Oleh: Elly Delfia
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia Unand dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora UGM)
Membicarakan perempuan dalam karya sastra selalu menjadi topik yang menarik. Barangkali karena perempuan seringkali menjadi subordinat pada banyak sisi dalam kehidupan ini. Itu sebuah alasan sederhana mengapa pembicaraan seputar perempuan selalu menjadi topik yang hangat dan menarik. Tidak hanya dalam kehidupan nyata, dalam karya sastra pun, pembicaraan seputar perempuan juga menarik untuk dibahas sehingga muncul gerakan khusus yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan dikenal dengan gerakan feminis.
Bagian tak kalah menariknya adalah membicarakan perempuan dalam perspektif laki-laki atau wacana perempuan di mata pengarang laki-laki. Bagaimana laki-laki, khususnya pengarang laki-laki memandang perempuan. Seberapa jauh pengarang laki-laki dapat memahami diri perempuan. Wacana perempuan dalam perspektif pengarang laki-laki salah satunya dapat dilihat dalam buku kumpulan puisi Kesaksian Sepasang Sendal karya Muhammad Subhan yang terbit pada tahun 2020. Buku yang memuat 70 puisi ini juga menyinggung tentang perempuan. Sebelas judul di antara 70 judul puisi dalam buku ini menceritakan perempuan atau menjadikan perempuan sebagai objek. Sebelas puisi tersebut, yaitu 1) Amsal: Hawa, 2) Berayah ke Riau Beribu ke Minangkabau, 3) Epitaf Bukit Tui, 4) Gadis-Gadis Kepahiang, 5) Kain Pelikat Ibu, 6) Lubang Ingatan, 7) Mak Kota Kita Masih Itu Juga, 8) Mak, Batu- Batu di Punggung Bukit Itu Berpuisi untuk Kita, 9) Menjadi Perempuan, 10) Rasuna Beri Aku Jawab, dan 11) Tak Pernah Cukup Puisi Kutulis untukmu Ibu.
Interpretasi diri perempuan tersebut dalam karya sastra–termasuk puisi–mencerminkan seberapa jauh pengarang menghormati perempuan dan menempatkan perempuan pada tempat terbaik dalam kehidupan. Kajian mengenai posisi penulis dan bagaimana seseorang ditempatkan dalam subjek tertentu merupakan kajian wacana, terutama analisis wacana kritis yang dipopulerkan oleh Sara Mills. Titik perhatian Sara Mills terutama pada masalah-masalah feminis (Darma, 2009:85; Darma, 154:2014).
Sara Mills mengupas bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik dalam novel, puisi, gambar, foto, ataupun dalam berita. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh Sara Mills disebut wacana perspektif feminis. Perempuan yang ditampilkan dalam perspektif ini adalah perempuan termajinalkan dibandingkan laki-laki, ketidakadilan, penderitaan, dan penggambaran buruk tentang citra perempuan. Sara Mills melihat dengan kritis pola pencitraan atau penggambaran buruk tentang diri perempuan tersebut dalam karya sastra dan dalam pemberitaan.
Model analisis wacana yang dikemukakan Mills merupakan model analisis wacana yang tidak mengabaikan pembaca. Dengan menjelaskan posisi perempuan dalam teks, Mills berusaha menjadi jembatan antara penulis dan pembaca. Model yang dibangun Mills ini mempunyai kelebihan sebagai berikut. Pertama, model semacam ini secara komprehensif melihat teks bukan hanya berhubungan dengan faktor produksi, tetapi juga represi. Kedua, posisi pembaca ditempatkan pada posisi yang penting (Darma, 2014:155).
Mills menekankan kajian wacananya pada bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa ditempatkan dalam teks. Posisi tersebut menentukan posisi teks yang hadir di tengah masyarakat. Posisi-posisi tersebut mengandung muatan ideologis (Eriyanto, 2011:201-202). Contohnya adalah bagaimana wartawan memosisikan perempuan korban perkosaan dalam pemberitaan mencerminkan ideologinya, apakah wartawan tersebut seseorang yang properempuan atau seorang yang berideologi feminis, antifeminis, kapitalis, sosial, dan lainnya. Dalam buku puisi Kesaksian Sepasang Sendal, kita dapat melihat seperti apa pengarang atau penulis mencitrakan diri perempuan, apakah perempuan dicitrakan dalam posisi marjinal, menderita, digambarkan buruk, atau malah sebaliknya. Mari kita lihak kutipan larik berikut.
Kefanaan menjadi ampas di cangkir kopimu
Berpinak, ceruk segala muasal berasal
Adam belum mengenal nama-nama
Tapi kerinduan itu berkecambah di tulang sulbinya
Kau tumbuh di ranum buah khuldi dan muara
Menampung hati yang hanyut dari sungai-sungai.
Amsal: Hawa (Subhan, 2020:3)
Larik di atas mencerminkan bagaimana sosok perempuan diinterpretasikan. Sosok perempuan tersebut adalah Hawa, ibu dari semua umat manusia. Hawa disebutkan telah membuat Adam tenggelam dalam perasaan rindu padahal ia saja belum mengenal nama-nama yang lain di sekitarnya. Kisah rindu Adam kepada Hawa mencerminkan bagaimana perempuan diagungkan dalam sejarah awal penciptaan manusia. Perempuan diciptakan untuk melengkapi penciptaan Adam. kehadirannya menjadi obat penawar rasa rindu Adam. Artinya, perempuan digambarkan baik, tinggi, berharga, dan mulia. Meskipun teks tentang Adam Hawa merupakan teks yang ada dalam kitab Alquran dan kita agama lainnya, penulis telah memilih wacana ini dan merekonstruksinya menjadi larik puisi untuk menggambarkan diri perempuan.
Gerakan pembebasan perempuan yang populer dengan sebutan feminis seyogyanya berupaya meninggikan derajat dan harga diri perempuan yang sudah ada sejak awal. Hal itu termaktub dalam hampir semua kitab-kitab agama yang berisi firman Tuhan. Namun, gerakan ini juga belum memiliki standar yang jelas soal konsep kesetaraan perempuan dan laki-laki. Tidak jarang gerakan ini juga dimaknai sebagai opisisi atau bentuk perlawanan terhadap laki-laki.
Sementara itu, perempuan dalam larik puisi di atas merupakan antitesis terhadap wacana feminis yang selama ini disuarakan oleh kaum feminis. Perempuan dalam larik puisi di atas justru menjadi sosok yang dirindukan dan sumber kekuatan yang mengobati kehampaan hati laki-laki Ia sosok yang dirindukan dan dibutuhkan oleh laki-laki. Adam merasa hampa tanpa Hawa. Begitupun sebaliknya. Hawa tidak lengkap dan tidak sempurna tanpa Adam. Relasi hubungan yang tercipta merupakan hubungan horizontal dan bukan vertikal atau bukan satu membawahi yang lain, melainkan keduanya saling mendukung untuk kehidupan. Dengan kata lain, puisi di atas merupakan antitesis terhadap tesis perempuan selalu tertindas, menderita, dan termarjinalkan. Antitesis ini juga tercermin dari larik-larik puisi yang lain dalam buku Kesaksian Sepasang Sendal.
Gadis-gadis kepahiang
Membayang-bayang elok parasnya,
Dan kau dimabuk kepayang-dihanyutkan rindu
Agar datang lagi ke pelukan gigil kampung itu
Gadis-Gadis Kepahiang (Subhan, 2020:22)
Ibu menunggu di punggung pintu, menunggu waktu
Membawa tubuhmu, tubuhku, sebelum matanya
terpejam menanak rindu yang kejam
Kain Pelikat Ibu (Subhan, 2020:30)
Kau melihat gadis-gadis remaja menjadi dewasa sebelum waktunya
Katamu, kecantikan harus memucuk dari dalam
—-bukan kepura-puraan apalagi polesan
Menjadi Perempuan (Subhan, 2020:48).
Dari kutipan larik puisi-puisi di atas, perempuan menjadi objek rindu dan tempat mengadu dari luka batin yang ada pada diri laki-laki. Selain itu, dalam puisi-puisi berikut terlihat bagaimana lelaki menumpangkan dan mengadukan kesedihan paling dalam pada perempuan, apakah itu saudara perempuan, kekasih, ataupun ibu.
Air mata itu tumpah, Rasuna
merobek-robek malam
Ketika zikir dan ayat berkumandang;
di surau, di masjid, sementara di panggung-panggung
Politik orang-orang mengasah pisau di bibirnya
Merajut dendam
Hujat dan cela
Nafsu dan kuasa
Bersimaharajalela
Rasuna, kita ingat Aceh yang dibakar api sengketa
Sebelum gempa dan tsunami
Meluluhlantakkan kepongahannya
Kita kenang riwayat paderi dan kompeni
Sebelum bumi berguncang merobek padang panjang
Di tahun-tahun mencekam 1926
Rasuna, Beri Aku Jawab (Subhan, 2020:59)
Tak pernah cukup puisi kutulis untukmu, ibu
Seluas samudera, seluas itu pula kata
Yang memintal perasaanku padamu;
—aku budak penuh dalam dosa
Maafkan aku ibu, jika aku masih rumput
Belum cukup kukuh bertahan diamuk angin sakal
Tapi kepadamu aku tak berhenti berakal
Sebab kau ibu, adalah lebuh ke pintu surga
Tak Pernah Cukup Puisi Kutulis untukmu, Ibu (Subhan, 2020:74)
Pada dua puisi terakhir di atas, perempuan digambarkan sebagai sosok yang dijadikan tempat mengadukan segala keresahan terkait kesombongan dan kelemahan manusia. Dalam kedua puisi ini, jelas terlihat bahwa peran perempuan mampu menjadi sumber kekuatan bagi laki-laki.
Jadi, citra perempuan dalam buku kumpulan puisi Kesaksian Sepasang Sendal karya Muhammad Subhan merupakan antitesis dari wacana feminis yang memperjuangkan perempuan menderita, perempuan dengan citra buruk, dan perempuan termarjinalkan. Puisi-puisi dalam Kesaksian Sepasang Sendal justru memberikan gambaran sebaliknya. Apakah ini karena penulisnya adalah seorang yang sudah postfeminis atau karena pengaruh faktor sosial budaya dan agama yang dianut penulis sebagai laki-laki Minangkabau yang memahami dengan baik sistem matrilineal dan menempatkan perempuan pada tempat yang baik serta terhormat ataukah karena pengaruh agama Islam dan ajarannya yang dianut oleh penulis, ataukah karena gerakan feminis yang semakin masif abad ini sehingga mempengaruhi pengarang laki-laki untuk menulis dengan baik tentang perempuan. Wallau a’lam bishawab.
Discussion about this post