Tahukah kamu bahwa kata sedikit, mungkin, dan kebetulan merupakan kosakata bahasa Indonesia yang paling sering digunakan, tetapi termasuk ke dalam pemakaian yang salah kaprah. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (2016) mendefinisikan bahwa salah kaprah adalah kesalahan yang umum sekali sehingga orang tidak merasakan sebagai kesalahan. Kita bisa lihat pada contoh berikut.
1. Saya ingin sedikit bertanya kepada narasumber.
2. Saya mungkin akan menjawab pertanyaan Saudara.
3. Saya kebetulan dari jurusan manajemen dan ingin bertanya kepada narasumber.
Pertama, kata sedikit dalam bahasa Indonesia merupakan adverbia kuantitatif. Dalam Tata Baku Bahasa Indonesia (2017: 239), dijelaskan bahwa adverbia kuantitatif merupakan adverbia yang menyatakan makna yang berhubungan dengan jumlah, misalnya Penghasilannya sekarang sedikit berkurang jika dibandingkan dengan sebelumnya. Penggunaan kata sedikit pada kalimat tersebut memang tepat karena berkaitan dengan jumlah.
Sementara itu, kata sedikit pada kalimat (1) yang berupa Saya ingin sedikit bertanya kepada narasumber tidak digunakan untuk menunjukkan jumlah. Kata sedikit justru mengikuti bentuk bertanya yang merupakan unsur predikat yang berupa kata kerja. Dalam bahasa Indonesia, unsur predikat berupa kata kerja dapat diikuti oleh adverbia modalitas, seperti ingin, mau, atau akan. Dalam kalimat (1) tersebut, sudah ada kata ingin yang juga merupakan adverbia sehingga tampak bahwa kehadiran adverbia sedikit menyebabkan penggunaan adverbia menjadi berlebihan (mubazir).
Di antara dua pilihan adverbia tersebut, antara adverbia ingin atau adverbia sedikit, yang tepat dilekatkan pada kata bertanya ialah adverbia ingin. Kata ingin memang dilekatkan sebelum kata kerja, seperti ingin makan, ingin belajar, atau ingin menulis. Dengan demikian, rangkaian kalimat yang tepat untuk kalimat (1) ialah sebagai berikut.
(1a) Saya ingin bertanya kepada narasumber.
Penggunaan kata sedikit yang salah kaprah ini sering didengar pada saat diskusi atau seminar ketika seseorang menanggapi pernyataan orang lain. Kata sedikit tidak hanya dilekatkan pada kata bertanya, tetapi juga dilekatkan pada kata berkomentar, menanggapi, menjawab, menambahkan, dan menjelaskan. Bentuk salah kaprah yang digunakan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
(1b) … sedikit berkomentar tentang …
(1c) … sedikit menanggapi …
(1d) … sedikit menjawab …
(1e) … sedikit menambahkan …
(1f) … sedikit menjelaskan …
Adverbia yang tepat sebelum kata-kata tersebut bukanlah adverbia sedikit karena tidak ada ukuran jumlah yang dipakai untuk kalimat yang menandakan komentar, tanggapan, jawaban, dan tambahan penjelasan. Adverbia yang tepat digunakan ialah adverbia yang menunjukkan modalitas, seperti ingin, akan, atau mau sehingga penggunaan yang tepat dapat dilihat sebagai berikut.
(1b) … ingin berkomentar tentang …
(1c) … akan menanggapi …
(1d) … mau menjawab …
(1e) … ingin menambahkan …
(1f) … akan menjelaskan …
Selanjutnya, penggunaan kata mungkin pada kalimat (2) yang berupa Saya mungkin akan menjawab pertanyaan Saudara juga merupakan kalimat yang tidak efektif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), mungkin merupakan adverbia yang bermakna ‘tidak atau belum tentu; barangkali; boleh jadi; dapat terjadi; tidak mustahil’. Penggunaan kata mungkin dapat dilihat pada kalimat dia tidak datang, mungkin ada halangan.
Pada kalimat (2), subjek saya secara pasti menyatakan bahwa ia akan menjawab pertanyaan narasumber, tidak bermakna ketidakpastian. Oleh karena itu, kata mungkin tidak tepat digunakan dalam kalimat tersebut. Di samping itu, predikat pada kalimat tersebut yang berupa menjawab sudah diikuti oleh adverbia akan yang menyatakan ‘sesuatu yang hendak terjadi’. Dengan demikian, kehadiran adverbia sedikit juga menyebabkan penggunaan adverbia menjadi berlebihan (mubazir). Kalimat yang tepat pada kasus ini ialah sebagai berikut.
(2a) Saya akan menjawab pertanyaan Saudara.
Kata mungkin ini juga sering didengar dalam situasi percakapan ragam formal, seperti dalam ruang diskusi, pertemuan, dan seminar. Kata mungkin yang seharusnya dilekatkan pada peristiwa yang belum dapat dipastikan kenyataan atau kebenarannya, justru dilekatkan pada peristiwa yang sudah pasti terjadi. Misalnya, pada bentuk-bentuk berikut.
(2b) … mungkin bisa menanggapi …
(2c) … mungkin bisa menambahkan …
(2d) … mungkin bisa menjelaskan …
Dari contoh berikut, tampak bahwa kata mungkin dan kata bisa sama-sama merupakan adverbia. Dalam hal ini, tidak tepat digunakan dua adverbia sekaligus. Oleh karena itu, dari dua pilihan adverbia tersebut, yang cocok digunakan dengan kata kerja berupa menanggapi, menambahkan, dan menjelaskan ialah adverbia bisa. Dengan demikian, bentuk penggunaan yang tepat dapat dilihat sebagai berikut.
(2b) … bisa menanggapi …
(2c) … bisa menambahkan …
(2d) … bisa menjelaskan …
Kata mungkin pada kasus tersebut cenderung digunakan karena ketidakyakinan pembicara dengan apa yang dibicarakan atau dijelaskan. Padahal, pekerjaan yang dilakukan untuk menguraikan merupakan sebuah kepastian. Jika pembicara masih meragukan penjelasan yang diberikan, ia dapat menggunakan kalimat tambahan berikut.
(2b) …bisa menanggapi pertanyaan Saudara, tetapi jawaban saya mungkin benar mungkin juga tidak benar.
Keraguan-raguan tidak digunakan pada pekerjaan menanggapi, tetapi digunakan pada pernyataan yang belum bisa dipastikan benar. Artinya, sesuatu yang belum pasti itu bukan kegiatan menanggapi, melainkan penjelasan yang disampaikan.
Selain penggunaan adverbia sedikit dan mungkin, salah kaprah juga terjadi pada penggunaan kata kebetulan. Banyak pengguna bahasa Indonesia yang menggunakan adverbia kebetulan untuk menjelaskan sesuatu yang sengaja dilakukan, padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), kata kebetulan bermakna ‘tepat atau kena benar (dengan tidak sengaja)’, misalnya ketika kebakaran itu terjadi, kebetulan ia ada di rumahnya.
Pada kalimat (3), status seseorang menjadi mahasiswa jurusan manajemen bukanlah suatu kondisi yang tidak disengaja, melainkan suatu kondisi yang sengaja diciptakan oleh orang tersebut. Menjadi seorang mahasiswa dilakukan melalalui beberapa tahap seleksi yang terukur, seperti tes akademik atau tes tertulis. Dengan demikian, menjadi mahasiswa jurusan manajemen bukanlah suatu kebetulan. Kalimat yang tepat untuk kalimat (3) ialah sebagai berikut.
(3) Saya dari jurusan manajemen dan ingin bertanya kepada narasumber.
Penggunaan kata kebetulan ini juga salah kaprah digunakan pada berbagai percakapan lisan. Untuk kondisi yang menyatakan sesuatu yang sudah pasti, banyak pengguna bahasa Indonesia yang menggunakan kata kebetulan, misalnya kebetulan lewat, kebetulan datang, kebetulan hadir, dan kebetulan diundang. Kata lewat, datang, hadir, dan diundang merupakan pekerjaan yang dilakukan secara sadar sehingga tidak tepat disandingkan dengan kata kebetulan. Salah satu bentuk bisa dilihat pada kalimat berikut.
(3a) Saya kebetulan diundang oleh teman saya dalam acara ini dan senang sekali bisa hadir bersama Bapak/Ibu.
Jika dicermati, ada kalimat penjelasan yang hilang sebelum kalimat tersebut. Kalimat yang menjelaskan sebab mengapa subjek saya diundang oleh temannya. Jika pengguna ingin menunjukkan situasi bahwa ia diundang dalam kondisi yang tidak terduga, ia dapat menggunakan kata ketika, misalnya “Ketika saya berdiskusi dengan teman saya tentang kegiatan amal, saya pun diundang untuk mengikuti acara ini”. Dari kalimat tersebut, kondisi tidak terduga terdapat pada diskusi yang membahas kegiatan amal, bukan pada situasi yang menjelaskan kehadiran pembicara pada seminar tersebut. Dalam menggunakan kata kebetulan, memang perlu mempertimbangkan sebab-akibat mengapa kata tersebut dipakai.
Jika ditelusuri lagi, penggunaan kata yang salah kaprah dalam bahasa Indonesia tidak hanya pada adverbia sedikit, mungkin, dan kebetulan. Ada lagi salah kaprah yang sudah mendarah daging, yaitu penggunaan kata absen. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), absen bermakna ‘tidak masuk (sekolah, kerja, dan sebagainya); tidak hadir’. Namun, penggunaan kata absen justru sering digunakan dalam dunia pendidikan, khususnya pada bentuk-bentuk berikut.
4. Absensi
5. Nomor Absen
6. Daftar Absen Siswa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), kata absensi bermakna ‘ketidakhadiran’; nomor absen bermakna nomor (siswa) yang tidak hadir; dan daftar absen siswa bermakna daftar siswa yang tidak hadir. Dalam penggunaan bahasa Indonesia, kata tersebut justru dimaknai sebaliknya. Kata absen dimaknai hadir. Lalu, ketika akan menyatakan ketidakhadiran, kata absen juga dipakai. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kata absen pada makna ‘kehadiran’ tidak dapat diterima secara logika. Dengan demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa kata absen bermakna tidak hadir.
Jika seorang guru ingin mendata siswa yang hadir, guru bisa memilih kata kehadiran. Penerbit buku tulis pun juga harus memperbaiki frasa daftar absen siswa dengan daftar hadir siswa. Jika ingin menggunakan bentuk serapan dari bahasa Inggris, guru atau penerbit buku tulis dapat menggunakan kata presensi yang bermakna ‘kehadiran’. Dengan demikian, salah kaprah penggunaan kata absen dapat diperbaiki menjadi bentuk berikut.
(4a) Presensi
(5a) Nomor Presensi
(6a) Daftar Hadir Siswa
(6b) Presensi Siswa
Jika tidak diatasi secara sungguh-sungguh dan terus-menerus, salah kaprah ini dapat menyebabkan kegagalan dalam pewarisan bahasa. Suatu kata dimaknai oleh generasi sekarang karena digunakan secara menyeluruh oleh generasi sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menghentikan salah kaprah ini, kita harus menyadari bentuk-bentuk yang benar untuk membedakan bentuk-bentuk yang salah tersebut.
Discussion about this post