Adam dan Hawa
KITA tumbuh menjadi sepasang kekasih yang didera kesibukan untuk mengukur bangunan tubuh masing-masing, saling menilai seberapa besar akal budi mengembang dalam pikiran.
Kau dan aku saling mencintai dengan kuat, tak ada celah untuk menarik egangan, kau mengisi aku, aku pun mengisi engkau. Ruang antara kita hanya sepersekian milimeter, tak ada peluang orang lain berlaku mengantarai kita.
Sepasang kekasih yang saling berlomba mencengkeramkan cinta dengan cara paling purba yang diingat asam deoksribonukleat
Di persinggahan paling riuh, sebuah kota dengan susunan geometrik, semua yang terlihat mengabadikan pergumulan tak berujung, pembangkangan yang terkutuk.
Tumpukan bangunan geometris itu telah meramu kita untuk menghapal setiap percakapan kaku yang semakin basi. Yang menjadi alat tak sengaja bagi kita
untuk saling meremukkan tulang diri masing-masing.
Kita sepasang senyawa kimia yang mereduksi dalam gelas ukur, saling menghabisi sisa usia tetes demi tetes. Ya, kekasihku.
Dalam babak penghabisan, dibatas paling toleransi percintaan kita, bentuk baru akan lahir. Ia akan tumbuh membangun ruang geometris baru untuk bercinta. Percakapan akan kembali menemu bentuknya. Ia merayu, mengajak berlabuh. Sebuah samudera menanti dengan kapal yang bertolak meninggalkan segala hitungan. Aku dan engkau, juga kota kita, tidak akan pernah diingat lagi. Segalanya didesak menjadi debu semesta yang terbang berserakan dalam sejarah apa yang kemudian disebut sebagai mitos. Ketika itu, aku dan engkau mereka sebut dengan nenek moyang manusia.
Simpang Empat, 10 September 2021
Di Panggung Waktu
Aku dan kau tidak akan menua bersama. Tetapi di atas panggung ini, pertunjukan hidup akan terus kita berdua mainkan dengan saksama. Memanglah kita sepasang kekasih yang payah. Tiada tema lain yang kita miliki selain cinta belaka.
Jika mencintaimu merupakan alasan paling masuk akal untuk kehidupan bahagia maka demikian terus kulakukan hingga usiaku kelak menghabisi segala ingatanku padamu.
Sebab itulah terus menerus kubacakan untukmu segala pengetahuanku. Kuatkan ingatanmu, jika nanti aku telah lupa akan engkau, carilah ingatanku dalam kata yang kuucapkan dan kaudengar itu. Ketika itu, kau telah bermain sendirian, sunyi dan mungkin dibosankan oleh usiamu yang menua. Kau tak akan dapat menolak sekiranya di atas panggung ini jugalah kau menghabisi kenangan itu seperti rapuhnya sehelai kertas yang dicelupkan berulang ulang di sungai deras.
Dengan saling melupakan itu, kita sepasang kekasih ini, tidak perlu tahu kemudian, pada adegan ke berapa layar akan digulung dan lampu dihidupkan, atau seperti apa keseluruhan cerita ditamatkan lalu siapa yang mendapatkan tepuk tangan penonton.
Kita mungkin telah menjadi dua titik kecil yang berkedap kedip menanti skenario pertunjukan berikutnya.
Simpang Empat, 19 September 2021
Aku Mendengar Bunyi Jantungmu
merapatlah ke sini sayangku, ke sebelah kanan diriku
sudah lepas sujud lima waktu terakhir dan doa usai tahlil tahmid mari kita laungkan kepada Allah.
walau ini doa yang sama, yang kita ulang sejak dulu kala, wirid akan terus menjadi senjata, bukan untuk membunuh tetapi untuk dipeluk oleh semesta.
kita tentu bersyukur, dalam ini jalan kehidupan, di riak dan buih di atas samudera, ada juga dapat kita kais segenap rahasia rezeki beserta kalang nasib yang meniti tajamnya guratan takdir. ada juga noktah kasih sayang yang terhampar rimbun di bawah terik dan hujan percintaan kita.
mari sayangku, angkat kedua tanganmu, bersamaku, degup jantungku telah api dinyala gairah amat masyuk oleh bayangan ilahi. bukankah demikian ketika ruang dan waktu berdempetan hingga doa berterima dan jadi makbul? aku mendengar bunyi jantungmu, sayangku, seperti ucapan baik dari tasbih gunung-gunung, lembah, sungai dan lautan. nyanyian bahagia dan takjub burung-burung, lebah, semut dan binatang savana.
O, Allah. O, Allah
walau hidup kadang membuat kami tercekat lapar dan haus
Kau selalu dekat daripada diri kami sendiri
memenuhi kami dengan berkah pengharapan
menyuburkan cinta yang melimpah ruah, menyanyikan himne kasih sayang, mengalun di tiap tarikan napas, di urat dan nadi.
di sepanjang garis waktu.
marilah ke sini, sayangku. masuklah ke dalam diriku.
Simpang Empat, 15 Oktober 2021
Biodata Penulis:
Denni Meilizon, lahir di Silaping Pasaman Barat, 6 Mei 1983. Buku puisi terbarunya Hidangan Pembuka (Erka Publishing, 2021). Tinggal di Simpang Empat, Pasaman Barat.
Mengenal Diri dengan Puisi
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Tiada tema lain yang kita miliki selain cinta belaka
Muhammad Iqbal dalam Hadi (2020) mengatakan puisi mampu mengobarkan hati pembaca dengan cepat karena puisi bertalian langsung dengan perasaan dan perasaan senantiasa mendahui pikiran. Puisi sejati mampu membimbing pembacanya menuju kebenaran yang lebih tinggi dari kebenaran yang dikenalnya sehari-hari. Puisi yang baik mampu membawa pembacanya mengenal cita-cita yang tinggi, serta mampu meyakinkan pembacanya akan luhurnya cita-cita itu sehingga memiliki keinginan untuk mewujudkannya.
Bagi Iqbal, menulis puisi tidak semata-mata untuk mencapai keindahan ataupun untuk menghibur, tetapi untuk mengajarkan kebenaran, yaitu kehendak dan maksud Tuhan yang bersembunyi di dalam diri manusia. Pendapat Iqbal ini menegaskan bahwa karya seni sastra tidak cukup mengejar fungsi dulce et utile, menyajikan keindahan, dan memberikan manfaat, tetapi lebih daripada itu ada sesuatu yang penting dan mendasar, yakni keagungan yang mendekatkan pada kebenaran sejati. Iqbal menyatakan bahwa puisi adalah perwujudan kehidupan dan perwujudan diri. Manusia perlu mengenal dirinya terlebih dahulu untuk dapat mewujudkan diri yang kukuh. Setelah dia mengenali dirinya, dia akan mengenali Tuhannya sebagai sumber kehidupan di dunia ini.
Sebagai perwujudan kehidupan dan pembentuk harapan, puisi mesti mampu membangkitkan kekuatan dan mematangkan harapan dalam jiwa pembacanya. Puisi harus mampu mendorong pembacanya untuk mencintai cita-cita yang baik, luhur, dan tinggi. Seni merupakan pelayanan bagi kehidupan dan kepribadian. Puisi yang baik dinilai dari kekebaikan dan kebenaran yang disampaikannya. Kebaikan tersebut mampu memperkuat, mengembangkan, dan menyempurnakan kepribadian.
Pekan ini, Kreatika memuat tiga puisi karya Denni Meilizon, seorang aparatur pemerintahan di Kabupaten Pasaman Barat yang mencintai dunia kesenian. Puisi-puisi Denni yang mengisi Kreatika kali ini berjudul “Adam dan Hawa”, “Di Panggung Waktu”, dan “Aku Mendengar Bunyi Jantungmu”. Denni Meilizon bukanlah penulis baru. Penggerak Forum Literasi Pasaman ini telah menerbit sejumlah buku seperti Lelaki Rambut Bawang, Hidangan Pembuka, dan Rembang Dendang.
Puisi-puisi Denni bergaya prosaik dengan kalimat-kalimat panjang membangun cerita yang liris. “Adam dan Hawa”, misalnya begitu intens mengurai sejarah nenek-moyang umat manusia. Sebagaimana yang diketahui dari riwayat penciptaan umat manusia, Adam diciptakan dari tanah yang ditiupkan ruh oleh Tuhan. Kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakan manusia kedua, seorang perempuan bernama Hawa untuk melengkapi kehidupan Adam. Berawal dari hasrat yang membuncahkan perasaan sepi di hati Adam sehingga Tuhan mengobati kekosongan itu dengan menciptakan pasangannya. Namun, hasrat itu seperti air laut yang dipakai untuk menawar dahaga, yang terjadi justru semakin diminum semakin bertambah menyesakkan dahaga tersebut. Dorongan dan godaan membuat Adam dan Hawa melakukan perbuatan yang dilarang. Perbuatan tersebut menjadi cikal bakal dosa pada generasi-generasi berikutnya. Pelanggaran atas hal-hal yang tidak boleh dilakukan.
Kisah Adam dan Hawa telah sering diulang-ulang dengan berbagai variasi motif dan jalan cerita, tapi tak lepas sepenuhnya dari terma ‘cinta’ anak manusia yang memiliki hawa nafsu dan sesuatu yang tidak dimiliki para malaikat yang taat. Denni menulis lagi: ‘Dalam babak penghabisan, dibatas paling toleransi percintaan kita, bentuk baru akan lahir. Ia akan tumbuh membangun ruang geometris baru untuk bercinta. Percakapan akan kembali menemu bentuknya. Ia merayu, mengajak berlabuh. Sebuah samudera menanti dengan kapal yang bertolak meninggalkan segala hitungan. Aku dan engkau, juga kota kita, tidak akan pernah diingat lagi. Segalanya didesak menjadi debu semesta yang terbang berserakan dalam sejarah apa yang kemudian disebut sebagai mitos. Ketika itu, aku dan engkau mereka sebut dengan nenek moyang manusia.’
Puisi-puisi Denni sarat dengan pembicaraan tentang cinta. Pembaca dari kalangan anak muda tentu akan senang sekali dengan larik-larik seperti ‘Aku dan kau tidak akan menua bersama, tetapi di atas panggung ini pertunjukan hidup akan terus kita berdua mainkan dengan seksama. Memanglah kita sepasang kekasih yang payah. Tiada tema lain yang kita miliki selain cinta belaka. /Jika mencintaimu merupakan alasan paling masuk akal untuk kehidupan bahagia maka demikian terus kulakukan hingga usiaku kelak menghabisi segala ingatanku padamu.’ Betapa romantisnya penyair ini! Kata-katanya membuai-buai perasaan pembaca. Asyik-masyuk dalam imajinasi cinta yang penuh keindahan sekaligus kegalauan.
Larik-larik puisi Denni seperti bisikan lembut yang merayu kekasih untuk mendengarkan dan menerima setiap maksud si ‘aku’ lirik. Ada yang berbelit dalam bunga kata yang mendayu-dayu sehingga mengaburkan pesan yang hendak disampaikan. Namun, bisa juga dipandang sebagai cara bersenang-senang dengan memainkan hantaran berliku-liku karena sudah lazim dalam tradisi bertutur masyarakat Sumatera sahut berjawab kata sambutan saling berbalas memakan durasi lama sebelum sampai pada maksud yang sesungguhnya. Pandai membungkus dan menyusun kata.
Merujuk pada gagasan Iqbal di pengantar tulisan ini, sebuah karya sastra sejatinya ditulis sebagai upaya pengarang untuk lebih mengenali diri dan kehidupannya. Karya tersebut nantinya dapat dijadikan sarana refleksi bagi pembaca untuk menyelami kehidupan, menggali lagi harapan dan cita-cita terpendamnya, untuk kemudian mewujudkan. Sekecil dan sesederhana apapun harapan itu, perlu disimak untuk diberi ruang. Pada puisi ketiga Denni melanjutkan: ‘aku mendengar bunyi jantungmu, sayangku, seperti ucapan baik dari tasbih gunung-gunung, lembah, sungai dan lautan. nyanyian bahagia dan takjub burung-burung, lebah, semut dan binatang savanna’. Hasrat, cinta, dan segala keinginan perlu dikenali untuk kemudian dipilah dan dipilih mana yang akan dikejar untuk mendekatkan diri pada pencipta.
Iqbal, sang pemikir dan penyair profetik menulis: “Kekuatan rohani suatu masyarakat secara luas tergantung pada jenis ilham yang diterima oleh penyair dan senimannya. Ilham bukan masalah pilihan semata-mata. Ilham adalah karunia Tuhan, ia datang kepada seseorang tanpa diminta.” Pribadi manusia memiliki kemungkinan-kemungkinan tak terbatas apabila gerak maju dan meningginya (kedekatan pada Tuhan) dipelihara dengan baik. Hubungan langsung dengan Tuhan secara intens dengan mempertajam persepsi dan daya intuisi intelektual, penyair akan mampu meningkatkan mutu ilham yang akan diperolehnya yang kemudian berpengaruh pada mutu karya yang ditulisnya.
Wujudku adalah pahatan terbengkalai
Kasar, tanpa bentuk dan belum muncul mutunya
Cinta lalu menghaluskannya: Aku pun menjelma manusia
Dan kuperoleh hikmah dari fitrah alam semesta.
Puisi adalah cermin tempat kita berkaca. []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post