Cerpen: Armini Arbain
‘Kringgg, kringgg, suara telepon berdering nyaring di ruang tengah. Dari kamar kudengar Wirna, istriku mengangkatnya dan aku bisa menebak bahwa yang menelepon adalah Linda, putri bungsu kami yang sedang hamil tua. Sejak menikah, tiga tahun yang lalu Linda tinggal di Medan dengan suaminya yang bekerja di PLN. Sayup kudengar pembicaraan mereka. Linda minta istriku untuk ke Medan menjelang ia melahirkan.
Benar saja. Setelah Wirna menutup telepon, ia menghampiriku dan mengatakan kalau Linda minta kami datang ke Medan minggu ini karena menurut dokter kandungannya usia kehamilan Linda sudah lebih sembilan bulan atau menunggu hari. Sebenarnya aku juga ingin pergi bersama istriku ke Medan seperti yang diinginkan Linda namun karena tukang baru saja bekerja memperbaiki dapur dan ruang belakang, aku merelakan istriku pergi sendirian ke Medan. Untuk soal makan dan bersih-bersih, ada putri sulungku, Nina, yang tinggal satu komplek dengan kami yang bisa membatu. Kalau malam aku, bisa mengajak cucu pertamaku yang berusia tujuh tahun. Idris cucu sulungku yang lincah dan suka bicara.
Setelah mengantar Wirna ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM), aku mampir untuk membeli sejumlah bahan bangunan yang diperlukan oleh tukang. Aku mampir di toko bangunan di By Pass. Baru kali ini, aku mampir di toko bangunan ini karena biasanya aku belanja bahan bangunan dekat rumah di komplek perumahanku. Aku pun mampir dan melihat sejumlah bahan bangunan yang aku butuhkan. Seperti biasa toko bangunan juga bersedia mengantar pesanan ke alamat pembeli.
Saking asyiknya melihat keramik yang disodorkan pegawai toko dan mencari keramik yang kuinginkan, aku tidak mengetahui kalau seseorang di meja kasir memperhatikanku. Namun, ketika aku mencari meja kasir, kulihat seorang perempuan memperhatikanku, ia menatapku sambil mengernyitkan dahinya. Aku bingung melihat ia memperhatikanku. Sambil berpikir aku mencari keramik yang kuinginkan. Setelah memesan berbagai perlengkapan bangunan aku langsung ke kasir, ke tempat wanita setengah baya yang memperhatikan aku tadi.
Aku agak rikuh namun juga sedikit GR karena wanita separuh baya namun masih cantik dengan balutan jilbabnya yang merah bata itu menatapku dan kemudian menyapaku dengan ramah.
“Sudah menemukan barang yang dicari Pak?” tanyanya dengan senyum yang menawan. Senyum itu mengingatkanku pada seseorang, tapi entah siapa, aku penasaran. Rasa penasaran itulah yang membuat aku menatapnya lekat-lekat dan kemudian mengangguk. Masih dalam mengali ingatan tentang wanita itu, aku menyebutkan barang-barang yang kubeli. Setelah menulis barang dan harga, ia bertanya padaku.
“Lupa ya sama aku, masak sama teman sepermainan lupa? Dengan refleks, aku mengangguk. Aku mencoba mengingatnya. Namun, masih saja tak bisa kuingat siapa dia sehingga aku berkata.
“Maaf, aku memang agak lupa. Kita kenal di mana ya? Kataku sambil memperhatikannya.
“Wah, ingatanmu payah, begitu cepat melupakan aku, apa aku terlihat begitu tua? Aku Mimi, Mimi Suharti. Teman SMP-mu”. Mendengar nama Mimi Suharti aku langsung ingat gadis manis teman SMP-ku. Tanpa kusadari, aku memegang tangannya seraya berkata dengan gembira.
“Ah, kau Mimi, tadi melihat senyummu aku ingat seseorang, tapi lupa di mana aku mengenalnya. Maaf aku sampai lupa maklum kita tidak berjumpa sejak perpisahan di SMP dulu, sudah lebih empat puluh lima tahun kita tidak bersua. Kau masih terlihat muda maka aku lupa. He he”.
“Wah hebat, kau bos toko ini ya?”
“Ah, kau bisa saja. Aku hanya orang gajian di sini, bukan bos. Bagaimana kabarmu?” Berapa orang anak dan cucumu? Tentunya sekarang kau sudah pensiun ya?”
“Aku sudah pensiun dan punya tiga orang anak. Cucu sudah empat dan sebentar lagi jadi lima orang karena anak bungsuku akan melahirkan anak keduanya. Kalau kau berapa berapa orang anak dan cucumu? “
“He he aku masih muda belum punya cucu. Anakku tiga orang. Semua laki-laki. Toko ini milik putra sulungku. Ia sudah menikah beberapa tahun namun belum dikaruniai anak”.
Tak lama kami mengobrol karena aku harus pulang. Tukang pasti sudah menungguku dan aku pamit pada Mimi. Kami berpisah dan tentu kami tidak lupa untuk saling memberi nomor handphone.
Seminggu sudah Wirna pergi dan Linda juga sudah melahirkan seorang anak perempuan. Namun, karena jabang bayi agak besar, Linda melahirkan dengan operasi caesar. Akibatnya, setelah melahirkan kondisi kesehatannya tidak begitu baik sehingga Wirna belum bisa kembali ke Padang. Dengan sangat Linda minta mamanya untuk menungguinya agak beberapa hari. Bahkan, Linda menawarkan kepadaku untuk ke Medan karena ia merasa bersalah menahan mamanya terlalu lama di Medan. Aku memahami kondisi Linda sehingga mengikhlaskan Wirna untuk menemani Linda dalam beberapa hari lagi walaupun sebenarnya aku sangat ingin Wirna segera pulang. Sepanjang perkawinan kami, belum pernah kami berpisah yang lebih dari seminggu sehingga aku sangat merindukan istriku.
Setelah dua puluh hari Wirna pergi, rasa sepiku mulai menyeruak. Jika siang, aku bisa membantu tukang bekerja dan terkadang bermain dengan cucuku sehingga rasa sepi itu bisa kuabaikan. Namun, bila malam datang rasa sepi mulai mengigit. Aku coba menonton TV namun rasa rindu dan sepi itu tak bisa kuatasi. Rasanya waktu berjalan lambat. Mataku tidak bisa kupejam. Sunyi kian menggigit.
Hampir sebulan Wirna pergi. Aku benar-benar kesepian. Pagi ini aku duduk sendiri. Seperti biasa, tukang tidak bekerja dan anak cucuku juga tidak datang hari ini karena mereka keluar kota. Untuk mengisi sepi, aku iseng-iseng membuka HP. Aku ingat Mimi. Aku coba menghubunginya, apa dia sibuk. Ia merespon dengan baik. Karena hari minggu, ia juga tidak bekerja sehingga kami bisa ngobrol cukup lama. Tanpa kusadari, aku menceritakan bahwa ketika SMP sebetulnya aku jatuh hati padanya. Namun, waktu itu aku tidak berani mengungkapkannya. Menyambut ceritaku itu dia juga menceritakan kalau sebenarnya ia jatuh hati padaku. Ah, mengenang itu kami berdua tertawa ngakak. Setelah ngobrol dengan Mimi, sepiku mulai hilang. Aku berjanji akan datang ke rumahnya jika Wirna sudah pulang.
Aku jadi tersenyum mengenang masa SMP-ku. Masa remaja yang mulai jatuh hati pada lawan jenis. Namun, karena masih culun, aku tidak berani mengutarakan isi hatiku. Tanpa kusadari sejak ngobrol dengan Mimi, rasa sepiku kian cair. Terasa hidupku segar.
Lebih sebulan, Wirna di Medan. Kini, ia sudah kembali. Seperti biasa kami hidup dengan damai. Janjiku untuk datang ke rumah Mimi dengan istriku aku penuhi. Kami datang berkunjung dan bersiaturahmi ke rumah Mimi. Mimi tinggal di belakang toko itu bersama anak dan menantunya. Toko yang dikelola anak sulungnya itu adalah peninggalan suaminya yang meninggal lima tahun yang lalu. Sejak suaminya meninggal, untuk mengusir rasa sepinya, ia menyibukkan diri menjadi kasir sehingga secara finansial ia tetap memperoleh penghasilan tetap dari toko itu.
***
Tiga bulan setelah melahirkan kondisi Linda masih belum stabil dan bayi kecilnya harusnya dirawat. Linda kembali meminta kami datang ke Medan. Kali ini, aku ikut ke Medan di samping mau melihat cucu kelima. Aku juga tidak ingin ditinggal istriku sendirian. Dua minggu kami di Medan. Aku ditelepon oleh teman sesama pensiunan guru yang mengatakan aku harus mengurus berkas-berkas pensiunanku ke kantor Taspen. Aku terpaksa pulang sendirian karena Linda belum bisa ditinggal.
Seperti biasa, dua minggu aku hidup sendirian, rasa sepi mulai menyelimuti hatiku. Aku ingat Mimi dan aku meneleponnya. Kehadiran Mimi mulai menghangatkan perasaanku. Entah perasaan apa yang menyelimuti hatiku. Rasa rindu pada Mimi mulai tumbuh. Hal yang sama ternyata juga dirasakan Mimi. Tanpa kami sadari, kami sering bertemu. Pertemuan demi pertemuan membuat kami bahagia. Aku yang kesepian dan Mimi yang juga sendirian membuat kami saling membutuhkan. Akhirnya, kami sepakat untuk menikah dan Mimi siap untuk menjadi istri kedua.
Semula Mimi dan anak-anaknya merasa tidak enak hati untuk masuk ke dalam keluargaku namun karena aku yakinkan bahwa Wirna dan anak-anakku menyetujui perkawinan itu mereka pun menyetujui perkawinan kami (aku terpaksa berbohong sejatinya aku tidak pernah memberitahu Wirna dan ketiga anakku untuk menikahi Mimi).
Saat akan akad nikah baru kuberitahu putri sulungku. Tentunya, Nina sangat kaget dan marah. Nina segera menelepon kedua adiknya. Semua anakku marah dan melarangku untuk menikah. Mereka mengatakan kalau aku telah mengkhianati mamanya. Aku dipaksa anakku untuk menelfon mamanya. Saat aku menelepon Wirna, hanya tangis Wirna yang kudengar. Ketika aku minta maaf, Wirna hanya mengatakan “tega sekali papa mengkhinati perkawianan kita.” Aku tercekat juga mendengarnya namun aku tidak bisa membatalkan perkawinan ini karena aku merasa sangat mencintai Mimi. Aku amat bahagia dengan pernikahan ini. Aku tinggal bersama Mimi di rumah pembelian suaminya.
Sebulan setelah menikah baru aku merasakan kalau putra sulung Mimi tidak senang melihat aku memakai mobil pembelian ayah kandungnya. Entah perasaanku yang mungkin terlalu perasa dan aku merasa putra sulung Mimi merasa tidak nyaman dengan kehadiranku di rumah itu. Suatu hari, dengan bercanda, ia mengatakan kalau sebaiknya aku membelikan mobil untuk ibunya. Aku kaget namun aku hanya tersenyum kecut dan mereka-reka kemana arah pembicaraan anak tiriku itu.
Setelah peristiwa itu, aku berniat mengambil mobilku sendiri ke rumahku sehingga aku pamit ke Mimi untuk pulang ke rumahku. Sampai di rumah, aku kaget, ternyata di rumah sudah ada Wirna dan putri sulungku. Sejak aku menikahi Mimi, Wirna dan anak-anakku tidak pernah mau kutelepon sehingga aku tidak mengetahui kalau Wirna sudah berada di Padang. Melihat aku datang, mereka diam saja dan Wirna pun masuk kamar serta mengunci pintu kamar dari dalam. Ketika kusapa Nina, ia juga menghindar. Melihat hal itu, perasaan bersalah mulai muncul di hatiku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pulang ke rumah Mimi dengan membawa mobilku sendiri.
Beberapa hari setelah mobil kubawa, datang Adam, putraku. Ia meminjam mobil untuk keluar kota. Adam beralasan mobilnya sedang di bengkel. Seminggu lamanya mobil tidak dikembalikan Adam padaku sehingga aku menelepon Adam untuk menanyakan mobil itu. Jawaban Adam sungguh menohokku. Dengan santai, ia mengatakan bahwa mobil itu dibeli dengan uang papa dan mama. Jadi, papa tidak berhak membawa mobil itu ke rumah istri papa yang baru. Aku benar-benar tersudut dengan jawaban Adam.
Enam bulan setelah menikahi Mimi, perasaanku kian tidak nyaman. Jika malam aku tidur di samping Mimi, mulai timbul rasa rendah diri. Karena putra sulung Mimi sering menceritakan kalau semua benda dan perabot mewah yang ada di rumah itu adalah pembelian papa kandungnya. Ia selalu membanggakan keberhasilan ayahnya sebagai pengusaha sehingga mereka bisa hidup di rumah mewah itu. Ketika kutatap loteng di atasku terbayang kalau aku tidur di atas milik orang lain. Harga diriku mulai terinjak dan terkoyak. Kini aku ingat semua hasil jerih payahku. Sebagai PNS. Hanya guru SMP dan ditambah dengan gaji Wirna sebagai guru Sekolah Dasar. Tentu saja kehidupan kami sederhana. Dalam kesederhanaan itu, kami hidup bahagia. Bayangan Wirna dan anak-anak kini mulai hadir dalam ingatanku.
Dengan alasan ingin melihat anak pada Mimi, aku pulang ke rumahku. Dari Nina kuketahui bahwa Wirna sedang sakit dan kini terbaring lemah di Rumah Sakit M. Djamil. Adam dan Nina bergantian menjaga mamanya. Aku tercenung dan kemudian bertanya pada Nina, mengapa aku tidak diberitahu kalau mamanya masuk rumah sakit. Jawaban yang kudapat dari Nina sungguh sangat menyakitkan.
“Oh, apa Papa harus diberitahu kalau mama masuk rumah sakit? Untuk apa? Toh papa sedang bersenang-senang dengan istri baru papa. Teman SMP yang mengungkit cinta lama papa, CLBK ni yee”. Papa perlu tahu kalau mama masuk rumah sakit adalah karena ulah papa. Kalau terjadi hal yang buruk pada mama, kami akan membenci papa selamanya”.
Aku kaget. Benar-benar tidak mengira putri sulungku bisa bicara seperti itu. Aku terperangah. Putriku yang selama ini lemah-lembut dan sangat santun bicara, kini terlihat sinis. Rasanya aku ingin marah, tapi aku sadar kalau aku salah. Setelah minta info di ruang berapa Wirna dirawat, aku langsung pergi ke rumah sakit.
Sesampai di rumah sakit, aku lansung mencari Wirna ke di ruang ICU. Aku hanya boleh melihat dari balik kaca. Kulihat ia terbaring lemah disertai tali temali infus dan alat medis lainnya. Dari balik kaca, kutatap Wirna dengan perasaan bersalah. Aku tergugu melihatnya. Kulihat dokter dan suster sedang mengontrol kondisi Wirna. Setelah dokter keluar dari ruangan Wirna, aku mengejarnya dan bertanya kondisi Wirna yang sebenarnya. Semula dokter enggan menjawabnya pertanyaanku. Namun, karena kuberitahu aku adalah suaminya dokter pun mengajakku ke ruangnya. Kemudian, dokter menjelaskan bahwa kondisi Wirna sedang tidak baik-baik saja dan sangat mengkhawatirkan. Ternyata Wirna mengalami pembengkakan hati. Dokter memintaku untuk selalu mendampingi Wirna dan membolehkan aku masuk ke ruang ICU.
Aku bergegas ke ruang ICU. Namun, ketika aku akan masuk ada Adam di samping mamanya. Aku ketok kaca untuk memberi tahu Adam kalau aku ingin masuk, tapi Adam tidak menggubris keinginanku. Aku hanya bisa melihat Wirna dari balik kaca. Saat Adam mengusap keringat Wirna, Wirna terbagun dan tampak sangat lemah. Ketika ia menghadap ke kaca, kulambaikan tanganku padanya. Ia melihatku dan aku angkat kedua tanganku tandanya aku minta maaf. Dengan mata yang sayu ia tatap aku. Tatapan yang lembut namun sangat menusuk hatiku seolah ia berkata “Kau terlalu keji sehingga tega menghancurkan hidupku”. Aku kian merasa bersalah apalagi jika ingat perkataan temanku kalau seorang yang menderita pembengkakan hati itu adalah akibat hatinya sering tersakiti.
Penyesalanku menggunung. Perempuan yang telah mendampingku dengan setia selama tiga puluh lima tahun itu terbaring lemah. Perempuan yang telah memberiku tiga orang anak dan lima orang cucu, kini dalam sekarat. Itu karena ulahku dan keegoisanku. Aku ingin memeluknya dan ingin minta maaf padanya sehingga aku minta Adam keluar. Adam tidak mau meninggalkan mamanya. Ia selalu berbisik di telinga mamanya.
Karena tidak tahan menanggung rasa bersalah, aku menerobos masuk ICU. Saat aku masuk, mata yang menatapku lemah itu sudah mengatup dan Adam meraung memanggil dokter. Dadaku terasa perih dan teriris namun aku tak mampu berbuat apa-apa. Kini perempuan mulia itu telah pergi.
Padang, Oktober 2021
Discussion about this post