Cerpen: Bill Laudrix
Orang-orang memanggilku Daud. Bukan nama yang menarik bagiku untuk diselami maknanya, bahkan sepanjang hidupku belum pernah kupikirkan dalam-dalam makna dari namaku. Bukannya tidak menghargai empat huruf yang terkandung di dalamnya. Justru, akulah satu-satunya makhluk hidup di bumi manusia ini yang paling bersyukur karena terlahir ke dunia dengan nama Daud! Bukan tanpa alasan, tentu nama ini disematkan kepadaku sejak napas pertamaku ketika terlahir. Manusia baik yang menyematkan empat huruf yang kelak akan menjadi metode manusia lain untuk menyadari eksistensiku ini. Ia adalah seorang perempuan hebat yang kupanggil Mama.
Aku tuliskan kisah pendek ini sebagai bentuk ucapan syukurku atas aku yang lahir dari rahimu, Ma. Aku tuliskan kisah ini untuk mengenang semua perbuatan baik yang Mama lakukan di masa lalu, Aku tuliskan kisah ini untuk mengingat betapa durjana lelaki yang dulu Mama sayang dengan sepenuh hati, dan aku tuliskan kisah ini untuk menilik kembali bagaimana keadaan negeri yang dulu Mama rawat pula dengan sepenuh jiwa. Aku tuliskan cerita ini Ma, untukmu. Untuk Mama yang amerta. Untuk Mama yang tak pernah terlupa. Untuk Mama yang belum pernah kujumpa. Aku yakin Mama Amerta! Mama abadi di sana.
Ma, 22 tahun sudah kepergianmu, Daud anakmu yang belum sempat merasakan kasih sayangmu ini, sekarang sudah tumbuh besar. Begitu besar selayaknya dirimu di masa lalu. Seperti gambaran dirimu yang kudapat dari kawan-kawan seperjuanganmu dulu Ma. Semua yang mengenalmu dulu selalu bercuap-cuap padaku bahwa keras kepalaku sama denganmu Ma, bahkan belakangan ini aku merasa memiliki harap dan doa yang mirip denganmu dulu Ma. Bapak bilang gundah dan gulana yang ada pada diriku yang sekarang sama dengan gundah dan gulana yang ada pada dirimu di masa lalu. Betul Ma! Bapak, seorang lelaki yang dulu pasti Mama puja sebegitu gempita. Sekarang, ia tidak lebih dari seorang pecundang yang mencoreng malaikat sepertimu di hatinya. Hati yang sekarang telah mengeras sekeras batu. Aku yakin Mama akan sedih mendengar ini. Aku yakin Mama tidak akan percaya, namun kenyataannya sekarang begini adanya, Ma. Bapak tidak lagi pantas mendapat sedikit pun rasa kagummu lagi. Sejak aku duduk di bangku sekolah menengah, aku tidak pernah lagi merasakan kehangatan dari tangan Bapak meskipun aku tahu Ma. Aku tahu betul tangan Bapak itu kasar namun aku masih tetap ingin meraskan sentuhannya untukku. Aku tumbuh menjadi pemuda yang cacat Ma. Begitu banyak buku yang kubaca. Begitu banyak pemikiran filsuf Yunani kuno yang kuselami. Tak satu pun memberi jawaban mengapa Bapak sebegitu jahat memberiku pemahaman akan dunia.
Setiap malam, sejak sekolah menengah, hampir tidak pernah aku melihat keberadaannya di rumah. Mungkin jabatan dan harta duniawi yang dimilikinya telah membuat matanya kabur, Ma. Bapak sekarang menjelma menjadi birokrat korup yang dulu mama tentang mati-matian di setiap demonstrasi yang mama ada di dalamnya. Bapak sekarang tidak lebih dari seorang manusia yang hanya mementingkan nafsu pribadinya. Belakangan, ketika aku sedikit lebih dewasa, aku tahu kemana tujuan Bapak setiap malam. Dalam ukuran moral mana pun menurutku, Bapak sudah sangat hancur Ma. Selama 22 tahun kepergianmu, sudah 3 kali ia datang ke rumah bersama istri barunya, 3 kali juga aku menolak dan bertengkar hebat dengannya tiap kali ia meminta restu kepadaku. Sudah banyak dan tak terhitung perempuan muda yang ia bawa ke rumah ini Ma. Memang, aku tidak pernah mengurusi urusannya itu, namun perlahan Ma. Perlahan, rasa dengkiku tumbuh subur terhadapnya. Di dalam hati, tiap kali ia bersama perempuan-perempuan itu, aku mengutuknya di dalam hatiku. Tiada sedikit pun terbesit di benakku untuk berdamai dengannya. Ia mengkhianatimu, Ma! Pengkhianat tidak sepantasnya lagi mendapatkan kasih sayangmu, Ma.
Aku selalu bingung dan seringkali mendapati diri tersesat di tengah pusaran kebencian terhadap dunia. Namun, entah bagaimana cara alam semesta bekerja. Tepat sore hari, tatkala swastamita, Bapak datang padaku dengan sempoyongan setengah tak sadarkan diri seolah baru saja datang dari pesta anggur yang dihelat oleh kaisar dan pembesar. Kuamati seksama bagaimana raut wajahnya yang tak pernah berubah sejak aku remaja. Binar matanya yang penuh tipu daya. Betapa candala Bapak bagiku, Ma. Sore itu, Bapak memanggilku. Seingatku, ia tak pernah dalam setahun ini memanggilku. Tiba-tiba, ia memanggilku Ma dan tentu saja tiada panggilan itu kuhiraukan Ma. Aku tak ingin berdiplomasi dengan pengkhianat, Ma.
Aku tahu betul Ma. Suluh juang yang kau wariskan tiada lagi kutemui sedikitpun, setitik kecil pun pada Bapak. Tiada pula setitik kecil karsaku untuk menemui ataupun berdiskusi dengannya kali ini. Yang aku tahu, jik aku turuti panggilannya, tidak kurang arah pembicaraan kami hanya akan berkutat pada keinginannya untuk meminang perempuan muda untuk dijadikannya istri barunya.
Namun, sekali lagi alam semesta dan rasi bintang di pertengahan bulan Mei kala itu membuatku terperangah keheranan. Bagaimana tidak, setelah panggilan pertamanya yang mengandung kegusaran, amarah, dan arogansi itu, tiba-tiba pada kali kedua berubah menjadi suara lembut yang sekali pun aku tak pernah mendengar dari mulutnya.
Entah mungkin karena keadaan alam bawah sadarnya yang tengah dikendalikan oleh alkohol atau memang saat ini keras hatinya telah luluh atau memang mujizat Tuhan Yang Maha Esa telah benar benar bekerja pada dirinya? Entah mengapa seperti terhipnotis, aku datang padanya, Ma. Tepat di ruang tengah rumah besar ini, kami berdua duduk di atas sofa yang amat mewah. Sesaat setelah duduk kupandangi sekeliling rumah ini. Amatlah besar. Lebih besar dari semua kos kawan kampusku yang pernah aku kunjungi.
Perabotan rumah ini pun kurasakan begitu mewah dan mahal. Furnitur yang berdiri gagah seisi rumah ini pun kali ini kurasakan begitu megah. Lantai marmer dan tangga berhias batu mulia,aroma kayu jati dan wewangian oriental bersemayam indah di rumah ini. Memang seisi rumah ini tak pernah kuperhatikan sebegitu rupa karena memang aku pun sejak hari pertama kuliah di perguruan tinggi negeri yang mempelajari ilmu filsafat, amat jarang aku datang ke rumah ini. Tidak kutemukan makna rumah yang sebenar-benarnya rumah pada bangunan ini Ma. Aku lebih memilih tidur di jalanan, di rumah dan kost kawan seperjuangan daripada harus menderita tinggal satu atap dengan manusia candala ini, Ma.
Sore itu, sekali lagi, aku arahkan semua yang ada pada diriku untuk meladeni tiap argumentasi yang akan keluar dari kepala Bapak. Aku fokuskan diriku untuk memahami tiap kata yang keluar dari pemikiran dan memorinya karena kurasa suasana ini begitu asing bagiku. Bapak mulai membuka suara. Tentu saja bersamaan dengan itu menyebarlah aroma kuat yang begitu akrab bagiku. Aku kenal betul aroma ini. Aroma yang tiap malam ia bawa pulang ke rumah dan aroma yang belakangan ini kutemui pada lingkunganku tumbuh di kampus. Aroma kuat alkohol keluar dari mulutnya.
“Mamamu seorang pejuang Nak!” tiba tiba saja Bapak berucap. Aku tak percaya seolah ucapannya tadi bukan keluar dari diri seorang Bapak yang tak pernah kuprediksi sebelumnya.
“Mamamu dulu seorang aktivis hebat. Tiap kali, Mamamu berorasi ditengah aksi demonstrasi semua masa pasti terbakar semangatnya. Aku ingat betul semua baktinya pada negeri ini. Semua lawatannya untuk kaum buruh yang tertindas, kaum miskin kota dan kelompok marjinal. Mamamu senantiasa berada pada pihak yang lemah,” lanjut Bapak dengan intonasinya kali ini amat pelan namun disertai penekanan kuat yang jelas aku rasakan betul.
“Angin apa yang membawamu membicarakan hal seperti ini Pak? Tak pernah seingatku, sekali pun tidak! Kau berbicara baik menyoal Mama. Sedikit pun tiada kutemui bentuk penghargaanmu atas Mama seperti yang barusan kau ucapkan Pak,” ucapku kecut.
“Baru-baru ini kusadari Daud. Betapa berharga relasi baik yang selama ini luput dari bola mataku. Yang harus kau tahu Nak, selama ini sedikit banyak aku juga memikirkan tentangmu dan segala mimpi dan asa yang kau miliki,” Bapak membantah.
“Tiada tercermin dalam tingkah laku perbuatanmu, Pak!”
“Aku tahu betul hal itu Daud. Aku tahu betul bagaimana ambisi Mamamu membela kaum yang papa cela di negeri ini dulu. Aku ingat betul bagaimana dedikasinya memperjuangkan hak-hak buruh dan kaum tertindas di mimbar-mimbar jalanan kala itu. Aku tahu betul kesejahteraan buruh dan meuwujudkan keadilan sosial merupakan ruh perjuangannya. Tiada niatku sedikit pun melupakan doa baik Mamamu untuk negeri ini namun kau tahu sendiri, Nak. Aku jatuh pada lembah kekelaman. Dosa yang kuperbuat tiada pernah bisa diampuni oleh Mamamu.”
Dengan sungguh-sungguh kali ini, Bapak coba menerjemahkan visualisasi ingatan masa lalunya menjadi kata kata di hadapanku. Aku pun paham betul kali ini semua ucapannya tersemat rasa sesal tiada terperi.
“Akupun rasakan hal yang sama dengan Mama, Pak! Cuma kau saja birokrat busuk yang korup. Kau khianati idealisme yang susah payah Mama bangun. Kau bohongi Mama, Pak! Cuma Bapak manusia yang sejauh ini paling mengenal Mama. Bapak tahu seluk-beluk pikiran Mama, idealisme Mama, harap dan doa Mama, namun tak pernah Bapak ingat. Entah Bapak amnesia atau apa? Ingat Pak tiada setahun Bapak baru keluar dari Lapas Suka Miskin akibat korupsi uang rakyat. Aku sering bertanya pada diriku, Pak. Bagaimana sebenarnya Bapak mengingat Mama? Masihkah barang secercah ingatan Bapak mengenai bagaimana Mama merawat idealisme dan negeri yang dicintainya ini?”
“Aku mengaku salah Nak. Tiada satu pun pembenaran untuk perbuatan celaku di masa lalu. Aku pun tahu. Bagimu, aku telah berkhianat pada Mamamu. Bapakmu ini memang tak pantas disandingkan dengan malaikat seperti Mamamu. Hampir tiada hari aku tak mengingat akan Mamamu Daud. Tanpa bantuan alkohol, tiada mampu kulewati malam-malam sepi tanpa hadir Mamamu. Kucoba menjalin hubungan dengan banyak wanita di luar sana. Tidak satu pun yang sama seperti Mamamu. Untuk kau ketahui Daud, aku sadar meskipun manusia hina sepertiku tak pantas berkata seperti ini, tapi ketahuilah akhirnya aku tahu bahwa aku menyayangi Mamamu lebih dari seisi dunia ini, Daud!”
“Aku tak mengerti Pak. Bagaimana kau mengakali hukumanmu sehingga mendapat masa tahanan sependek itu. Aku juga tak mengerti masih bisa Bapak berkata demikian?”
“Mamamu dulu pejuang sejati, Nak.
Aku bertemu dengannya tepat ketika ia menjadi koordinator aksi prareformasi. Aku ingat betul kala itu, aku terpesona akan betapa kritis pemikirannya. Akan betapa besar hatinya membela kaum tertindas. Semangatnya begitu membara. Ialah pahlawan reformasi yang sebenarnya bagiku. Aku kagum padanya. Fakta bahwa ia membela kepentingan negeri ini lebih dari siapa pun. Saat itu merupakan bentuk validasi bahwa ia seorang negarawan sejati. Ia bukan hanya mengasuhmu kala itu. Ia adalah ibu asuh negeri ini menuju reformasi yang kita nikmati sekarang. Hanya saja aku jatuh terlalu jatuh. Kupikir ketika memasuki sistem, aku dapat memperbaiki sistem bernegara kita dari dalam, tapi ternyata Bapakmu ini salah, Nak. Alih-alih memperbaiki kembali, Bapak terbuai pada alunan lembut kekuasaan yang menjadikan Bapak tepat seperti sampah yang ditentang Mamamu dulu.”
Aku tidak bergeming sedikit pun mendengar apa yang disampaikan Bapak. Berpaling dari wajahnya sedikit pun tidak. Tanpa terasa, air mata menetes perlahan. Sampai akhirnya deras membasahi seisi wajahku sore itu. Kehabisan kata-kata, aku menanggapi Bapak kala itu. Kamus perbendaharaan bahasaku seakan sirna. Kemampuan linguistik yang selama ini kudapat seiring dengan diskusi filsafat yang tiap minggu kuikuti hilang. Kala itu, aku menjadi anak kecil yang sepenuhnya merindukan kasih sayang seorang Mama. Seorang anak kecil yang terluka karena baru menyadari ternyata selama ini jawaban atas gundah dan gulana dalam diriku dapat terkikis sedikit hanya dengan obrolan seperti Bapak dan anak seperti ini.
Sore di pertengaan bulan Mei itu juga, sekali lagi, alam semesta membuatku terheran-heran karena bukan hanya air mata yang turun deras, namun di luar rumah kutemui dengan lirikan mataku yang sayu air hujan turun begitu derasnya membasahi tanah. Aku berjanji pada diriku sendiri. Tidak sudi, aku menjadi manusia seperti Bapak. Seberapa pun ia menyesali perbuatannya, aku tak ingin berdamai dengan iblis yang bersarang pada dirinya. Namun, sejak hari itu perlahan jarak yang selama ini ada di rumah perlahan memendek. Hidupku pun berjalan lagi namun kali ini aku kembali dengan semangat juang yang diwariskan oleh Mama untuk mengasuh dan merawat negeri. Aku membela yang tertindas dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti eskistensi Mama pada diriku, suluh perjuangan yang diestafetkan Mama takkan pernah mati. Tak akan pernah aku dibungkam untuk membela yang baik untuk negeri. Meskipun mungkin suatu hari nanti, timah panas akan menembus dadaku, seperti mama yang gugur karena timah panas menembus dadanya, Mama Amerta.
Sukamara, 10 Januari 2021
Catatan: Cerpen ini merupakan salah satu nominasi Lomba Cerpen Scientia 2021
Biodata Penulis
Bill Laudrix adalah pemuda yang lahir tepat di jantung tanah Borneo. Ia tumbuh di tengah pusat kebudayaan Dayak dan menjadikannya kelak seorang manusia dengan pemikiran kritis. Narasi kritisnya dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme, Nietzsche. Saat ini, Bill tengah menempuh pendidikannya di bidang Ilmu Hukum dan Arsip & Rekaman Informasi.
Discussion about this post