Cerpen: Alviana Mawaddatun Nafi’ah
Sayup rendah kicau burung gereja mewarnai damai sore yang ke sekian kali. Kicau berlatar dersik angin yang anggun melambai dengan awan tipis yang mulai mengarak pelan laksana orkestra. Makin disempurnakan indah lembayung jingga bergurat tipis magenta di penghujung senja. Pemandangan sungguh adalah mahakarya.
Konsentrasiku pada mentari di awal bulan Mei yang menyapa tiap lengkung rumput yang mengilap terburai sejenak akan datangnya suara berderum mobil yang menepi. Samar kudengar deru mesin mobil ayah yang diparkir di kejauhan. Suara karet ban yang beradu dengan hangat aspal di sore hari menghasilkan decit lirih yang khas ayah sekali. Suara yang disusul dengan bunyi bedebum pelan tanda pintu mobil telah ditutup serta klik ringan di mana ayah mengunci mobilnya. Pada detik berikutnya, ketukan berirama pada tiap langkah pantofel ayah yang bersahutan dengan getar antusiasku seperti melodi yang mengisi rungu.
Ayah berjongkok pelan dan menatapku lembut dengan sorotnya yang temaram; damai dan menenangkan. Sepertinya ayah benar-benar baru pulang dari rumah sakit. Terlihat dari pakaiannya yang rapi; kemeja biru bergaris yang masih terkancing utuh dan celana bahan yang sedikit masai pada lekukan lututnya. Oh, kecuali wajahnya; kentara lelah sekali. Aku masih bergeming; terlampau bahagia akan kedatangan ayah ditengah kesibukannya sebagai dokter bedah. Namun, kemudian ayah mengelusku sambil tersenyum seolah meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja. Menit yang berlalu setelahnya terisi dengan cerita ayah tentang pasiennya diiringi binar rindu pada mama.
Ketika kelam cakrawala mulai mendominasi, ayah beranjak dari duduknya. Menepuk celananya sekilas dan tersenyum padaku. Meminta maaf atas dua hal; tidak membawakanku bunga kesukaan dan fakta bahwa ia harus segera pergi lagi, sebelum kemudian mencium keningku lama dan berpamitan. Hal terakhir yang kudengar di awal malam itu adalah bising mobil ayah yang semakin menjauh perlahan dan aku yang diam-diam melambaikan tangan.
***
Esok paginya, bahkan ketika semburat merah samar di ufuk belum berniat memunculkan diri, eksistensi mama telah hadir di hadapanku. Tergopoh seolah sepersekian detik yang terlewat tanpa ia tergesa adalah sebuah kesalahan. Aku tidak tahu sejak kapan mama datang atau dengan apa dan siapa ia kemari. Yang aku tahu hanyalah ini masih terlalu pagi untuk memproses pelukan mama yang begitu erat dan bisikannya yang penuh akan rindu. Di tengah hangat peluk mama, aku menghela nafas. Begitu lega mama telah kembali dari pulau. Merasakan buncah kerinduanku yang dibalas sama besar.
Mama adalah seorang dokter anak. Mama memastikan bahwa semua anak-anak, mulai dari bayi hingga remaja, mendapatkan gizi dan pelayanan kesehatan adalah tanggung jawabnya. Walaupun tak memungkiri bahwa mungkin mama memang tidak dapat menjangkau mereka semua, ia berusaha sekuat tenaga dan mendedikasikan seluruh hidupnya. Walaupun memang berakhir dengan aku yang seringkali berakhir sendiri karena kesibukan kedua orang tuaku. Tak mengapa, lagi pula aku sudah cukup besar.
Detik dan menit setelahnya terisi dengan aku yang tekun mendengarkan cerita mama selama berada di pulau dan desa-desa. Tentang betapa menggemaskannya bayi-bayi mungil dengan mata doe bundar yang seolah menyimpan semesta dan gemintang dalam maniknya, tentang balita lucu yang mengoceh kegirangan melafalkan nama-nama vitamin meski ia mengatakannya terpatah dan terpayah, pun tentang remaja tanggung yang malu-malu hendak bertanya dan berakhir dengan mama yang menawarinya konseling privat. Aku tidak terlalu mengerti mengenai perjalanan dinas mama ini –atau ini memang bukan sebuah perjalanan bisnis dan semacamnya– namun aku benar-benar menaruh seluruh atensi pada pembicaraan; penuh minat.
Pertemuan antara aku dan mama setelah hampir dua pekan penuh tak bersua berlangsung hangat dan menyenangkan. Namun, kala matahari dan sinarnya semakin bersemangat menghantarkan konduksinya ke bumi, mama ikut berdiri. Mengelusku perlahan dan sungguh-sungguh berkata bahwa aku adalah putrinya yang hebat. Tangan lembutnya kemudian memberikan buket kecil padaku. Camellia segar dengan merah muda anggun sebagai mahkotanya. Aku merasakan netraku memanas, begini cara mama menunjukkan betapa ia sungguh merindukan putrinya. Ingin rasanya memeluk mama erat dan melarangnya beranjak, namun tentu tak sampai hati aku memberatkan langkahnya. Mama menatapku dalam sebelum kemudian melambai. Menyisakan aku yang entah mengapa merasa sesak tiba-tiba.
***
Waktu yang bergulir setelahnya telak terasa lebih ringan. Meskipun secara harfiah berarti aktivitas yang repetitif mulai dari jingga yang mengudara di pagi buta hingga magenta di ujung senja. Namun, dengan ayah dan mama yang selalu menyempatkan pulang menengokku, memastikan bahwa putrinya baik-baik saja, aku sungguh tak menginginkan apa pun lagi. Segalanya benar-benar terjadi begitu saja seolah semesta sedang bosan dengan huru-hara. Semesta tetaplah semesta dengan seluruh pelik kisahnya. Karena sungguh, hidup memang tak akan membiarkan segala sesuatunya berjalan stagnan apa adanya. Laksana memasak di atas tungku yang penuh dengan perhitungan waktu dan rasa, tanpa tambahan bumbu dan rempah, masakan tak akan nikmat rasanya meskipun harus mendera pedih dan perih dalam prosesnya.
Atas prinsip hidup milik semesta itulah hari ini tiba. Tepat ketika umurku menginjak tujuh belas, tepat ketika mama bertekad menggores lebih banyak warna dan menebar bahagia di tahunnya yang ke tiga puluh lima, pun tepat ketika bulir embun merefleksikan cahaya pertama, hari ini benar-benar tiba.
Mama yang terhuyung, berjalan tertatih dan terjerembab hanya mengandalkan lututnya yang seolah tak sanggup lagi menopangnya. Tangannya yang menggapai putus asa tanpa daya. Binar sendu penuh gelimang kekecewaan dan penyesalan dari maniknya yang sekelam jelaga. Rintih penuh sayat dari bibirnya yang bergetar hebat tanpa air mata sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa dahsyat ia terluka. Derap langkah ayah yang berlari mengejar mama seolah magis yang mendorong mama untuk lebih bergegas meraihku. Pada detik berikutnya kala ia memelukku, aku runtuh. Karena aku sudah lebih dari sekedar tahu tentang seberapa kelam kisah masa lalu ini.
***
Segala pelik kisah ini dimulai ketika mama baru menginjak tujuh belas. Mama yang cerdas. Mama yang terampil. Mama yang bisa hampir segalanya. Mama yang menarik. Namun sayang, mama yang hanya bertemu orang tuanya kala pagi masih terlalu buta dan pada malam yang terlalu larut. Itu membuatnya mau tak mau mencari sosok lain untuk bersandar dan membagi cerita.
Entah bagaimana waktu bekerja, ia berperan besar dalam pertemuan mama dengan pemuda tanggung yang hanya memiliki selisih lima bulan lebih tua dari dirinya saat festival kota berlangsung. Semarak yang membuai dan euphoria darah muda, mereka seolah terjebak untuk saling menelisik dan bertukar rasa. Sekali lagi, entah bagaimana semesta mengaturnya, mama semakin terpana pada sosoknya kala ia ternyata adalah teman seangkatannya di sekolah menengah yang sama. Tidak ada alasan untuk mama menolak kala ia sendiri telah terlampau nyaman dan pemudanya menawarkan hubungan yang lebih dekat. Mama yang telah jauh dari orang tuanya telak menjadi semakin tak tergapai. Memangnya kenapa? Bukankah dengan pemudanya ia menemukan bahagia? Energi masa muda sungguhlah nyata. Mama lepas kendali. Pada penghujung malam yang resah, mama melakukannya bersama pemudanya.
Hari-hari mama setelahnya berjalan laksana meniti setapak di atas kabut. Gelisah. Angan mudanya berakhir kala ia tak lagi mendapatkan bulannya dengan dua garis merah tegas yang seolah meruntuhkan waras. Tak ada yang dapat dilakukan mama selain mengungkapkan pada pemudanya. Namun, nalarnya terhempas kala yang terucap dengan lugas adalah permintaan untuk menghilangkan jiwa suci yang bahkan belum utuh itu dari rahimnya. Sisi waras kemanusiaannya sungguh menolak mentah-mentah, tapi bagaimanalah jika sungguh hanya pada pemudanya inilah dirinya dapat mengadu? Pahit ramuan yang entah darimana sekaligus asam nanas muda adalah teman indra pengecapnya pada gulir waktu selanjutnya. Namun, nyatanya usaha tekun itu hanya membuahkan heran dan cengang karena sungguh, kuat sekali jiwa kecil dan suci itu bertahan. Pemudanya mengusap wajah frustasi, kentara putus asa dan penuh angkara. Berbalik dengan mama yang terketuk keibuannya, menyembunyikan rapat rautnya yang tertunduk penuh lega.
Setelahnya, baik mama dan pemudanya sama-sama sepakat untuk menyembunyikan rahasia. Hingga pada usia janinnya yang menginjak bulan ke lima, tiba-tiba sorot mata curiga dan bisik-bisik yang mengusik rungu mulai terasa. Telak berselimut resah dan rasa bersalah kala mengakui apa yang terjadi sebenarnya. Orang tua mama yang sungguh kecewa -tanpa menampik bahwa keduanya juga andil dalam kesalahan besar ini- memeluk mama erat. Meyakinkan mama bahwa ia tak sendiri. Namun, kisah berbeda ternyata berlaku untuk pemudanya. Kala pemudanya mengamuk di depan rumahnya dengan wajah lebam membiru dan tangan penuh luka, menyalahkan eksistensi mama dalam hidupnya, menyebut mama biang dari segala kesialannya dengan mengumpat penuh amarah, memberinya serapah yang diakhiri dengan janjinya bahwa ia tak akan pernah bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi. Ia merasa tak perlu dan tak peduli sama sekali. Ia meninggalkan mama yang terdiam dengan pandangnya yang tak terbaca sebelum kemudian meraung keras saat menyadari bahwa sandarannya telah pergi. Sungguh-sungguh meninggalkannya sendiri.
Pelik, bahkan keluarga pemudanya seolah menghilang. Lenyap tak berbekas. Mama yang masih gadis tanggung kala itu total dibutakan angkara. Dendam terhadap seluruh semesta menggerogoti warasnya. Ia menyalahkan janinnya yang sungguh sialan datang tiba-tiba. Egonya kemudian mengantarkannya pada dukun urut pada suatu malam yang terang dengan rembulan penuh menggantung di cakrawala. Entah keberanian dari mana, mama sungguh mendatangi tempat kelam itu sendiri. Mengenal lokasinya karena dulu hampir melakukannya di bulan pertama usia janinnya. Bukankah bodoh? Bukankah harusnya sejak dulu ia lakukan? Bukankah harusnya ia menuruti pemudanya agar pemudanya tetap tinggal? Lengking jerit mama pada penghujung suram malam itu menjadi saksi luruhnya jiwa yang sebelumnya bersikeras tinggal. Terpaksa luruh karena ibunya sendiri yang menyuruh.
Orang tua mama marah bukan kepalang. Sungguh kali ini tindakan mama total tidak waras. Bahkan hewan pun akan menyayangi dan mempertahankan anaknya sendiri sekejam apa pun semesta mencincang. Namun, fokus kemudian beralih pada mama yang jatuh demam tiga hari tiga malam berturut, disusul badannya yang memucat dan pernapasannya yang sesak serta rasa sakit dan darah pada bekas dosanya di malam silam. Bagaikan godam yang dipikul bertalu, mama mengalami infeksi pada rahimnya. Tak terelakkan, alat yang digunakan dukun urut di malam kelam kala itu adalah penyebabnya. Seolah bertaruh dengan seluruh isi semesta, keselamatan mama digadaikan. Dan nyawanya sungguh ikut tercerabut kala satu-satunya jalan agar dirinya selamat adalah dengan histerektomi. Tak ada air mata yang luruh karena jiwanya terlampau hancur. Menyisakan dirinya yang terus menerus merutuki kebodohannya dan angkara yang membutakan kewarasannya, hingga membuatnya benar-benar kehilangan segalanya. Di penghujung kewarasannya, mama menemukan selarik nama dengan arti yang penuh akan kekuatan dan keteguhan; Serena. Untuk putrinya yang terlambat ia sayangi.
Waktu yang berlalu setelah seluruh kekacauan pada masa itu adalah hari-hari terberat mama dalam hidupnya. Mencari kembali alasannya untuk tetap memanjangkan napasnya, memintal asa melenyapkan traumanya, serta mengunjungi makam putrinya; Serena. Tentu mama tak sendiri, sampai perlahan mama menemukan kembali hidupnya. Hingga mama menemukan kembali dirinya. Sejak saat itu, perlahan bersamaan dengan traumanya yang mengais kesembuhan, mama memutuskan untuk mengabdikan diri bagi suci tanah airnya. Menebus rasa bersalahnya. Menjaga agar tak ada lagi“mama” lain yang sepertinya. Terlebih mencegah adanya “Serena” lain yang berakhir seperti Serenanya, putrinya satu-satunya.
Semesta tak pernah menekan manusia untuk berhenti menyulam harap sebagaimana Ia juga tak pernah berhenti memberikan kejutan dalam hidup tiap manusia. Seperti semesta memperlakukan mama setelah masa chaosnya membawa kaki mama yang kala itu masih menyelesaikan studi spesialisnya menemui kerabatnya di suatu rumah sakit ibu kota. Mempertemukan manik kelamnya dengan binar tegas pemuda berjas putih di persimpangan ruang, hingga netra keduanya yang bersirobok enggan melupa. Pun andil dalam halus pemuda itu meraih mama yang sesungguhnya masih rapuh, terlebih akan keadaan dirinya yang tak lagi utuh. Ia meyakinkan mama bahwa ia sungguh tulus ingin berjalan bersisian dengannya, menjadi penopang mama pun sebaliknya. Semesta dengan segala kejutannya. Cincin yang tersemat di antara jemari keduanya adalah saksi bahwa ayah menerima mama sungguh-sungguh dengan hatinya.
Maka ketika hari ini, mama menemui gadis seumur tujuh belas di rumah sakit yang berturut hari mengalami demam dengan badan pucat dan raut kesakitan sambil memegangi pangkal perutnya, semesta seolah memaksa mama memandang refleksi masa lalu dirinya kembali. Total merasa kacau. Mama merasa gagal melindungi anak-anaknya. Mengguncang jiwanya yang sungguh tak seberapa. Berakhir dengan berlari kepayahan untuk segera mendekapku. Aku sungguh bersyukur akan eksistensi ayah. Runtutan tutur penenangnya adalah magis, memisahkan mama dari deraan napasnya yang tersendat hingga akhirnya bersimpuh dan kembali.
***
Sebulan setelahnya, ayah menemuiku lengkap dengan mama. Sungguh teraduk jiwaku, antara rindu yang membumbung dan lega yang membuncah. Rindu karena setelah menunggu sebulan penuh lamanya, memandang rasi bintang dan posisi rembulan yang berpendar berbeda di tiap harinya, akhirnya aku dapat bersua dengan keduanya. Buncah rasa lega karena setelah remuk redam perasaan mama sebulan silam, akhirnya aku dapat menatap manik jelaga mama dengan binarnya yang temaram, telak menenangkan. Seolah berteriak kencang-kencang bahwa mama sekarang telah baik-baik saja.
“Mama sudah lebih baik, terima kasih. Mama juga berjanji akan menjadi lebih kuat lagi, seperti Serena”.
Angin seolah enggan mengusik. Dersiknya terlampau lirih seakan bersembunyi dari rungu segala makhluk. Di ujung cakrawala, magenta menggantung bersama jingga dan semburat merah muda. Seperti warna bunga camellia. Seperti ketiga jiwa yang saling menguntai rindu dan menatap sendu.
“Ayah dan mama merindukan Serena”.
Senandika pada sore itu penuh terisi dengan afeksi. Ayah yang menatapku teduh sambil tersenyum halus dan mama yang lembut menyusuri tiap pahatan huruf pada nisanku; SERENA.
Catatan: Nominasi Lomba Cerpen Scientia 2020
Biodata
Alviana Mawaddatun Nafi’ah adalah nama penuh doa yang disematkan oleh kedua orang tuanya. Gadis yang baru hendak menginjak umurnya yang ke-20 menempuh studi sarjananya di salah satu universitas negeri di kota Malang. Instagramnya @alvinavy.
Discussion about this post