Takjil sebuah istilah yang populer pada bulan Ramadan. Istilah takjil populer digunakan dalam bulan Ramadan bersama beberapa istilah dari bahasa Arab, seperti iktikaf, iftar, saum, qiamulail, tarawih, qada, dan fidiah. Semua kata tersebut sudah masuk ke dalam lema atau entri Kamus Besar Bahasa Indonesia daring tanpa perlu dimiringkan penulisannya. Takjil merupakan salah satu contoh kata yang mengalami intererensi dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia.
Interferensi adalah istilah pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) yang menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur bilingual merupakan penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian (Chaer, 2010:120). Interferensi juga bisa dilakukan oleh penutur multilingual atau penutur yang menguasai beberapa bahasa dalam bertutur. Interferensi dalam bahasa Indonesia terjadi karena pengaruh agama dan kebudayaan lain terhadap masyarakat Indonesia.
Interferensi juga terjadi pada kata takjil. Takjil berasal dari bahasa Arab ajila yang artinya ‘menyegerakan atau perintah untuk menyegerakan berbuka puasa’ (Kompas.com, 13 April, 2021). Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata takjil ada dua, yaitu 1) v(verba) mempercepat dalam berbuka puasa, 2) n(nomina) makanan untuk berbuka puasa. Kata takjil mengalami interferensi atau perubahan sistem (makna) dari makna aslinya dalam bahasa Arab verba ‘menyegerakan’ berubah menjadi nomina dalam bahasa Indonesia dengan arti ‘makanan untuk berbuka puasa’. Interferensi terbagi 4, yaitu 1) interferensi tataran fonologi (bunyi), 2) interferensi leksikal (kata), 3) interferensi tataran morfologi (gramatikal), dan 4) interferensi tataran sintaksis (tata kalimat) (Sukoyo, 2011:97). Intererensi yang terjadi pada kata takjil adalah interferensi leksikal atau interferensi berupa perubahan sistem kelas kata verba dalam dalam bahasa Arab menjadi nomina dalam bahasa Indonesia.
Faktor penyebab terjadinya interferensi dikutip dari Sukoyo (2011:101) yang meneliti interferensi dalam bahasa Jawa, di antaranya: 1) kedwibahasaan penutur, 2) tipisnya kesetiaan penutur dalam berbahasa asal (bahasa Ibu), 3) tidak cukupnya kosakata pada bahasa yang sudah ada dalam menghadapi kebaruan, 4) keterbatasan kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa yang ada.
Selain mengalami interferensi, kata takjil juga tidak memiliki padanan dalam bentuk kata dalam bahasa Indonesia, seperti halnya kata dari bahasa Arab yang lain. Beberapa kata dari bahasa Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki padanan, seperti kata saum padanan katanya ‘puasa’, iftar ‘berbuka’, dan qiamulail ‘salat malam’. Dalam bahasa Indonesia, takjil hanya memiliki padanan dalam bentuk frasa nomina berupa gabungan tiga, yaitu ‘makanan berbuka puasa’. Takjil justru memiliki padanan kata dalam bahasa daerah, seperti pabukoan dalam bahasa Minangkabau.
Fenomena interferensi ini tidak hanya terjadi dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dari bahasa asing lain, seperti dari bahasa Inggris, bahasa Cina, bahasa Belanda, bahasa Jepang, dan dari bahasa Korea yang belakangan menjadi kiblat baru anak muda Indonesia, seperti kata oppa, hyung (hyeong) atau bro, sist setara dengan sapaan akrab untuk kakak laki-laki dan perempuan dalam bahasa Inggris, lalu kata mukbang (siaran makan-makan di televisi), dan lain-lain.
Discussion about this post