Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Pertama, perlu diiingat bahwa tulisan ini hanya berdasarkan pengalaman pribadi dan orang-orang sekitar yang melakukan hal serupa. Pembahasannya ialah terkait “sambat”. Tentu, sambat yang dimaksud di sini ialah yang sedang populer di kalangan anak muda (hanya menduga-duga, sih). Soalnya, juga ada kata “sambat” lain yang artinya sambung. Kata itu memiliki kata turunan “bersambat” yang artinya bersambung (dengan); bertali (dengan) atau meminta bantuan tenaga untuk mengerjakan sesuatu. Jika melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, sambat dengan kata turunan yang dimaksud ialah yang ketiga, yang artinya mengaduh; mengeluh.
Kebetulan pula, saya memiliki secuil teman sambat hingga kami membentuk grup whatsApp khusus. Grup itu kami namai dengan Nge-Drop. Kami tidak terlalu memedulikan asal katanya, benar atau salah. Bagi kami, grup itu memang didominasi oleh per-sambat-an duniawi yang seperti tidak ada habisnya. Di dalamnya disediakan ruang khusus untuk bersambat segala macam hal tentang kehidupan.
Kepopuleran sambat di kalangan orang-orang yang melakukannya pun difasilitasi melalui sebuah akun instagram khusus hingga diterbitkan dalam bentuk sebuah buku. Akun dan buku itu ialah Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini (NKSTHI). Wah, mengeluh saja ada bukunya, ya? Meskipun sudah difasilitasi, nyatanya tidak semua orang bisa dijadikan sobat sambat dan menerima sobat sambat. Mungkin bagi sebagian orang, sambat adalah kegiatan nirfaedah dan cenderung bermakna negatif. Padahal, sambat adalah salah satu jalan pintas untuk bertahan dalam kerasnya kehidupan, setidaknya menurut sobat sambat saya yang secuil itu.
Sebagai orang yang pernah (bahkan cukup sering) sambat, tentu saya amat bersyukur dengan kehadiran atau terbentuknya kata kerja sambat di dunia ini karena sambat juga ada manfaatnya. Sambat berarti mengakui bahwa diri tidak selalu baik-baik saja. Terkadang, ada kondisi yang membuat beban hidup terasa tidak terpikul lagi. Di sini, sobat sambat tidak perlu sok kuat. Setidaknya ia cukup bilang “hadehhh” dan celoteh sambat lainnya. Lalu, ia akan merasa cukup baik meskipun beban hidupnya tetap tidak berkurang.
Orang yang sedang sambat sebenarnya cenderung hanya ingin didengarkan. Ia tidak perlu dihakimi sedemikian rupa karena itu hanya akan membuat dirinya semakin terpuruk. Seolah dialah yang paling menderita sedunia. Toh, sambatnya tidak dilakukan 24 jam melainkan hanya sesekali waktu.. Namun, adakalanya pula ia membutuhkan saran agar arah hidupnya yang mungkin sedang kusut lebih terarahkan.
Namun, sambat secara kelewatan sepertinya juga tidak baik. Tidak baik bagi teman yang mendengar sambat seseorang setiap waktu. Sambat berlebihan mungkin tidak mengganggu kelancaran hidup orang yang sedang sambat, tetapi bisa membuat kusut orang yang mendengarnya. Oleh sebab itu, tetap perlu diingat agar sambatlah seperlunya. Toh, hidup juga pasti ada manis-manisnya, bukan?
Ada kutipan yang amat saya suka dari Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini. Kutipan itu berbunyi, “Jika ada bagian-bagian dari hidup yang pantas untuk disyukuri, bukankah ada juga bagian-bagian dari hidup yang patut untuk disambati?” kutipan itu sekaligus menutup bahasan soal sambat yang sebetulnya masih panjang ini. Seperti sambat itu sendiri yang tiada akhirnya.
Discussion about this post