Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Beberapa hari ini saya mendapat kesempatan mengikuti tim DREAMSEA dalam kegiatan penyelamatan dan pendigitalisasian manuskripsi di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan. DREAMSEA (Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia) merupakan program yang dikelola oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah bekerja sama dengan Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC), University of Hamburg atas dukungan dari Arcadia Fund, lembaga filantropi yang mendukung pelestarian warisan budaya, lingkungan, dan peradaban dunia. Hal itu menjadi kesempatan berharga bagi saya, terutama dalam menambah wawasan dan pengalaman dalam hal konservasi dan digitalisasi manuskrip.
Kegiatan itu kami lakukan di Nagari Lunang bertempat di Rumah Gadang Mande Rubiah. Bagi saya ini kali pertamanya berkunjung ke salah satu situs cagar budaya yang ada di wilayah Pesisir Selatan tersebut. Selama ini saya hanya mengetahui informasi mengenai Rumah Gadang Mande Rubiah hanya melalui penelusuran google atau media sosial. Kehadiran tim juga disambut ramah oleh keluarga Mande Rubiah. Kami dipersilakan untuk menaiki Rumah Gadang dan diberikan kesempatan untuk bercerita langsung dengan Mande.
Pada kesempatan itu, kami juga dipersilakan untuk melihat koleksi dari Rumah Gadang Mande Rubiah, terutama yang terdapat di ruang utama Rumah Gadang. Beberapa koleksi yang terpanjang berupa koleksi pisau, pakaian, tanduk kerbau, manuskrip, dan lain sebagainya. Saya sungguh takjub dengan benda-benda koleksi dari Rumah Gadang tersebut, dan beberapa di antaranya bahkan sudah berumur ratusan tahun.
Tim bekerja dengan penuh kehati-hatian dalam melakukan proses pembersihan hingga pendigitalisasian manuskrip. Hal itu dilakukan karena sebagian dari manuskrip yang menjadi koleksi Rumah Gadang Mande Rubiah dalam keadaan mengkhawatirkan, seperti rusak akibat alam dan korosi tinta. Beberapa manuskrip juga ada yang terpisah-pisah penyusunannya, beberapa teks bertukar letak dengan teks manuskrip lainnya. Selain itu, saya juga takjub dengan ragam hias yang terdapat dalam beberapa manuskrip tersebut.
Setidaknya ada dua pelajaran penting dan menarik bagi saya dari pengalaman kegiatan dan perjalanan itu. Selama menumpuh pendidikan magister saya sudah mulai tertarik dengan buku-buku terbitan lama yang beberapa di antaranya dikumpulkan, baik yang diterima dalam keadaan utuh maupun rusak atau beberapa lembar halaman hilang. Ketertarikan itu sebenarnya bagian dari kajian tesis saya yang berkaitan dengan buku-buku kaba dari penerbit-penerbit yang ada di Sumatera Barat.
Pertama, kita harus merawat dan menjaga buku dengan baik. Maksud saya adalah menjaga agar buku yang kita miliki tidak mengalami kerusakan akibat kelalaian si pemilik. Sebagai salah satu sumber informasi, mungkin juga sebagai bahan bacaan utama dalam memperoleh bahan kajian tidak ada salahnya kita menempatkan buku pada tempat yang layak. Setidaknya mencari tempat agar buku tidak mengalami kerusakan yang disebabkan oleh kelembapan suhu. Bagi saya adalah sebuah kerugian jika buku koleksi yang dimiliki mengalami kerusakan, dan apesnya lagi jika buku itu langka dan susah mencari cetakan lainnya.
Kedua, saya mulai sadar bahwa perlu untuk menyelesaikan bacaan kita dari setiap buku yang dikoleksi. Kebiasaan saya selama ini adalah lebih senang untuk membeli atau meminjam buku yang terkadang jarang untuk diselesaikan membacanya, bahkan beberapa di antaranya masih tersimpan di rak buku dengan sampul plastik yang masih terpasang. Prinsipnya selagi dana masih ada dan mencukupi beli dulu saja, persoalan membaca kemudian. Padahal, kita tidak akan mengetahui informasi penting dan berharga tanpa membaca isi buku tersebut. Sudah berapa buku yang kita selesaikan membacanya hari ini?
Discussion about this post