Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Tulisan ini tentang Eyang, seorang perempuan tua yang perkasa di tengah hiruk pikuk Kota Yogyakarta. Setting kisah ini dua belas setengah tahun yang lalu. Saya tulis saat ini untuk perintang-rintang hati, mengenang perjalanan penuh hikmah selama di Yogyakarta. Saya masih ingat dengan jelas sosok Eyang. Sayang, saya tidak menyimpan selembar pun foto Eyang. Waktu itu, Eyang emoh untuk saya foto. Jadilah kenangan saya bersama keluarga dengan Si Eyang hanya melekat di kepala saya saja, tanpa foto kenangan.
Saya, istri saya, dan anak-anak saya tidak mengetahui nama asli perempuan tiga zaman itu. Dia hanya meminta kami memanggilnya dengan sebutan Eyang. Jadilah kemudian kami memanggilnya sebagai Eyang. Usia Eyang sudah sepuh. Sudah lebih 80 tahun dunia ini dirantauinya. Dia tidak memberitahu kami kapan dia lahir. Informasi yang kami dapat dari adik perempuannya yang juga sudah mendekati sepuh menyatakan bahwa Eyang lebih tua 8 tahun dari dirinya. Adik Eyang itu mengatakan kepada kami bahwa dirinya lahir pada pertengahan tahun 1934. Bila dihitung-hitung ke belakang, Eyang diperkirakan lahir sekitar tahun 1926. Menurut cerita Eyang, ketika tentara Jepang memasuki Kota Yogyakarta tahun 1942, umurnya sudah mendekati 17 tahun, sedang cantik-cantiknya.
Menurut cerita Eyang pada saya, sepanjang tahun 1942 hingga 1945, banyak pengalaman perih yang menyesakkan dada dialami Eyang ketika berhadapan dengan tentara Jepang. Saya tidak kuasa menuliskan cerita itu di sini. Biarlah cerita itu abadi bersama Eyang.
Di usianya yang sudah kepala delapan lebih, fisik Eyang masih kuat. Ia terlihat lebih segar dibandingkan adiknya yang lebih muda 8 tahun darinya. Semula saya mengira adiknya itu sebagai kakak, tapi ternyata justru sebagai adik yang rentang lahirnya cukup lama. Di usia senjanya, Eyang masih aktif bergerak. Ada pun adiknya lebih banyak duduk menunggui warung milik menantunya. Pagi-pagi sehabis subuh, Eyang sudah berpakaian olahraga. Ia rajin berjalan kaki walaupun tidak jauh-jauh dari rumahnya. Selesai berjalan kaki, pulang-pulang ia menjinjing sekantong sarapan. Setiap sekali seminggu, Eyang tidak pernah absen mengikuti senam lansia di perdukuhan kami. Mata Eyang masih bisa membaca tulisan koran tanpa kaca mata. Luar biasa. Hanya pendengarannya yang sedikit berkurang.
Eyang tinggal sendirian di rumahnya di penurunan menuju masjid As Salam di Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan, Yogyakarta. Dua rumah ke arah barat dari kontrakan kami. Rumah Eyang bersebelahan dengan rumah adiknya di kiri dan rumah kontrakan dua lantai di kanannya. Rumah adiknya ramai, dua kepala keluarga di sana. Adik Eyang serumah dengan anak perempuannya, menantunya, serta 2 cucunya yang sudah gadis remaja. Rumah Eyang berada di gang yang berbatasan dengan pagar dinding perumahan elite. Di depan rumahnya, di gang yang dapat dikatakan sempit itu, Eyang menanam banyak bunga. Bunga-bunga yang ditanam Eyang di sepanjang gang di depan rumahnya itu mempersempit jalan di gang itu meskipun saat berbunga, bunga-bunga itu terlihat cantik dan menyejukkan mata. Setiap pagi sebelum matahari tinggi atau setiap sore menjelang matahari terbenam, Eyang tidak melewatkan waktu untuk merawat bunga-bunganya. Eyang menyiram jika bunganya kering dan mencabut gulma yang tumbuh di sela-sela bunganya.
Gang di sepanjang rumah Eyang adalah perlintasan yang ramai. Orang-orang yang hendak ke atau dari masjid As Salam atau ke dan dari pemukiman di sekitar masjid tersebut mesti melewati gang itu. Kami setiap hari melewati gang rumah Eyang untuk beraktivitas di luar rumah. Anak-anak di sekitaran kontrakan kami memanfaatkan gang di depan rumah Eyang yang menurun itu untuk balapan sepeda atau kereta mainan. Kadang-kadang, ada di antara mereka yang jatuh dan cedera, lalu menangis, dan Eyang akan turun tangan mengurut serta mengolesi obat.
Selain bunga-bunga, ada hal menarik lainnya pada sosok Eyang. Di rumahnya terdapat banyak kucing. Cantik-cantik kucingnya. Kucing kampung, bukan Anggora. Seekor kucing jantan yang bersih bulu menjadi teman setia Eyang. Di mana ada Eyang, di situ ada kucing itu. Kucing-kucing liar pada berdatangan ke rumah Eyang karena sering diberi makan. Kucing-kucing itu juga mengajak teman-temannya. Ramai mereka datang. Eyang merawat kucing-kucing itu semampunya. Kucing yang kotor dibersihkan. Kucing yang lapar diberi makan. Makanannya sederhana saja dengan nasi dan kepala ikan kering yang digoreng, tidak ada pelet pet shop seperti yang sekarang banyak dijual. Walaupun begitu, kucing-kucing itu terlihat senang karena menemukan rumah dan tuan yang menyayangi mereka.
Di dalam rumah Eyang yang tidak lebar itu ada beberapa tempat berak kucing yang diisi pasir dari Kali Code. Nah, pasir-pasir inilah yang menjadi sumber masalah bagi orang-orang yang melewati gang depan rumah Eyang. Pasir-pasir bekas tempat berak kucing-kucing itu dijemur Eyang di depan rumahnya. Bekas bau berak kucing yang masih tertinggal di pasir-pasir itu mengganggu hidung orang yang lewat. Eyang tidak hanya menjemur satu atau dua onggokan pasir, tapi beberapa. Eyang tidak menjemur pasir itu di belakang rumahnya karena memang tidak ada tempat di sana.
Pada pasir-pasir yang dijemur Eyang di depan rumahnya itu, saya melihat sesuatu yang dikotomis. Di satu sisi, Eyang menjadi sosok yang sukarela menyelamatkan kucing-kucing liar yang kelaparan dan tak terawat, sedangkan di sisi yang lain, bau bekas pasir tempat berak kucing tersebut mengganggu hidung orang yang lewat di gang depan rumahnya. Begitulah yang terjadi. Eyang tetap dengan kucing-kucingnya. Orang-orang lewat dengan menahan napas atau menutup hidung.
Gang sempit di depan rumah Eyang sesungguhnya kontradiktif sekaligus menginspirasi. Bayangkan, gang sempit itu tidak pernah sepi dari orang yang berlalu lalang. Di balik gang itu ada komplek perumahan mewah yang bila satu rumahnya dikontrakan kepada pendatang atau mahasiswa, sewanya mencapai puluhan juta Rupiah. Di komplek itu terbentang kehidupan orang-orang berpunya. Walaupun di sana mewah, justru kucing-kucing dari komplek itu memilih ke rumah Eyang untuk mencari makan. Di gang sempit di depan rumah Eyang itu antara yang baik dan yang tidak baik bertemu. Antara kemewahan dengan kemelaratan berpadu merefleksikan jiwa siapa sebenarnya yang peduli. Di gang sempit di depan rumah Eyang itu anak-anak bermain dan cedera, lalu sesudah itu muncul empati, pertolongan perempuan tua yang peduli.
Begitulah Eyang dengan dunia senjanya. Ia sibuk dengan bunga-bunga dan kucing-kucingnya. Gang perlintasan di depan rumahnya terus dilalui orang. Apa yang dilakukan Eyang mungkin saja tidak berarti di mata orang-orang yang menggerutu bila lewat di depan rumah Eyang, tetapi tahukan kita bahwa Eyang yang renta itu masih dapat menunjukkan kepeduliannya terhadap sesama makhluk Tuhan yang lain. Eyang dengan segala keterbatasannya masih bisa berbuat untuk sesama makhluk Tuhan, terlepas dari segala pro-kontranya. Artinya, bila dalam kisah seorang perempuan Bani Israel yang nakal yang kemudian diampuni segala dosa-dosanya dan dimasukkan ke dalam surga gara-gara amalannya menolong seekor anjing yang kehausan di tengah matahari padang pasir yang terik, bagaimana dengan Eyang yang menyelamatkan banyak kucing terlantar dari komplek perumahan elite di balik gang rumahnya. Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu. Semoga Eyang mendapat tempat terbaik di sisi-Nya karena kepeduliannya itu.
Beberapa tahun setelah saya dan keluarga kembali ke Padang pasca-menyelesaikan studi, saya mendapat kabar bahwa Eyang telah menghadap Sang Pemilik Alam. Sebelum wafat, Eyang masih setia dengan kesehariannya seperti sediakala. Selamat jalan Eyang. Terakhir, pada pertengahan tahun 2022, saya ke rumah Eyang. Saya mendapati bahwa rumahnya sudah disatukan dengan rumah adiknya (yang juga sudah berpulang) oleh anak dan menantunya. Bunga-bunga Eyang sudah dibongkar untuk memperlebar jalan di gang itu. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post