Senin, 16/6/25 | 04:22 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Polemik Konstruksi Pesan Childfree di Media Sosial

Minggu, 19/2/23 | 07:13 WIB

Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom.
(Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)

 

Beberapa asumsi masyarakat konvensional mengatakan bahwa seseorang belum sepenuhnya dikatakan dewasa jika mereka belum berumah tangga atau membangun keluarga sendiri. Di saat sudah berkeluarga, orang-orang mulai belajar bagaimana lebih mengenal dan memahami diri sendiri dan orang lain. Dengan kehadiran seseorang sedari bangun tidur hingga kembali terlelap di malam hari, tentu saja ada beberapa hal berbeda dibandingkan kehidupan sebelumnya. Terlebih lagi, ketika sepasang kekasih halal diberikan titipan anak oleh Tuhan. Akan banyak romantika kehidupan keluarga yang menghiasi hari-hari mereka.

BACAJUGA

Komunikasi Persuasif dalam Child Grooming

Menjaga Identitas Kuliner Minang Tanpa Merusak Keberagaman Budaya

Minggu, 10/11/24 | 12:01 WIB
Komunikasi Persuasif dalam Child Grooming

Pentingnya Komunikasi dalam Memperkuat Kepercayaan Masyarakat pada Pemerintahan Prabowo-Gibran

Minggu, 27/10/24 | 07:48 WIB

Menjalankan sebuah rumah tangga tentu memiliki dinamika dan warna tersendiri bagi setiap pasangan. Ada yang diwarnai dengan kesibukan suami istri dalam mencari nafkah untuk menghidupi diri mereka dan anak-anak. Ada yang dihiasi dengan berbagai aktivitas di rumah sembari menunggu anggota keluarga lain yang berjuang di luar rumah. Ada pula yang saling berjuang sembari menunggu momongan yang belum kunjung datang dan dititipkan Tuhan kepada mereka. Akan tetapi, juga ada keluarga yang memilih untuk fokus hidup bersama tanpa memiliki keinginan untuk melanjutkan keturunan atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah childfree.

Dikutip dari Kamus Oxford, childfree adalah istilah yang secara khusus digunakan untuk menggambarkan keadaan keluarga yang tidak memiliki anak  secara sukarela. Istilah tersebut dikenal dalam agenda feminis, dan childfree dipandang sebagai pilihan oleh perempuan dalam menentukan jalan hidupnya. Childfree mengacu pada orang atau pasangan yang tidak menginginkan anak karena kehidupan, tempat, atau keadaan. Keputusan untuk memilih childfree diawali dengan keinginan seseorang terhadap dirinya sendiri tanpa adanya paksaan dari pihak manapun, termasuk wanita itu sendiri yang pada hakikatnya secara alami mengalami  kehamilan dan persalinan.

Banyak tulisan ilmiah dalam berbagai perspektif yang dapat ditemukan di jurnal-jurnal maupun tesis mengenai childfree. Salah satunya, tulisan dari Amy Blackstone dan Mahala Dyer Stewart dengan penelitian yang berjudul “Choosing to Be Childfree: Research on the Decision Not to Parent”. Dalam penelitian itu, mereka menemukan bahwa bagi perempuan, memilih untuk tidak menjadi orang tua seringkali dikaitkan dengan keinginan untuk fokus dalam perkembangan karier mereka, sedangkan untuk para laki-laki memilih childfree disebabkan oleh tingginya biaya yang dikeluarkan untuk membesarkan anak dan juga keinginan untuk menjaga fleksibilitas dalam hal keuangan (Blackstone, Amy dan Mahala Dyer Stewart, 2012: 718-727).

Sepasang suami istri sebenarnya memiliki hak secara penuh menentukan seperti apa mereka menjalankan rumah tangganya, termasuk dalam menentukan apakah mereka mau mempunyai anak atau tidak. Selain itu adalah ranah personal dalam keluarga, ada kondisi-kondisi tertentu yang memang membuat beberapa keluarga terpaksa memilih untuk childfree. Namun, juga untuk direnungi dan dipertimbangkan setiap keluarga adalah, kondisi childfree ini bukanlah sebuah ajang kampanye dan sebuah pandangan yang baik untuk dikonstruksikan kepada masyarakat melalui media. Bahkan, banyak agama pun mengajarkan bahwa anak adalah karunia yang dititipkan Tuhan melalui sepasang suami istri. Untuk itu, sebenarnya agama pun menganjurkan setiap keluarga meneruskan keturunannya.

Perbincangan mengenai childfree pun rasanya tidak ada habisya diperdebatkan banyak orang semenjak awal kemunculannya di awal abad ke-20. Seperti halnya masalah-masalah lain, topik berita tentang childfree selalu mengundang pro dan kontra dari masyarakat. Hal ini kebanyakan dipicu oleh adanya konstruksi pesan yang disampaikan oleh orang-orang yang dianggap berpengaruh, dalam konteks ini seperti para public figure melalui media sosial yang mereka miliki. Pesan tentang keputusan untuk childfree yang dikonstruksi oleh para public figure sebenarnya berbeda-beda. Mulai dari ketakutan munculnya masalah baru ketika punya anak seperti yang disampaikan Rina Nose, menekan angka kelahiran yang sangat tinggi di dunia memilih untuk mengadopsi anak-anak lain yang memang membutuhkan bantuan seperti yang dilakukan oleh Cinta Laura, hingga obat awet muda seperti yang disampaikan selebgram Gita Savitri.

Bungin (2015:11) menyimpulkan bahwa konstruksi merupakan sebuah kegiatan sosial yang bertujuan untuk membangun makna pesan yang ingin disampaikan oleh seseorang kepada orang lain atau khalayak. Tidak ada realitas di sini yang dikecualikan, objektif, dan diinternalisasi. Karena realitas sosial dilihat dari sebuah konstruksi sosial, di mana realitas sosial yang terkonstruksi sesuai dengan konteks tertentu yang dianggap signifikan oleh para pelaku sosial. Oleh sebab itu, konstruksi pesan di sini adalah bagaimana upaya yang dilakukan oleh para public figure dalam membangun pesan childfree yang mereka yakini agar dapat sampai dan diterima oleh khalayak. Tak sampai di situ saja, dalam mengkonstruksi pesan tersebut, biasanya mereka siap untuk mempertahankan apa pun pendapat yang mereka yakini atas setiap pertentangan yang mereka dapatkan.

Konstruksi pesan yang disampaikan oleh seseorang atau sekelompok orang secara terus menerus dapat dikatakan sebagai sebuah kampanye. Sebagaimana menurut Rogers dan Storey (1987), mereka mendefinisikan kampanye sebagai rangkaian kegiatan komunikasi terencana yang dirancang untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar kelompok sasaran dan dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Konstruksi pesan mengenai childfree yang dilakukan secara terus-menerus ini dapat dikategorikan sebagai sebuah kampanye.

Hadirnya kampanye childfree yang dilakukan secara terang-terangan oleh public figure melalui media sosial menimbulkan sebuah polemik di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat ada yang menanggapinya dengan emosi dan logika semata, sebahagian lagi menanggapinya dengan serius dan penuh analisis. Polemik childfree dapat ditemui di berbagai jenis media, baik itu media massa konvensional maupun maupun media sosial. Perdebatan panas yang paling mudah ditemui, bahkan terdapat pada media pribadi milik public figure yang mengkonstruksi pesan childfree tersebut.

Netizen di Indonesia dapat dikategorikan cerdas, tetapi jahat dalam berkomentar. Mereka bisa berpendapat dengan menyudutkan pandangan public figure tersebut dengan histori-histori yang ada pada masa lalu. Apalagi kalau ditemukan pendapat yang kontradiktif yang dimunculkan oleh public figure itu sendiri. Memang, jejak digital sangat sulit untuk dihilangkan. Oleh sebab itu, masyarakat harus selalu hati-hati dalam menjaga perbuatan dan perkataan di dalam media maya. Perdebatan kecil dapat merambah menjadi sebuah polemik besar yang bisa membuat kondisi genting bagi setiap orang yang tidak siap mental.

Memiliki pandangan berbeda dengan banyak orang atau minoritas memang sering menjadi hambatan orang-orang untuk bersuara. Namun, selalu ada strategi komunikasi untuk menangani setiap perbedaan pendapat yang ada. Asalkan dengan landasan yang tegas dan dapat dipertanggungjawabkan, tentunya setiap konstruksi pesan bisa dipertahankan dengan baik. Dengan demikian, konstruksi pesan yang dimunculkan di media sosial tidak memunculkan polemik yang berkepanjangan di tengah masyarakat.

Tags: #Yudhistira Ardi Poetra
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Homonim, Homofon, dan Homograf

Berita Sesudah

Cerpen “Salah  Taksir” Karya Liza Warni dan Ulasannya Oleh Azwar Sutan Malaka

Berita Terkait

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Minggu, 15/6/25 | 10:52 WIB

Oleh: Mita Handayani (Mahasiswa Magister Linguistik FIB Universitas Andalas)   Cassirer (dalam Lenk, 2020) mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum,...

Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

Minggu, 15/6/25 | 09:39 WIB

Oleh: Arina Isti’anah (Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma) Baru-baru ini kita disadarkan oleh fenomena kerusakan alam Raja Ampat yang...

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Minggu, 08/6/25 | 08:17 WIB

Ilustrasi: Meta AI Oleh: Ratu Julia Putri (Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia 32 & Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas)   “Kamu...

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Minggu, 01/6/25 | 11:46 WIB

Oleh: Ghina Rufa’uda (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas)   Rekeningku hanya tempat...

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Minggu, 01/6/25 | 11:18 WIB

Oleh: Sufrika Sari (Mahasiswi Prodi Sejarah dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas) Kesalehan lahiriah bukanlah jaminan seseorang...

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Minggu, 25/5/25 | 14:40 WIB

Oleh: Raisa Tanjia Ayesha Noori (Mahasiswa S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas) Peraturan Daerah (Perda) sering kali dianggap sebagai...

Berita Sesudah
Cerpen “Salah  Taksir” Karya Liza Warni dan Ulasannya Oleh Azwar Sutan Malaka

Cerpen "Salah  Taksir" Karya Liza Warni dan Ulasannya Oleh Azwar Sutan Malaka

Discussion about this post

POPULER

  • Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

    Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Magister Ilmu Komunikasi FISIP UPNVJ Raih Akreditasi Baik Sekali dari BAN-PT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puan Maharani Apresiasi Meta Dukung Indonesia Berantas Judi Online

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Warga Koto Padang Dharmasraya Swadaya Perbaiki Jembatan Gantung yang Ambruk

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aliansi OKP se-Dharmasraya Minta Polres Dharmasraya Tingkatkan Pengawasan Keamanan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bubur Kirai Kuliner Khas Muaro Bungo Jambi dari Zaman Baheula

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024