Oleh: Ria Febrina
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Dulu sekali semasa saya sekolah, nama Candi Borobudur selalu masuk dalam mata pelajaran Sejarah dan juga mata pelajaran Bahasa Indonesia. Candi Borobudur dikenal sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Mengapa bisa disebut sebagai keajaiban dunia? Saat itu saya tidak bisa menemukan tulisan yang menjelaskan secara ilmiah.
Bagi saya, anak kecil yang berada di salah satu kota di Pulau Sumatera dan juga sudah membaca puluhan dongeng, legenda, fabel, dan cerita anak pada masa itu, saya membayangkan bahwa Candi Borobudur memiliki kisah yang mirip dengan Candi Prambanan. Dalam legenda Indonesia, Candi Prambanan berhasil dibangun karena bantuan roh-roh halus. Dipimpin oleh Bandung Bondowoso, tokoh jahat dalam kisah Roro Jongrang ini, hampir berhasil membangun seribu candi dalam semalam. Namun, tiba-tiba gagal karena Roro Jongrang, calon istri yang dipersuntingnya membuat ayam-ayam berkokok sebelum matahari terbit agar keinginan Bandung Bondowoso untuk menikahinya gagal.
Tentu saja kisah tersebut hanya sebuah legenda. Begitu juga dengan kisah Candi Borobudur yang katanya dibangun dalam semalam atau disebut-sebut sebagai peninggalan Nabi Sulaiman. Kehadiran penulis di media massa, mesin pencari Google, dan juga media sosial sudah mengubah pemikiran banyak orang bahwa Candi Borobudur merupakan mahakarya para arsitektur pada masa lampau. Saat saya melanjutkan studi ke Universitas Gadjah Mada tahun 2021 lalu, kunjungan ke Candi Borobudur menjadi salah satu kunjungan wajib. Bak kata orang-orang yang suka jalan-jalan, tidak sah ke Yogyakarta jika tidak sempat mengunjungi Candi Borobudur.
Pada bulan November 2021, saya dan keluarga mengunjungi Candi Borobudur bersama seorang teman yang juga seorang penulis. Perjalanan kali ini hanya kunjungan biasa. Kami ingin melihat Candi Borobudur untuk pertama kalinya secara langsung, berfoto di berbagai sudut yang sudah dipopulerkan orang-orang melalui media sosial, dan menikmati hidup dalam budaya populer. Sesampai di sana dan benar, kami berfoto tiada henti. Langkah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Masih ingat kejadian setelah kami melakukan scan tiket masuk, di hadapan kami terpajang tulisan Borobudur. Sebagai kenangan agar kami pernah ke sini dan juga sebagai tanda yang dipakai untuk berkabar kepada teman, kami pun berfoto mulai dari sudut ini. Dengan aneka gaya tentunya, saya berfoto sendiri, berfoto berdua, berfoto sekeluarga, hingga berfoto satu rombongan.
Begitulah seterusnya hingga kami naik ke Candi Borobudur melalui jalur tenggara. Pada saat itu, pelataran Candi Borobudur sedang direnovasi. Kami menikmati perjalanan ke Candi Borobudur hanya untuk melihat langsung candinya; memegang bangunan dengan arsitektur hebat pada masa lampau ini; berfoto di berbagai sudut sembari membincangkan kekuatan dan kecerdasan orang-orang pada masa lampau dalam mengangkat batu, membentuknya secara simetris, dan mengukir kisah-kisah di salah satu sisinya; serta membangunnya menjadi sebuah candi yang sangat cantik. Luar biasa. Rasa kagum berkali-kali kami dengungkan hingga akhirnya keluar dari Candi Borobudur.
Beberapa waktu setelah itu, saya pun menyadari bahwa kunjungan ke Borobudur yang awalnya membuat saya sebagai pengunjung, kini beralih menjadi pemandu wisata. Setidaknya hingga hari ini, sudah empat kali saya berkunjung ke Candi Borobudur. Pada kunjungan kedua, saya masih menikmati kunjungan sebagai pengunjung. Namun, pada kunjungan kedua ini, saya mulai merasa lelah mengitari Candi Borobudur dengan pelataran yang masih direnovasi.
Kami mengelilingi kawasan dari pintu masuk hingga pintu keluar di antara luas kawasan yang tercatat memiliki luas 2500m2. Candi Borobudur sendiri memiliki panjang 121,66 meter dan lebar 121,38 meter. Jarak dari pintu masuk ke Candi Borobudur cukup membuat napas terengah-engah, apalagi mengitari candi hingga turun dari candi dan menuju pintu keluar kawasan. Kami juga akan menyusuri taman gajah, musala, museum Candi Borobudur, hingga pasar yang menjual oleh-oleh khas Borobudur.
Namun, jika tidak ingin merasa lelah mengitari candi, kita bisa menaiki delman dan juga kereta mini terbuka. Kita akan diajak berkeliling mengitari kawasan candi hingga pintu keluar. Pada kunjungan keempat, saya menikmati perjalanan menaiki bus terbuka dan menyaksikan betapa bersih, cantik, dan indah pemandangan di sekitar kawasan Candi Borobudur. Itu juga yang kemudian membuat saya ingin menuliskan sisi lain dari Candi Borobudur. Apalagi, ketika kolom Destinasi ini hadir, saya menjadikan kunjungan ke Candi Borobudur sebagai salah satu catatan perjalanan.
Keinginan menulis bermula saat saya mengikuti seminar proposal seorang teman kuliah yang merupakan peneliti dan tim konservasi Candi Borobudur. Saat itu saya belum menemukan ide untuk menulis. Namun, pada kunjungan ketiga, saat saya membawa mahasiswa Universitas Andalas yang sedang melaksanakan credit earning ke Universitas Jenderal Soedirman, saya pun berkeinginan untuk menuliskan perjalanan ke Candi Borobudur. Namun, belum tahu tentang apa karena tulisan perjalanan pasti sudah sangat banyak. Hingga akhirnya saya putuskan menikmati perjalanan dulu mengelilingi Candi Borobudur sembari ditemani seorang pemandu. Pemandu itu menceritakan sejarah pendirian Candi Borobudur hingga isi relief yang ada dalam Candi Borobudur. Hampir dua jam kami menyimak sambil berfoto.
Ini juga hal lain yang ingin saya tulis tentang lokasi Candi Borobudur. Meskipun ada yang bilang kalau ke Yogyakarta harus singgah ke Candi Borobudur, sebenarnya lokasi kedua tempat ini cukup jauh. Candi Borobudur berjarak 25 km dari kawasan Malioboro. Butuh waktu 1—2 jam tiba di Candi Borobudur. Untuk berkunjung ke sana, kita harus menggunakan mobil pribadi atau menggunakan Damri, angkutan umum yang disediakan Badan Usaha Milik Negara Indonesia. Kita bisa naik di Universitas Gadjah Mada, tepatnya di depan Hotel University Club. Ongkosnya juga tidak mahal. Hanya Rp20.000,00 per orang. Jadwalnya ada dua, pukul 09.00 WIB dan pukul 10.00 WIB. Jadwal balik ke Yogyakarta disediakan pukul 15.00 WIB dan pukul 16.00 WIB.
Ke Candi Borobudur saat hari kerja pasti lancar dan tidak ada hambatan namun pada beberapa titik saat jam pulang kerja. Beberapa lokasi dalam perjalanan akan macet. Sementara itu, ketika berkunjung ke Candi Borobudur saat akhir pekan atau saat liburan, perjalanan akan memakan waktu lebih lama. Mulai dari Yogyakarta, bus-bus pariwisata dan mobil pribadi akan berderet beriringan.
Jika ingin ke sana pada waktu akhir pekan dan masa liburan, minuman botol dan camilan selama di perjalanan harus ada. Selain itu, rasa sabar dan lapang hati menikmati perjalanan juga jangan lupa. Yogyakarta hari ini termasuk kawasan yang padat, macet, dan ramai dikunjungi wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara. Itu satu bagian dari Yogyakarta yang membuat saya kagum. Orang-orang tidak pernah bosan walaupun berkali-kali datang. Tempat wisatanya banyak dan penduduknya ramah. Setiap kunjungan akhirnya akan mempunyai kisah sendiri.
Rahasia Candi Borobudur
Inilah kisah yang ingin saya tulis tentang Candi Borobudur. Semua euforia dan kesenangan saya setiap berkunjung ke Candi Borobubur menjadi sirna saat mengetahui kondisi candi hari ini. Siapa sangka, di Candi Borobudur yang menjadi situs purbakala ini pernah ditemukan tiga ribu lebih noda permen karet di berbagai sudutnya. Permen karet ini ditinggalkan oleh pengunjung. Bekas permen karet inilah yang dibersihkan oleh Tim Konservasi Candi Borobudur sejak 2014 hingga masa pandemi.
Tidak hanya itu, para pengunjung juga ada yang mencukil bagian candi, seperti mereka mencukil bagian dalam sebuah kue ulang tahun. Candi Borobudur yang sudah dibangun sejak abad kedelapan ini memang rapuh. Beberapa bagian mudah rusak jika diganggu oleh tangan-tangan jahil. Sebagian orang mencukil untuk koleksi, sebagian lagi mencukil untuk jimat. Bak sebuah mitos, mereka ingin mengambil bagian dari Candi Borobudur untuk menjadi pesugihan. Entahlah, apa benar atau tidak, yang jelas tentulah itu pemikiran orang-orang yang malas bekerja, tetapi berkeinginan menjadi kaya.
Barbar. Itulah istilah yang barangkali perlu dilekatkan kepada wisatawan yang merusak warisan dunia ini. Mereka tidak beradab dalam memperlakukan situs purbakala Indonesia. Padahal, struktur Candi Borobudur dibangun selama 60 tahun (775—835 M) oleh ribuan arsitek. Menurut Tim Konservasi Candi Borobudur, Hari Setyawan desain Candi Borobodur juga ada, seperti blue print pada masa kini. Desain candi diambil dari naskah Vastusastra, Silpasastra, Brhat Samhita, dan Sthapatya Veda. Naskah yang dibawa dari India ini dikreasikan dengan kearifan lokal oleh arsitek Nusantara hingga akhirnya bangunan Candi Borobudur ini menjadi masterpiece ‘mahakarya’. Hanya satu-satunya ada di dunia sehingga dapat menjadi warisan budaya dunia.
Tim Konservasi juga menjelaskan bahwa bangunan candi tidak mudah rusak. Candi Borobudur bisa cepat rusak jika tidak dirawat dan tidak dijaga dengan baik. Sebelum pandemi hampir 75.000 orang berkunjung dan naik ke atas candi dalam satu hari. Dalam jumlah tersebut, banyak karakter manusia tentunya. Pasti ada yang hanya berfoto saja, tetapi juga ada yang berbuat tidak baik, seperti merusak candi, menempel sampah permen karet, hingga melakukan perbuatan tidak tertib lainnya. Tentunya menjadi tidak elok jika mereka tahu bahwa Candi Borobudur merupakan tempat beribadah bagi agama Buddha.
Penganut agama Buddha hingga hari ini masih melaksanakan ibadah di candi ini, seperti pada Hari Raya Waisak atau hari kelahiran Siddharta Gautama. Juga hari-hari lain saat Siddharta Gautama pertama kali berkhotbah. Para penganut agama Buddha akan berkeliling candi mengikuti arah putaran jarum jam sebanyak tujuh kali. Oleh sebab itu, kabar yang pernah viral tahun 2022 kemarin bahwa naik ke atas candi akan berbayar 750.000 ternyata menjadi salah satu cara untuk mengantisipasi pengunjung yang barbar dan juga cara untuk merawat keutuhan candi, sekaligus menghormati candi sebagai tempat beribadah penganut agama Buddha. Kita tentu berharap agar Candi Borobudur tidak hanya dinikmati oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi selanjutnya dalam keadaan yang sama dan utuh tanpa cela.
Tim Konservasi Candi Borobudur juga menyampaikan hanya 125 pengunjung yang boleh naik ke atas candi dalam waktu bersamaan dan hanya 1.200 pengunjung yang boleh naik ke atas dalam satu hari. Mereka tentunya tidak akan dibiarkan sekadar berfoto, tetapi akan didampingi untuk belajar tentang kepurbakalaan atau menikmati quality tourism. Pengunjung akan mengetahui bahwa Candi Borobudur tidak dibangun tanpa perekat, tetapi dibangun dengan sistem kuncian. Mereka juga akan diberi tahu bahwa mengitari Candi Borobudur sama dengan berjalan sepanjang 5 km. Mereka juga akan mengetahui bahwa di Candi Borobudur terdapat 1460 panil relief cerita dengan tema Mahakarmawibhangga, Lalitavistara, Jataka, Gandawyuha, dan Badrachari, serta terdapat 1212 relief dekoratif simbolis.
Membaca semua panil tersebut sama dengan membaca manuskrip keagamaan Buddha yang menjelaskan perjalanan manusia untuk membebaskan diri dari samsara ‘hawa nafsu’ untuk mencapai kebenaran sejati. Uniknya, meskipun manuskrip di Candi Borobudur dibawa dari India, bukan lingkungan dari India yang digambarkan, tetapi lingkungan masyarakat Jawa Kuno. Inilah kehebatan dan kearifan masyarakat Nusantara pada masa itu.
Jika berkunjung ke Candi Borobudur hari ini, panil-panil tersebut sudah ditutup untuk daya tahan candi. Namun, kita masih bisa menyaksikan beberapa panil yang masih terbuka. Panil ini terbuka karena pada masa penjajahan Jepang, seorang fotografer Jepang yang bernama Yasujiro Furusawa membongkar selasar untuk melihat relief nomor 21—23 pada tahun 1942. Akan tetapi, karena Jepang kalah dalam perang, dia pun kembali ke negaranya dan tidak sempat lagi menutup panil tersebut. Oleh sebab itu, relief di sisi tenggara candi masih bisa dilihat oleh pengunjung. Salah satu relief memuat kisah tentang orang-orang yang suka bergosip dan menyebar fitnah. Mereka diukir dengan wajah yang buruk rupa. Melihat relief tersebut tentunya menjadi pembelajaran bagi kita agar jangan meniru perbuatan tersebut.
Nah, setelah tahu sedikit rahasia Candi Borobudur, masihkah kita bersikap tidak peduli dengan warisan dunia ini? Berkunjunglah ke Candi Borobudur dan nikmati setiap sudutnya untuk berfoto. Di antara waktu kunjungan tersebut, jadilah pengunjung yang menikmati quality tourism dan jadikan Candi Borobudur sebagai tempat belajar.
Discussion about this post