Oleh : Idris, S.Pd.I.
(Sekretaris Tanfidziyah PCNU Kota Pariaman)
Radikalisme dimaknai sebagai paham yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara drastis dan ekstrem. Catatan pengawasan partisipatif pada pemilu dan pilkada yang lampau hendaknya menjadi cemeti bagi Bawaslu untuk melakukan upaya-upaya radikal agar partisipatif masyarakat dalam pengawasan pemilu menjadi tradisi sosial baru.
Tinggal menghitung hari, tahapan pemilihan umum 2024 akan segera digelar. cita-cita untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berintegritas sesuai dengan kehendak rakyat, terus diasa. Gagasan pengawasan partisipatif berangkat dari keinginan untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil (free and fair elections). Sebagai pengampu utama, pada praktiknya Bawaslu membutuhkan dukungan banyak pihak, di antaranya segenap masyarakat yang terlibat aktif dalam pengawasan. Partisipasi masyarakat pada pemilu tidak boleh hanya dilihat dari tingginya angka pengguna hak pilih namun harus diukur dari tingkat keterlibatan aktif masyarakat dalam seluruh agenda pemilu dan pengawasan pemilu.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan merupakan hal yang sangat penting dan indikator peningkatan kualitas demokrasi di suatu bangsa karena esensi demokrasi adalah partisipasi aktif masyarakat dalam mengambil pilihan politik dan dalam pemerintahan. Bawaslu harus mampu mendorong partisipatif aktif masyarakat sebagai sebuah nilai kewajiban moral bagi untuk aktif mengawasi jalannya pemilu dan pemilihan. Pengawasan pemilu Partisipatif ialah pelibatan masyarakat secara aktif dalam melakukan pengawasan pemilu yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi, mewujudkan integritas penyelenggaraan pemilu, dan memastikan bahwa penyelenggaraan pemilu sesuai regulasi. Eksistensi pengawasan partisipatif dapat mencegah tindakan kontrademokrasi yang dapat mengoyak keyakinan masyarakat terhadap sistem demokrasi di Indonesia.
Mengingat gelaran pemilu tahun 2024 semakin berat dan persoalan pelanggaran pemilu diprediksi akan semakin meningkat. Langkah kerja peningkatan partisipasi aktif dalam pengawasan, harus dilakukan secara radikal sehingga pemahaman masyarakat tentang pemilu seimbang. Masyarakat tidak saja paham peran mereka secara aktif dalam pemilu dan menggunakan hak pilih namun juga aktif ikut serta mengawasi terjadinya potensi pelanggaran pemilu sehingga partisipasi masyarakat secara umum terhadap pemilu semakin baik dan catatan pengawasan partisipatif menjadi tradisi baru masyarakat dalam pemilu. Pengawasan partisipatif menjadi urgen. Ada empat alasan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu. Pertama, pemilu adalah hajatan rakyat. Penyelenggaraannya harus dikawal langsung oleh rakyat agar pemilu terselenggarakan sesuai dengan kehendak rakyat. Doktrin ini harus sampai dan merasuki ke alam bawah sadar rakyat.
Kedua, SDM pengawas pemilu yang terbatas tidak akan mampu menangani segala persoalan dan pelanggaran pemilu yang terus berkembang berdasarkan pengalaman dari pemilu ke pemilu yang terjadi secara masif di tengah masyarakat.
Ketiga, tingginya ekspektasi masyarakat terhadap kinerja pengawas pemilu, memaksa Bawaslu untuk memaksimalkan pola strategi kerja pengawasan termasuk upaya peningkatan keterlibatan masyarakat dan berbagai pihak dalam pengawasan pemilu.
Keempat, peningkatan partisipasi masyarakat dalam wujud pengawasan partisipatif merupakan tugas pengawasan Bawaslu yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada pasal 94, 98,102 dan 105. Dalam catatan pengawasan partisipatif selalu berhadapan dengan berbagai problematika, seperti, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu, konsep pengawasan yang relatif belum dapat dipahami oleh masyarakat secara luas, cara kerja pelaporan pengawasan dan jaminan perlindungan serta kerahasiaan pelapor, meningkatnya model dan corak pelanggaran pemilu, serta hasil laporan masyarakat yang misterius diketahui oleh masyarakat.
Pengawasan partisipatif sebagai wujud kerja pengawasan Bawaslu dan wujud partisipasi aktif masyarakat dalam pemilu dapat diimplementasikan secara optimal dengan beberapa gagasan radikal sebagai berikut.
Pertama, perlu meredefinisi partisipasi masyarakat pada tataran peraturan Bawaslu. Dalam Undang-Undang Pilkada Pasal 131, partisipasi masyarakat digambarkan dalam bentuk pengawasan tahapan pemilihan, sosialisasi pemilihan, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat. Namun, secara eksplisit tidak digambarkan pemaknaan partisipasi masyarakat dalam Undang-Undang Pemilu. Dalam berbagai Peraturan KPU, definisi partisipasi masyarakat adalah keterlibatan perorangan dan/atau kelompok dalam Penyelenggaraan Pemilu. Namun, dalam Peraturan Bawaslu, belum ditemukan definisi partisipasi masyarakat. Kerangka berpikir peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu perlu dibentuk dan diseragamkan agar kinerja peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan terukur dengan maksimal, di antaranya dengan mendudukkan paham partisipasi masyarakat dengan definisi yang jelas. Berbagai pihak perlu mendorong Bawaslu untuk menerjemahkan partisipasi masyarakat dalam tataran Peraturan Bawaslu atau minimal dapat mengadopsi definisi yang digunakan KPU sebagaimana yang tercantum dalam berbagai peraturan KPU yang berkaitan dengan pedidikan pemilih dan partisipasi masyarakat.
Kedua, Bawaslu harus menyusun konsep pengawasan partisipatif yang universal dan relatif mudah dipahami oleh masyarakat, termasuk mekanisme pelaporan dan informasi hasilnya. Berdasarkan konsep pengawasan tersebut, Bawaslu masif melakukan sosialisasi pengawasan Pemilu kepada basis-basis masyarakat. Konsep pengawasan tersebut mencakup tema demokrasi dan pemilu, pengawasan partisipatif masyarakat serta mekanisme kerjanya.
Ketiga, selain aktif membangun kerja sama dengan Perguruan Tinggi, sekolah, madrasah, pondok pesantren, ormas, dan LSM, Bawaslu harus terjun langsung mensosialisasikan pengawasan kepada basis-basis masyarakat agar partisipasi masyarakat dalam pengawasan menjadi optimal. Fakta bawah masyarakat sebagai makhluk sosial, secara alamiyah membentuk basisnya sendiri, baik berdasarkan tempat tinggal, hobi, pekerjaan, jenis kelamin, dan sebagainya. Intensitas sosialisasi pengawasan kepada basis masyarakat akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bentuk pengawasan partisipatif sebagai gerakan moral dan sosial. Seluruh jajaran Bawaslu hingga adhock harus menemui seluruh basis masyarakat di lingkungan kerjanya, door to door and man to man, seluruh warga bangsa harus tahu tentang demokrasi, pemilu, dan pengawasan pemilu.
Keempat, publik harus mendorong Bawaslu mengoptimalkan program partisipasi masyarakat yang sudah dilakukan, seperti gerakan Saka Adhyasta Pengawas Pemilu, Perempuan Mengawasi Pemilu, Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif, Patroli Pengawasan, Deklarasi Desa Antipolitik Uang, Pojok Pengawasan, aplikasi Gowaslu, dan aplikasi Siwaslu. Kerja sama pengawasan partisipatif harus digerakan dengan berbagai program, pihak, lembaga dan tema, bahkan dengan pendekatan keagamaan, budaya, dan kearifan lokal. Ada ‘Pesantren mengawasi Pemilu’, ‘Keluarga Antipolitik Uang’, Tausiyah Pengawasan’ bagi majlis-majlis keilmuan di masjid, mushala, dan pesantren, ‘Lapau Pengawasan Partisipatif’, Kecamatan bahkan Kota Peduli Demokrasi dan sebagainya.
KPU memiliki relawan demokrasi yang dibiayai untuk melakukan sosialisasi penggunaan hak pilih. Bawaslu juga dapat merekruit Relawan Pengawas Demokrasi untuk sosialisasi pengawasan partisipatif kepada basis massa. SKPP harus digeser jadi domainnya Bawaslu Kabupaten/Kota agar kader pengawasan direkrut secara masif dan patrol pengawasan harus dimulai semenjak tahapan kampanye digelar. Begitu juga dengan aplikasi smartphone pengawasan, masyarakat dengan mudah bisa langsung melaporkan potensi pelanggaran melalui aplikasi Gowaslu, serta masyarakat juga dapat memantau perkembangan kasus yang dilaporkan, selain optimalisasi Aplikasi Siswaslu sebagai media informasi Publik.
Kelima, pengawasan pemilu mesti disosialisasikan secara luas sama halnya dengan KPU mensosialisasikan coklit, DPS, DPT, GMHP, tata cara pencoblosan, dan pemberitahuan jadwal pencoblosan, pengawasan harus diperlakukan lebih dalam bentuk sosialisasi, dan anggaran. Radikalnya, setiap rumah warga, layar smartphone, televisi, dan media sosial warga, terpajang sosialisasi pengawasan pemilu, ajakan untuk menyampaikan laporan jika menemukan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu dan jajaran, atau menggunakan aplikasi yang disediakan. Bawaslu harus didorong untuk membuka akses partisipasi seluas-luasnya terhadap masyarakat melalui berbagai program, cara dan media, serta penyiapan layanan pengaduan mudah dan direspon dengan cepat. Publik juga harus mendorong Bawaslu untuk melahirkan regulasi yang dapat menjamin kerahasiaan identitas pelapor hingga pada tahap proses pemeriksaan dan putusan.
Keenam, peran pers dalam pengawasan pemilu perlu didorong secara maksimal. Pers memiliki peran untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi dan pengawasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Pers harus didorong untuk mempublikasikan seluruh kegiatan kampanye secara adil dan setara sebagai upaya mencerdaskan publik dan menginformasikan tahapan penyelenggraan pemilu dan pengawasan pemilu secara baik.
Pada akhirnya, pengawasan partisipatif ini akan menggerakkan publik menjadi pemilih kritis dan cerdas dalam menentukan pilihan. Dalam jangka panjang, kita akan mendapati catatan pengawasan partisipatif sebagai modal penting untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berintegritas. Jika pengawasan partisipatif ini dijalankan secara konsekuen, sungguh-sungguh, dan berkelanjutan, kita optimis pelanggaran penyelenggaraan pemilu dapat dicegah dan diminimalisasi. Semakin banyak yang mengawasi, semakin sedikit potensi kecurangan yang terjadi.
Discussion about this post