Cerpen: Reno Wulan Sari
“Satu Vanilla Latte hangat.”
Barista itu menatap Kalis dengan kepala yang sedikit dimiringkan, seolah ingin meyakinkan, kau memesan minuman lagi? Kalis mengulangnya, “Satu Vanilla Latte hangat,”
“Satu Vanilla Latte hangat?”
“Ya, satu!”
“Minum di sini atau bungkus?”
“Minum di sini.”
Barista itu menatap Kalis lagi. Jika sebelumnya kepalanya dimiringkan ke kanan, sekarang ke kiri. Kalis mengulang dengan informasi yang lebih lengkap.
“Satu Vanilla Latte hangat, minum di sini.”
***
Satu Vanilla Latte hangat untuk Sawala yang diam seribu bahasa hanya karena segelas jus buah. Begitulah cara Sawala marah dan juga mungkin para perempuan lainnya. Tiba-tiba, ia menjadi tidak berminat dengan apa pun. Jika sebelumnya ia bisa bercerita menggebu-gebu, kali ini semuanya hilang. Seperti sebuah buku yang tiba-tiba ditutup begitu saja, atau seperti sinetron yang tidak tayang lagi padahal belum mencapai episode akhir. Barangkali, masa kontrak sinetron itu tidak diperpajang karena ratingnya rendah sehingga tidak ada produsen yang mengiklankan produknya untuk jam tayang sinetron itu. Ya. Cerita dari Sawala pun telah dibungkus seperti sinetron. Ia bungkus sendiri, kemudian dimasukkan ke dalam hatinya, disimpan begitu rapat. Butuh waktu berhari-hari untuk membukanya kembali, tidak bisa dipaksa seperti cara Kalis saat ini. Kalis, seorang lelaki dengan wajah datar, tahu betul bahwa caranya tak akan pernah berhasil, tetapi Kalis tetap mencobanya seolah-olah kejadian sebelumnya tidak menyisakan pelajaran apa pun.
“Lalu, bagaimana? Apakah kau akan tetap menggunakan warna cokelat tua atau krem?”
Hening.
Sawala diam dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Baiklah. Itu adalah tanda bahwa ia tak akan menjawab pertanyaan Kalis.
“Aku ikut semua keputusanmu, kalau kau ingin cokelat tua, aku setuju. Kalau kau akhirnya memilih krem, aku juga akan ikut.”
Masih hening.
Sawala memasang ritsleting jaketnya. Baiklah. Itu adalah tanda bahwa ia tak akan memberi tanggapan apa pun. Kalis mencoba lagi.
“Kapan kita akan pergi ke butik Amerta?”
Tetap hening.
Kali ini, Sawala mengambil ponselnya. Baiklah. Itu adalah tanda bahwa ia tak akan berdiskusi. Ketika Sawala mengambil ponselnya, itu menjadi isyarat bagi Kalis bahwa diamnya kali ini akan berlangsung lama. Sikap acuh tak acuhnya dimulai dari sekarang. Ia akan membuka berbagai aplikasi media sosial yang tidak ada notifikasi. Entah apa yang dilihatnya di berbagai aplikasi tersebut. Biasanya, Sawala tidak begitu peduli dengan ponselnya meskipun ada banyak notifikasi yang masuk. Tetapi kali ini, ia membuka semuanya. Ia melihat Instagram Story sampai ke bulatan paling ujung. Sebagai informasi untukmu, Sawala jarang melihat Instagram Story. Setelah bulatan itu habis (karena jumlah akun yang diikutinya juga tidak banyak), ia beralih ke Facebook dan menggeser layar ponselnya sampai ke bawah, seperti menyelami lautan hingga ke dasar. Sebagai informasi lagi, Sawala tidak pernah betah dengan Facebook. Menurutnya, semua media sosial sangat membosankan. Akan tetapi kali ini, ia tetap fokus pada ponselnya. Setelah membuka semua media sosial beberapa menit, kini ia membuka galeri foto. Ah, Sawala yang bodoh, pikir Kalis. Perempuan itu melihat foto-foto di dalam galeri ponselnya hanya agar ingin terlihat sibuk, yang artinya ia sedang tidak berminat untuk mengobrol.
Hening. Meja mereka benar-benar hening. Hanya terdengar musik relaksasi yang begitu pelan dari kafe tersebut, jika seandainya kaududuk bersama mereka. Di atas meja mereka, ada dua jus buah, tepatnya satu jus mangga dan satu jus jeruk. Seingat Kalis, Sawala sangat suka buah mangga. Kebetulan saat ini sedang musim mangga. Sawala bisa membelinya setiap hari. Oleh sebab itu, Kalis berinisiatif memesankan jus mangga untuk Sawala yang manis; untuk sore mereka yang (seharusnya) juga manis; untuk menenangkan hati Sawala yang sedang gundah setelah berdebat dengan ibunya.
Selain dua gelas jus buah, di atas meja mereka juga ada satu keik tiramisu yang warnanya berlapis-lapis antara krem dan cokelat tua. Ah, seperti warna yang sedang mereka perdebatkan. Oh, maaf, bukan memperdebatkan, tetapi membicarakan. Orang-orang yang berdebat tentang warna bukanlah Kalis dan Sawala, tetapi Sawala dan ibunya. Kalis pun tak tahu persis bagaimana pembicaraan antara Sawala dan ibunya, sebab cerita tentang itu belum disampaikan oleh Sawala secara detail. Cerita itu terpotong saat barista menyebutkan urutan pesanan mereka agar Kalis mengambilnya di meja take out. Sebagai informasi tambahan, Sawala adalah seorang pencerita yang handal. Kalis sangat mengakui hal ini. Sawala memiliki teknik bercerita yang bagus. Jika Sawala bercerita, ia akan menyampaikannya secara terstruktur. Sangat baik. Sangat enak didengar. Ia selalu menggunakan alur maju, dimulai dari peristiwa awal (termasuk memperkenalkan para tokoh-tokohnya jika Kalis tak mengenal mereka. Ini sering terjadi ketika Sawala menceritakan rekan di kantornya. Ia akan memulai cerita dengan memperkenalkan nama rekan itu, apa posisinya, di mana ruangan kerjanya, bagaimana karakternya, dan semua hal yang akan berkaitan dengan alur ceritanya. Maka, Kalis benar-benar akan mudah memahami setiap cerita Sawala. Sayangnya, Kalis sering lupa jika Sawala menceritakan sosok yang sama dengan konflik yang berbeda. Kalis lupa bahwa nama itu pernah disebut Sawala di cerita sebelumnya. Entah Kalis yang pelupa, atau Sawala yang terlalu banyak bercerita). Begitulah cara Sawala bercerita, dimulai dari perkenalan tokoh, kemudian beralih ke peristiwa selanjutnya hingga akhir. Di bagian akhir, Sawala akan menutupnya dengan pertanyaan bagaimana menurutmu? Atau apa pendapatmu? Atau apa yang kaupikirkan? Tiga jenis pertanyaan yang intinya sama, menurut Kalis. Akan tetapi, Sawala bisa mengajukan tiga pertanyaan itu berurutan jika Kalis tidak menjawab pertanyaan pertama dan kedua. Intinya, harus dijawab.
Selain dua gelas jus buah dan sebuah keik tiramisu, awalnya ada dua ponsel mereka juga di atas meja. Akan tetapi, kali ini ponsel itu dipegang Sawala dan ia masih membuka galeri hingga ke foto-foto yang sudah ada sejak 3 tahun lalu. Sebagai informasi lagi, Sawala juga jarang mengganti ponsel. Ia tidak begitu tertarik dengan merek terbaru atau fitur-fitur keluaran terbaru dengan merek yang sama. Sawala tidak peduli dengan itu. Baginya, sebuah ponsel yang bisa berperan sebagaimana halnya ponsel, itu lebih daripada cukup. Peran ponsel bagi Sawala adalah alat untuk berkomunikasi, menyelami dunia internet, membuka media sosial, berfoto (foto yang tidak profesional. Bagi Sawala, foto yang profesional tetap harus diambil menggunakan kamera), dan memasang alarm. Ia tidak menggunakan fitur atau aplikasi lainnya seperti mendeteksi langkah kaki, jadwal datang bulan, membaca buku elektronik, dan sebagainya. Sawala adalah orang yang sangat sistematis. Baginya, membaca buku tetaplah dalam keadaan buku itu dicetak, bukan di dalam layar. Baginya lagi, mengambil foto dengan kamera ponsel hanya untuk kebutuhan dokumentasi, bukan untuk seni fotografi. Jika salah satu peran itu tidak bisa lagi dilakukan oleh ponselnya, pada saat itulah ia akan berpikir untuk membeli ponsel baru.
Bagaimana suasana saat ini? Tetap hening.
Kalis terus mencuri pandang ke layar ponsel yang dibuka oleh Sawala. Ketika Kalis menatapnya, layar Sawala itu pun menunjukkan ada panggilan masuk dari Amerta, seorang perancang busana langganan keluarga Sawala. Sebagai informasi lagi (ah, cerita ini terlalu banyak informasi tambahan), Sawala adalah sosok yang bisa berbeda dalam hitungan detik. Sawala yang saat ini beku bisa saja tiba-tiba menjadi begitu hangat dengan orang lain. Ini seperti musim dingin yang tiba-tiba langsung berubah menjadi musim panas dengan melangkahi musim semi di antaranya. Ah, sayang sekali, pesona bunga Sakura akan terlewatkan begitu saja. Untuk memerankan sosok yang profesional, Sawala memang juaranya. Ia bisa sangat marah dengan seseorang, namun beberapa detik kemudian menjadi begitu ramah ketika menghadapi orang lain, yang tidak ada hubungan dengan kemarahannya saat itu.
“Ya, Mbak”, Sawala menjawab begitu ramah. Ia tetap duduk di sana, membiarkan Kalis mendengar percakapannya dengan Amerta. Ia tak beranjak sedikit pun, sehingga Kalis bisa menarik kesimpulan dari pembicaraan telepon itu. Memang begitulah seharusnya. Kalis harus bisa menarik kesimpulan dari pembicaraan itu agar tak bertanya-tanya lagi. Dalam kondisi yang seperti ini, Sawala sedang tidak bisa ditanya baik-baik. Oleh sebab itu, Kalis harus mencari dan menarik informasi sendiri. Bukankah Sawala juga memberi kesempatan itu dengan tetap menjawab telepon di depan Kalis? Itu artinya, Sawala ingin Kalis menyimak dengan baik. Ini adalah beberapa informasi yang harus diingat baik-baik oleh Kalis dari hasil pembicaraan antara Sawala dan Amerta:
Pertama, “Kami akan ke sana hari Sabtu ya, Mbak.”
Kedua, “ Sekitar pukul 02.00 siang.”
Ketiga, “Saya belum memutuskan warnanya, Mbak. Masih didiskusikan dengan keluarga. Kemungkinan cokelat tua atau krem.”
Keempat, “Nanti akan dihubungi lagi, jika ada perubahan.”
Kelima, “Sebelum pergi ke tempat Mbak, saya akan mengabari Mbak.”
Ya. Kalis akan mengingat itu, bahwa hari Sabtu, sekitar pukul 02.00 siang, mereka akan pergi ke butik Amerta. Keputusan mengenai warna, masih belum bisa dipastikan. Apalagi saat ini, Sawala menunda pembicaraan itu hanya karena jus buah. Ah, jus buah lagi. Ada apa dengan jus buah? Beginilah kisahnya. Seperti caranya Sawala bercerita, kita pun akan memulainya dari peristiwa awal saat Sawala masih menggebu-gebu bercerita kepada Kalis setibanya di kafe.
“Ibu itu masih ngeyel ingin memakai organ tunggal Pak Said. Aku sudah bilang, aku memiliki kenalan yang bisa bermain musik dengan baik untuk acara-acara besar. Aku ingin, kita menyajikan nuansa musik yang lebih modern dengan alunan yang santai dan ringan. Ini acara pernikahan, aku tidak suka dengan suara organ tunggal yang begitu keras. Kenapa aku tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan sendiri?” Sebagai informasi, pada kalimat ini, Sawala masih baik-baik saja meskipun ia terkesan marah saat bercerita. Begitulah Sawala. Selain struktur ceritanya yang bagus, ia juga ekspresif. Ia bisa menirukan kembali nada suara, mimik wajah, dan bahasa tubuh orang yang sedang ia ceritakan. Jika Sawala sudah menggebu-gebu, Kalis hanya perlu menimpali dengan kata lalu, terus, atau hmm. Belum saatnya untuk mengajukan pertanyaan atau menyampaikan pendapat karena itu semua ada waktunya. Begitulah Sawala yang sangat sistematis.
“Lalu?”
“Kata ibu, itu menandakan kemeriahan pesta, semua pesta pernikahan di kompleks perumahan ini begitu. Orang-orang senang mendengar lagu sambil menikmati makanan,”
“Terus?”
“Aku bilang, tetapi tidak keras juga, Bu. Coba ibu bayangkan, tamu-tamu yang datang bisa saja teman-teman yang sudah lama tidak bertemu. Tentu saja, banyak orang yang ingin mengobrol dengan leluasa. Seperti reunian kecil, Bu.”
“Lalu?”
“Kata ibu, mana bisa mengobrol? Kita semua duduk di pelaminan. Bapak dan ibu juga duduk di sebelah kalian. Kapan akan mengobrol? Paling hanya bersalaman dan berfoto,”
“Terus?”
“Aku bilang, ya bukan hanya dengan kita, Bu. Sesama tamu juga akan mengobrol karena mereka saling kenal dan sudah lama tidak bertemu,”
“Lalu?” Sawala mengibaskan tangannya, menirukan gaya ibu.
“Kata ibu, ah… pesta pernikahan tanpa musik yang meriah itu bukan pesta, Sawala. Itu kafe! Sudahlah, kita pakai organ tunggal Pak Said. Beliau sudah meminta kepada bapakmu jauh-jauh hari, bagaimana akan menolaknya? Lagi pula, kita menonolong usaha sesama tetangga,”
“Terus?”
“Ya, aku bisa apa?”
Jika kalimat ini sudah dituturkan oleh Sawala, artinya semua informasi sudah disampaikannya. Tahap selanjutnya adalah analisis. Pada tahap ini, Kalis belum bisa bertanya atau memberikan tanggapan. Biasanya, tahap mengajukan pertanyaan atau memberikan tanggapan ada di bagian akhir cerita. Sekarang, masih tahap analisis. Beginilah analisisnya.
“Mengapa ya, kita sebagai manusia itu harus mengikuti standar sosial kebanyakan. Jika orang lain begini, kita juga begitu. Jika orang-orang memakai organ tunggal, aku pun harus begitu. Padahal kalau bisa memilih, aku malah ingin memakai alat musik tradisional, dengan lagu-lagu daerah yang manis. Bukankah itu lebih menunjukkan budaya? Kapan lagi kita benar-benar menampilkan kebudayaan kita kalau bukan di acara pernikahan? Zaman sekarang, acara-acara adat di kota besar sudah tidak ada lagi,”
Sawala hening sesaat, kemudian melanjutkan lagi.
“Apakah kita tidak bisa menjadi diri sendiri sebagaimana adanya kita? Mengapa harus ada standar sosial? Mengapa harus mengikuti itu? Seperti apa kebanyakan orang, seperti itu pula kita akan bertindak. Mengapa tidak bisa menjadi diri sendiri?”
Pada bagian analisis ini, bisanya Sawala akan mengajukan pertanyaan, bagaimana menurutmu? Akan tetapi, kali ini tidak. Ia melanjutkan. Ini artinya, ada topik kedua tetapi masih dalam ruang lingkup yang sama.
“Tidak hanya itu, soal baju juga. Kata ibu, kemarin ibu pergi ke pernikahan anak temannya. Tema warna pernikahan itu krem, terlihat mewah dan elegan,”
“Lalu?”
“Aku bilang, aku tidak suka krem, Bu. Aku suka cokelat tua. Aku ingin kebaya cokelat tua saat akad,”
“Terus?”
“Kata ibu, cokelat tua itu gelap. Ini acara pernikahan, kita harus memilih warna yang cerah,”
“Lalu?”
“Aku bilang, aku suka cokelat tua, Bu. Lagi pula, ini acara pernikahanku. Aku ingin sesuatu yang istimewa untuk hari spesialku. Aku ingin memakai sesuatu yang aku suka, sesuatu yang merepresentasikan diriku. Warna kesukaanku.”
“Terus?”
“Pesanan nomor 208, silakan diambil”, suara barista menghentikan cerita Sawala. Begitulah akhir dari cerita Sawala (untuk saat ini). Sebenarnya belum berakhir karena pertama, semua informasi belum disampaikan secara detail. Kedua, Sawala belum sampai di tahap analisis untuk topik keduanya ini (Kau tentu masih ingat topik pertamanya adalah organ tunggal). Ketiga, Sawala belum mengajukan pertanyaan, apa yang kamu pikirkan? Akan tetapi, cerita ini berakhir karena topik itu mendadak beralih ke jus buah. Cerita tentang pakaian akad nikah tertunda karena masalah jus buah. Beginilah kisahnya.
Setelah barista menyebutkan nomor pesananan, Kalis beranjak ke meja take out untuk mengambil pesanan mereka. Oh, maaf, bukan pesanan mereka, tetapi hanya pesanan Kalis. Sawala memberikan wewenang seutuhnya kepada Kalis untuk memesankan minuman. Hal ini bisa terjadi karena Sawala adalah orang yang sistematis dan konsisten. Jika pergi ke restoran, ia memiliki menu yang tetap. Namun terkadang, menu itu bisa berbeda di setiap restoran langganannya. Menurut Sawala, di restoran Mas Arjuna, rasa baksonya lebih enak daripada nasi goreng, sedangkan restoran di dalam mal, rasa nasi gorengnya lebih enak daripada bakso. Oleh sebab itu, jika mereka pergi ke restoran Mas Arjuna, Sawala selalu memesan bakso, dan jika mereka pergi ke restoran di dalam mal, ia memesan nasi goreng. Sesuatu yang konsisten itu menjadi mudah untuk diingat oleh Kalis.
Akan tetapi, entah apa yang terjadi kali ini, Kalis memesan jus mangga untuk Sawala. Padahal, Kalis tahu persis Sawala hanya tertarik dengan Vanilla Latte atau Matcha Latte. Kalis memesan jus mangga karena ia sering membelikan Sawala buah mangga setiap akan datang ke rumah perempuan itu. Dengan tersenyum, Kalis meletakkan pesanan itu di atas meja mereka. Ia menggeser sedikit dua ponsel yang sudah terletak di atasnya (sebelum diambil oleh Sawala). Sawala menatapnya heran.
“Jus mangga? Mengapa memesan jus mangga?”
“Bukankah kau sangat suka mangga? Akhir-akhir ini selalu membeli mangga kan?”
“Iya, tapi itu buah mangga, bukan jus mangga,”
“Apa bedanya?”
“Itu beda, Sayang”. Sebagai informasi, penekanan kata sayang Sawala memiliki makna yang berbeda. Ada sayang yang manja, sayang yang perhatian, dan sayang yang kesal. Kali ini, Kalis mendengar penekanan kata sayang yang terakhir. Seperti biasa, sebelum Sawala diam seribu bahasa, ia akan menganalisis terlebih dahulu. Begitulah tahap marah versi Sawala. Pertama, ia menganalisis. Kedua, ia diam seketika. Ketiga, ia menghindar untuk berinteraksi (tiba-tiba Sawala tidak ada di tempat biasa ia berada ketika Kalis mencarinya, atau pergi meninggalkan Kalis jika mereka sedang bersama. Kemudian, ia akan lenyap sekejap, begitu pun di media sosialnya). Tahap keempat, mereka akan berbaikan kembali tanpa kata maaf. Berbaikan versi Sawala tidak perlu meminta maaf atau memaafkan. Jika ia sudah mengajak berbicara kembali, maka artinya berbaikan. Ia sulit mengucapkan kata maaf kepada orang-orang terdekatnya, begitupun sebaliknya, menerima permintaan maaf mereka. Baginya, itu sangat menggelikan dan aneh. Seperti orang yang asing. Akan tetapi, ia bisa meminta maaf kepada orang lain dan mau menerima permintaan maaf orang lain, yang tidak begitu dekat dengannya.
Kalis tahu bahwa pada tahap diam (saat ini, Sawala sudah berada di tahap diam), ia hanya perlu menunggu waktu saja. Sayangnya, terkadang Kalis tidak sabar dengan durasi diam Sawala yang bisa dimulai dari 1 jam sejak kejadian sampai 3 hari ke depan. Inilah analisis kekesalan Sawala sebelum membisu:
“Itu beda, Sayang. Jus buah itu seolah membuat buah tidak menjadi dirinya sendiri. Buah itu sudah ada rasanya. Ada manis, asam, asin, dan lain-lain. Kemudian, orang-orang mengubah rasanya dengan menambahkan air, gula, pemanis buatan, susu, karamel, madu, dan lain-lain. Aku tidak suka itu. Aku suka makan buah sebagaimana adanya buah”
“Tetapi jus tetap sehat kan?”
“Kalau ingin lebih sehat, ya makan buahnya langsung. Yang seharusnya disebut minuman itu adalah kopi, teh, susu, air putih, bukan jus buah. Apa salahnya memakan buahnya langsung?”
“Memangnya kau bisa memakan kedondong yang asam begitu saja?”
“Karena itu aku tidak memilih kedondong yang asam. Biarkan buah menjadi dirinya sendiri. Biarkan buah tetap dengan rasanya yang asli,”
“Ini masih rasa mangga!”
“Beda, Sayang. Ini pakai air dan susu. Biarkan buah menjadi jati dirinya sendiri,”
“Apa masalahnya dengan jus buah?”
“Itu seperti kau punya kendali penuh atas buah itu untuk menjadikannya seperti apa yang kau mau! Kau menghilangkan keasliannya!”
Kedua alis Sawala hampir bertaut.
“Lagi pula, sejak kapan aku memesan jus buah? Kupikir kau tak pernah melihat itu. Kupikir kau sangat mengenal aku, ternyata tidak. Aku tidak pernah memesan jus buah apa pun di kafe mana pun. Mengapa kau tidak mempedulikan itu?”
Lalu? Di sinilah keheningan dimulai. Analisisnya selesai. Kalis tahu bahwa Sawala kesal. Namun, Kalis masih bingung poin kesal terbesarnya ada di mana. Apakah dari jus buah yang seolah mengkhianati rasa buah, atau dari Kalis yang memiliki inisiatif tidak memesan Vanilla Latte hangat atau Matcha Latte. Kalis tahu, Sawala memang kerap kesal pada sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan rencananya atau tidak sesuai dengan yang ia prediksikan. Ia memprediksi Kalis akan memesan minuman kesukaannya, sebagaimana hari-hari biasanya.
Hening. Semakin hanyut.
Sekarang, Sawala telah memulai tahap selanjutnya: membisu. Ia diam, tetapi tidak mematung. Kalis sudah mencoba memecah keheningan itu sebelum berlarut-larut, tetapi tetap tidak berhasil. Seharusnya, Kalis sudah memahami tahap demi tahap ini. Namun berkali-kali, kejadian ini tetap tidak menjadikannya ahli dalam memahami Sawala yang tidak suka improvisasi tanpa sepengetahuan perempuan itu. Ia tidak suka menunggu Sawala selesai dengan diamnya. Setelah Kalis bertanya tentang warna cokelat tua dan krem serta kapan akan pergi ke butik Amerta yang direspons oleh Sawala dengan bermain ponsel, Kalis mencoba memperbaiki keadaan. Dengan nada yang tenang, Kalis mengutarakan usulannya, walaupun bukan saatnya memberi usulan.
“Aku pesankan lagi minuman kesukaanmu ya. Vanilla Latte hangat. Tunggu sebentar ya,”
Hening.
Sawala tidak merespons. Ia terus saja melihat foto-foto di galeri ponselnya yang sudah ada sejak 3 tahun lalu. Foto-foto itu berhenti dilihat Sawala saat Amerta meneleponnya dan Kalis menunda memesan minuman kembali ke barista karena Kalis ingin mendapatkan informasi tentang pakaian pernikahan mereka. Tepatnya, informasi kapan akan pergi ke butik Amerta. Begitu telepon itu ditutup, Sawala kembali melihat foto-foto di galerinya. Mungkin sesaat lagi ia akan sampai ke foto pertama yang ada di ponsel itu. Biasanya, foto pertama yang ada di ponsel adalah foto konter ponsel saat mengetes kamera ponsel pertama kali. Sawala terus melihat foto. Pada saat itu, Kalis memutuskan untuk memesan minuman kembali, minuman yang seharusnya, sesuai dengan jati diri minuman itu (menurut Sawala).
Saat ini, ia telah berdiri di depan barista. Barista itu kembali memiringkan kepalanya. Jika sebelumnya kepalanya dimiringkan ke kanan, sekarang dimiringkan ke kiri. Kalis mengulang kalimatnya dengan informasi yang lebih lengkap, “Satu Vanilla Latte hangat, minum di sini”. Mungkin, barista itu bingung. Dua jus buah yang masih ada di atas meja saja belum diminum, sekarang memesan satu gelas minuman lagi. Itu pun tidak dibungkus. Barista itu seperti ingin meyakinkan diri, apakah laki-laki yang berdiri di depannya ini akan meminum tiga gelas minuman sekali duduk? Barista melihat ke arah meja Kalis. Kalis pun secara refleks mengikuti arah mata barista tersebut. Ia bergumam, ah sial. Sawala sudah kabur. Ia tidak ada lagi di bangku itu. Tahap selanjutnya (tahap ketiga dalam proses kemarahan Sawala), Sawala akan menghilang dan sulit dicari, paling tidak sampai hari Sabtu saat harus mengukur baju pengantin ke butik Amerta. Sawala bisa saja menunjukkan kekesalan pada orang-orang terdekatnya, namun ia tetap profesional dengan orang lain. Kalis sangat paham itu. Maka, paling tidak, pada hari Sabtu, mereka akan berbaikan karena Sawala akan profesional saat harus bertemu Amerta. Bukankah Sawala sendiri yang telah menentukan jadwalnya?
Barista itu terus menatapnya dan memberanikan diri untuk memastikan, “Kau ingin meminum Vanilla Latte hangat? Jus buahmu masih ada di sana. Mengapa jus buahnya tidak diminum? Atau, kau ingin membungkus jus buah itu?”
Kalis tersenyum dan menjawab dengan begitu tenang, “Kau tahu? ada jus buah yang tidak mau meminum jus buahnya,”
Kali ini, sang barista itu sedikit menggeleng-geleng keheranan. Ia tak mengerti dengan kalimat Kalis yang aneh. Ia terus menggeleng-geleng dengan pelan, tak lagi memiringkan kepalanya ke kanan atau ke kiri.
(Busan, 15 Januari 2022)
Biodata Penulis :
Reno Wulan Sari merupakan Dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Saat ini, ia juga sedang menjadi Dosen Tamu di Busan University of Foreign Studies, Korea Selatan. Cerpen-cerpennya telah terbit dalam buku Kumpulan Cerpen Catatan Pertama (2018). Selain itu, ia juga menulis cerpen dan puisi yang dimuat di berbagai media, seperti di Singgalang, Scientia.id, Padang Ekspres, dan lain-lain.
Discussion about this post