Taring-Taring Tumpul
haru biru tanah pusakaku
republik yang lugu
tanah para kucing-kucing lapar
yang sedang menggerogoti tikus kecil di terowongan
mana nyalimu sang kapiten?
yang rendah dihantam yang tinggi kau gentar!
aku deretan sikecil di gedung tua
saudara dari sikerdil yang kau sandera
bukanku mengutuk tuan
bukan pula tak ikut aturan
tapi hanya sekedar mengingatkan
sudah kenyangkah tuan dengan si kerdil yang kau terkam
pelita di tanah kurcaci sedang mencari air keadilan
di gelapnya sang rembulan
coba pandang dunia tempat kau datang
sudah bereskah harimaumu?
atau sekelompok babi hutan yang terus menggerogoti tanah airmu?
tidakkah dia lebih besar dan mungkin lebih mengenyangkan
namun bila kau takut bilang padaku tuan!
biar kutahu segamanmu itu tak selebar celana dalammu tuan
Pariaman, Januari 2019
Kansas 44
dengan saksi bisu
ingin kuterjemahkan luka
luka merejang segenap jiwa
yang melanda si kota mega
di penghujung malam bulan Juni 1944
tersiar kabar duka lara
derai tangis tak terhelakkan
mayat tergolek di pusara
“Ajo mati lagi?”
“Ajo mati lagi!” teriaknya sekali lagi
jejeran keranda jadi tanda tanya
seolah menutupi sebuah berita
pengkhianatan yang jadi awal mula
yang menindas ratusan nyawa
tiga puluh menit sebelum azan dini hari
hilang sudah tiga pemuda Tionghoa
diseret masuk untuk pengeksekusian
dengan kanso tajam yang siap digorokkan
Pariaman, Juni 2017
Harapan yang Pupus
kutulis rekam jejak kidung bulaian
terpapar sunyi di lamun ombak selatan
dindaku penguasa senja nan gelap
yang meludahi ratapanku di setiap saat
riuh angin berhembus tenang di depanku tuan
aturkan ribuan harapan penerang dan penenang jalan kebisuan
daku berdiri tegar memegangmu manis
walau di depan bundar hanyalah tabir kepalsuan
ribuan cita yang kuagungkan
dan segala lara menyertainya
kini terbuang bak kapas yang berhamburan
berputus dan memulai kian enggan membinar di wajahmu
bak air yang tenang dalam pusaran gelombang
saat memanjakan tangis menjadi harapan
sesaat itulah kupulang beserta kelam
H Nan Tongga, 2013
Ma Rabbuka?
kau cipta dunia fantasi
dalam benak kau sendiri
bodoh
kau memang bodoh
kau abaikan nyata
kau agung fatamorgana
bodoh
kau memang bodoh
instagram kau pertuhankan
brand kau jadikan kitab
cafe tempat kau memuja
zina cara kau beribadah
kau bangga
kau juga bahagia
merdeka!!!
Pariaman, November 2017
Biodata Penulis:
Bio Handika, pujangga pengelana yang sibuk dengan dunianya sendiri. Ia menyukai kebebasan dan fleksibilitas dalam menjalani hidup. Lahir di daerah pesisir pantai Pariaman. Mantan aktor teater berusia 24 tahun ini sekarang bekerja di perusahaan asuransi jiwa.
Syair-Syair yang Memberontak: Catatan atas Puisi-Puisi Bio Handika
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Sumbar dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta)
Saya dalam sebuah sebuah artikel berjudul “Perlawanan Sastra Dalam Cerpen Koran Indonesia” yang dimuat di Jurnal Dialektika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014) mengulas tentang perlawanan-perlawanan yang dilakukan para sastrawan melalui karya mereka. Waktu itu saya mengulas beberapa cerpen koran Indonesia yang memiliki tema-tema perlawanan, baik terhadap penindasan penguasa ataupun terhadap situasi yang menindas lainnya. Kali ini, dalam Kreatika Edisi Minggu 29 Agustus 2021 ini saya juga akan mengulas perlawanan-perlawanan yang muncul dalam puisi karua Bio Handika.
Sebelum lebih jauh mengulas beberapa puisi karya Bio Handika ini, terlebih dahulu kita lihat bagaimana perkembangan budaya media akhir-akhir ini yang memberikan peluang kepada wakil-wakil masyarakat tertindas untuk mempertahankan identitas mereka. Mereka tidak akan tinggal diam melihat ketidakadilan terjadi. Aktor-aktor intelektual organik atau perwakilan masyarakat terdidik ini tidak akan diam melihat masyarakatnya didominasi oleh kekuasaan penguasa atau sekelompok orang tertentu, bahkan oleh fenomena sosial yang terjadi.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Douglas Kellner, seorang professor filsafat dari Universitas Texas, yang menyatakan bahwa budaya media mereproduksi wacana dan perjuangan sosial yang ada, mengungkapkan ketakutan dan penderitaan orang-orang biasa, di samping memberi bahan untuk menghasilkan identitas dan memahami dunia. Ketika anggota kelompok yang tertindas mendapat akses kepada budaya media, perwakilan mereka sering mengutarakan pandangan alternatif tentang masyarakat dan menyuarakan persepsi yang lebih radikal (Kellner, 2010: 213).
Pendapat Kellner itu bukanlah sebuah kata-kata kosong belaka. Buktinya dalam banyak kasus, wakil-wakil kelompok tertindas ini memang melakukan perlawanan dengan berbagai “senjata” yang mereka miliki. Pemuka agama melakukan perlawanan dengan cermah-ceramahnya, cedikiawan melakukan perlawanan dengan pemikirannya, orator melakukan perlawanan dengan orasinya dan sastrawan melakukan perlawanan dengan sastra-sastra yang dihasilkannya.
Perlawanan sastra merupakan salah satu hal yang lazim dilakukan oleh wakil-wakil kelompok tertindas. Mereka melakukan perlawanan melalui media karya sastra yang mereka hasilkan, novel, puisi dan cerita pendek. Wakil kelompok tertindas, yang juga merupakan orang-orang tercerahkan atau kelompok intelektual bukan tidak berasalan menjadikan sastra sebagai media untuk menyuarakan ketertindasan mereka, karena sastra adalah media yang efektif untuk mengomunikasikan berbagai hal kepada masyarakat pada lapisan atas dan lapisan bawah.
Hippolyte Taine (dalam Fananie, 2000:116) menyatakan bahwa karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi, tetapi merupakan cerminan imajinatif dan budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan. Goldmann (dalam Endraswara, 2003: 55) mempertegas bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Semua aktivitas manusia merupakan respon dari subyek tertentu dan merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya.
Berikut ini bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh seorang penulis melalui puisi sebagai karya imajinatifnya. Walaupun puisi sebagai karya imajinatif, puisi bisa menjadi bentuk refleksi zaman yang dialami oleh pengarangnya. Bio Handika melalui sebuah puisinya yang berjudul “Taring-Taring Tumpul” mengkritik perlakuan tidak adil pemerintah terhadap rakyat kecil. Perlawanan atas penindasan penguasa atas rakyat kecil tersebut dapat dilihat dari kutipan puisi Bio Handika berikut ini:
…
yang rendah dihantam yang tinggi kau gentar!
aku deretan sikecil di gedung tua
saudara dari sikerdil yang kau sandera
bukanku mengutuk tuan
bukan pula tak ikut aturan
tapi hanya sekedar mengingatkan
…
(Bio Handika, 2019)
Sangat jelas bagaimana penyair marah terhadap penindasan orang-orang “besar” terhadap rakyat kecil. Ia mewakili rakyat kecil tak berdaya itu bersuara melalui puisinya dan mengutuk penindasan terhadap rakyat jelata. Hal ini memiliki pesan yang mendalam bahwa dengan puisipun rakyat bisa mewakili perlawanan mereka.
Dalam puisi berjudul “Ma Rabbuka?” ia menyampaikan keresahannya atas moral anak-anak bangsa saat ini. Anak-anak yang menurutnya kehilangan arah dalam hidup sehingga terbawa arus globalisasi yang deras ini. Ia menuliskan:
…
instagram kau pertuhankan
brand kau jadikan kitab
cafe tempat kau memuja
zina cara kau beribadah
…
(Bio Handika, 2017)
Kemajuan, teknologi informasi tersebut membawa anak-anak muda pada kerusakan moral karena tidak bisa memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk hal-hal yang baik. Terlepas apakah kerena tidak adanya literasi atas media itu atau memang karena rapuhnya kehidupan moral anak-anak muda. Intinya, kemajuan teknologi ini lebih banyak menjadi petaka dari pada digunakan untuk hal-hal positif bagi anak muda.
Pada puisi lain Bio Handika juga tidak terlepas dari romantisme. Hal ini lumrah dalam setiap perjuangan tentu ada bumbu-bumbu asmaranya. Inilah nuansa batin penyair sebagai manusia biasa. Dalam puisinya ia menulis:
…
berputus dan memulai kian enggan membinar di wajahmu
bak air yang tenang dalam pusaran gelombang
saat memanjakan tangis menjadi harapan
sesaat itulah kupulang beserta kelam
…
(Bio Handika, 2013)
Sementara itu, tentang ingatan akan sejarah pertumpahan darah antar anak bangsa di Pariaman pada tahun 1944. Bio Handika menuliskan bahwa pengkhianatan berujung pada kekerasan yang berdampak buruk pada anak-anak bangsa ini. Peristiwa pembantaian sadis pemuda Tionghoa di Pariaman yang membekas dalam sejarah mengingatkan kita bahwa kesamaan visi dalam perjuangan sangat penting.
di penghujung malam bulan Juni 1944
tersiar kabar duka lara
derai tangis tak terhelakkan
mayat tergolek di pusara
…
tiga puluh menit sebelum azan dini hari
hilang sudah tiga pemuda Tionghoa
diseret masuk untuk pengeksekusian
dengan kanso tajam yang siap digorokkan
(Bio Handika, 2017)
Puisi yang diberi judul “Kansas 44” ini menjadi monumen sejarah yang akan sulit dilupakan oleh siapa saja, apalagi generasi di Pariaman yang merasa perih ketika ditanya oleh orang-orang yang bertandang ke kota kecil di pesisir itu, “mengapa tidak ada pedagang Tionghoa di Kota Pariaman?”
Begitulah puisi, sesekali ia menjadi monumen sejarah untuk suatu peristiwa. Pada lain kali, ia adalah pesan-pesan asmara tentang suasana batin anak manusia. Namun, pada banyak kasus, puisi bisa menjadi alat untuk memberontak memperjuangkan suara orang-orang tertindas.(*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post