prosesnya itu. Sangat menyedihkan untuk dilihat. Sayangnya waktu itu program yang sudah di-inject ada bug-nya sehingga mereka malah meninggal dunia,” responku secara spontan karena teringat almarhum Mama dan Ayah yang merupakan pemikir tersohor negeri menjadi target utama karena kemampuan berpikirnya yang luar biasa.
“Saya kira cuma kami-kami orang bawah aja toh Mas yang diperlakukan seperti itu. Suami saya juga kena. Hanya berpikir tujuan hidup dia dan keluarganya saja untuk apa di dunia ini. Eh besoknya malah kejang-kejang dan tak tahu lagi suami saya di mana. Itu yang fisiknya masih di kamar sama saya malah menyelonong saja pergi dari rumah kayak orang asing yang bukan suami saya. Tak berbicara apa pun dan malah menutup keningnya yang di aturan kalau sudah bertukar pasti namanya ganti. Kayak dia tak mau aja tahu dia siapa. Ihhh ngeri deh, Mas,” balasnya dengan penuh penyesalan dan air mata.
“Iya, Bu. Semoga kita sama-sama kuat untuk menjalani kehidupan saat ini. Jadi rindu dengan dunia waktu Mama saya remaja dulu sebenarnya, tapi nggak apa. Pasti semua ada hikmahnya. Oh ya, ini sudah sampai. Saya bayarnya pakai Gopay ya, Bu. Jari saya udah saya pencet juga tadi.” Aku meneruskan untuk menghindari telat yang semakin menjadi.
“Baik, Mas. Hati-hati pokoknya. Masa depan tubuh jenengan masih panjang. Banyak yang suka kalo modelan begini,” lanjutnya.
“Iya, Bu. Semoga kita selalu dikuatkan oleh yang di atas,” sambungku.
Setelah aku turun dan menyerahkan helm ke Ibu tersebut, aku segera memasuki gedung 7 lantai di depanku dengan perasaan was-was, tetapi tetap memaksakan diri untuk masuk. Satpam yang necis dengan pluit kuning, berseragam biru tua, bercelana hitam dengan sepatu pantofel hitam mengkilap, menatap aku dengan perasaan heran tak terlukiskan.
“Bagaimana bisa ia telat. Semua kan sudah diatur,” mungkin itu yang ada di benaknya. Eh, tapi bapak satpam juga menatap kening aku ya.
“Alamak lupa,” gumamku. Aku segera menyalakan id pengenal di kening untuk memudahkan teman-teman, dosen, dan semua orang yang aku kenal agar tetap mengenali aku.
Dengan perasaan tak karuan, aku berlari memencet tombol lift agar segera berbunyi, tetapi tidak kunjung ternganga. Semakin kupencet malah lari ke lantai atas. Kuputuskan untuk menaiki tangga saja. Sudah telat 30 menit tolong. Ini lagi kenapa aku menjadi termenung dan tertidur memikirkan masa lalu pas di jalan dan curhat dengan ibu ojek, pikirku sambil berlarian menginjaki anak tangga demi anak tangga tanpa memedulikan tangga-tangga berumput dan berakar yang kuinjak.
Aku hanya memikirkan bagaimana caranya agar bisa menuju ruangan 307 dengan perasaan tak peduli terhadap dosen yang sudah masuk dan memulai perkuliahan. “Yang penting masuk dan mendengarkan ilmu dari dosen tersebut,” ucapku meyakinkan diri membuka pintu putih itu untuk menyelonong ke dalam kelas dan duduk di kursi komedi tepat di depan dosen yang sedang duduk tersebut.
“Alamak mampus ini,” ucapku. Bagaimana tidak. Hanya itu kursi yang kosong sewaktu aku sampai. Apesnya sewaktu tadi malam di rumah, aku sempat baca berita rahasia khusus yang aku retas sebelumnya dari pemerintah kalau dosen tersebut seolah-olah sudah dilantik menjadi ketua Komisi Perpindahan Arwah karena ketegasannya. Aku lupa sewaktu buru-buru memaksakan diri berangkat.
“Harusnya aku tadi tidak masuk ke dalam kelas. Bilang sakit saja tadi semestinya. Semoga jangan, semoga jangan, semoga jangan! Cukup Mama dan Ayah saja, Pak! Saya masih ada adik yang perlu dijaga!” kataku dalam hati dengan perasaan was-was yang berlebihan menghadapi dosen yang terkenal lembut di luar, tetapi sebenarnya tegas dan keras dengan kekurangan apa pun, termasuk pada keterlambatan yang merupakan top-ranked yang mesti diberantas di negeri ini!
Biodata Penulis:
Ibnu Naufal adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas dan Mahasiswa Program MBKM di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Discussion about this post