Oleh: Wizri Yasir
(Sekretaris PCNU Kota Payakumbuh)
Semenjak tiga orang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuat keputusan terkait penundaan pemilu, hampir semua lapisan masyarakat memberikan tanggapan. Keputusan terkait sengketa pemilu itu mencengangkan karena yang mengeluarkan adalah Pengadilan Negeri. Padahal, menurut undang-undang kita, yang berhak mengeluarkan putusan terkait dengan sengketa pemilu adalah Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
Menteri Hukum dan HAM, Mohammad Mahfud MD mengatakan bahwa keputusan PN Jakarta Pusat tersebut salah kamar. Ia pun meminta KPU mengabaikan setelah mengajukan banding. Kemudian, mantan Wakil Menkumham, Denny Indrayana juga menyebut amar putusan tersebut cacat hukum. Tidak hanya dari dua tokoh tersebut. Penolakan juga muncul dari lembaga-lembaga seperti Perludem, ICW, Pusako, dan pemerhati pemilu lainnya. Beberapa partai tetap menginginkan pemilu berlangsung sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, yaitu tanggal 14 Februari 2024 sebagai hari pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD, dan Pilpres. Kemudian tanggal 27 November 2024 sebagai hari pemilihan kepala daerah serentak.
Untuk kita ketahui, keluarnya putusan PN Jakarta Pusat itu bermula dari gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) atas gugatan perdata mereka terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Partai Prima menggugat KPU karena dinyatakan tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024. Terlepas dari keputusan itu, bagi hampir seluruh masyarakat yang peduli dan mengikuti pemilu ke pemilu, penundaan merupakan hal yang sangat disayangkan.
Terlebih bagi masyarakat kecil. Pemilu bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah memang sebuah pesta demokrasi. Pesta rakyat yang menghadirkan kegembiraan, kepuasan karena ada pergerakan perekonomian di sana. Bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, pesta demokrasi memberikan secercah harapan perbaikan keuangan. Setidaknya selama sebelum dan selama masa kampanye. Saat itu, pelaku usaha mikro seperti pedagang keliling, pedagang asongan, dan pedagang makanan atau jajanan kecil meraih keuntungan.
Sebagai contoh, saat ada calon anggota DPR DPRD ataupun DPD yang berkampanye, baik rapat terbuka ataupun pertemuan terbatas, sedikitnya akan membuat peredaran uang bertambah. Ada pedagang makanan, pedagang kue, pembuat baliho, pembuat sovenir, dan usaha lainnya yang berkaitan dengan kampanye menjadi lebih bergairah.
Apalagi saat ini, ada 17 partai politik yang sudah ditetapkan oleh KPU sebagai peserta Pemilu 2024. Mereka akan berlomba meraih simpati dan suara rakyat. Andai pada satu kecamatan saja terdapat 4 orang calon setiap partai maka akan ada sekitar 68 orang yang akan menggerakkan ekonomi masyarakat dan itu akan terjadi selama kampanye berlangsung.
Sesudah pemilu, pemilihan kepala daerah serentak pun akan berlangsung. Artinya geliat ekonomi pun akan berlanjut. Kalaulah perintah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu tidak melanjutkan tahapan yang tersisa selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari artinya pemilu tahun 2024 akan batal. Jadi, tidak ada kegiatan yang berarti dari tukang jual kaos, tukang sablon dan percetakan, tukang kayu, pedagang asongan, pedagang keliling yang mengharapkan kelimpahan rezeki di musim kampanye.
Untuk itu, sebagai masyarakat, mari sama-sama kita mendoakan dan mendorong agar sisa tahapan pemilu 2024 bisa tetap berlanjut sehingga pesta demokrasi lima tahunan yang bisa menggerakkan roda ekonomi juga bisa terlaksana. Kita juga tahu bahwa Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) adalah salah satu penopang kekuatan ekonomi bangsa ini. Semoga para elite negeri ini mendengarkan suara dari masyarakat kecil yang menginginkan negara tercinta ini berjalan dengan baik, aman, damai, sejahtera, dan makmur.(*)
Discussion about this post