Cerpen: Bintaran Sukmatama
Untaian lirik lagu kebangsaan yang dinyanyikan oleh anak-anak usia SD menggetarkan dinding tripleks dan seng gubuk kecil. Indonesia tanah airku. Tanah tumpah darahku. Di sanalah aku berdiri. Jadi pandu ibuku.
Lirik itu terus menggema hingga akhir pada bangunan berukuran satu ruang kelas pada umumnya. Atap seng menaungi belasan anak-anak berpakaian lusuh tanpa seragam yang berdiri dengan sikap hormat di atas tikar plastik. Tatapan mereka tertuju ke arah bendera Merah Putih yang menunduk pada bagian atas tiang kecil. Di atasnya, terdapat lambang Garuda Pancasila yang dengan gagahnya bertahta di atas papan tulis putih yang menempel di sisi depan ruangan. Di bawah senyum yang terukir pada foto sepasang pemimpin negara, berdiri seorang wanita usia 40-an yang sedang memandu lantunan lagu kebangsaan. Setelan kemeja batik lengan panjang serta rok panjang hitam mewarnai semangatnya dalam mendidik generasi harapan bangsa yang terlantar.
Di samping beliau, ada aku yang dalam balutan pakaian sehari-hari turut berdiri melantunkan lagu kebangsaan. Diriku biasa dipanggil Kak Lusi oleh anak didik ibuku, Ibu Rahma. Para kakak kelasku di SMP sedang mengikuti uji coba Ujian Nasional, sehingga kekosongan waktuku ini karena kelas 7 dan 8 tidak masuk sekolah kuisi dengan menemani ibuku mengajar. Usai Indonesia Raya menemui penghujung liriknya, kuberi aba-aba tegak gerak. Ibu Rahma memerintahkan anak-anak untuk duduk bersila kembali di gelaran tikar tanpa meja dan kursi di atasnya. Bendera Merah Putih kuletakkan kembali ke pojokan depan ruangan.
Beginilah kebiasaan pada hari Senin di gubuk kecil ini. Karena tak ada halaman yang luas, upacara bendera secara sederhana dilakukan di dalam, itu pun dengan Merah Putih yang sudah selalu terpasang di tiang kecil seperti tadi, bukan dikerek. Baru sekali ini, aku mengikuti upacara di sini bersama ibuku dan anak-anak ini. Sebagian besar belasan dari mereka adalah anak putus sekolah akibat orang tua mereka yang sangat tidak mampu. Mereka hidup di pemukiman kumuh ibukota. Sedangkan tiga orang di antaranya telah yatim piatu.
Seorang anak laki-laki berambut poni yang hampir menutupi matanya mengajukan pertanyaan, “Bu Rahma!” seru bocah itu sambil mengacungkan tangan.
“Ya, Tito. Ada apa?”
“Tadi ada kata ‘jadi pandu ibuku’ itu yang dimaksud ibu siapa, Bu?”
Sambil tersenyum, Bu Rahma menjawab, “Ibu yang dimaksud adalah Ibu Pertiwi, Anak-Anak. Negeri kita tercinta ini. Kalimat utuh lirik tadi ialah ‘Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku’. Jadi, negeri kita ini ibarat ibu yang telah melahirkan kita. Karena kita berasal dan hidup dari negeri ini, maka kita harus berbakti kepada negeri ini, sebagaimana berbakti kepada ibu. Maaf, ibu paham kalau sebagian di antara kalian ada yang ibu kalian sudah beristirahat di alam sana. Kalian harus tetap ingat siapa yang melahirkan kalian dan jangan lupa untuk mendoakan ibu kalian, karena doa dan amal baik anak sholeh akan mengalir kepada almarhumah ibu kalian. Kalian juga bisa berbakti kepada ibu dengan selalu berbuat baik terhadap sesama dan lingkungan serta berbakti kepada negeri ini.”
Aku pun ikut bertanya, “Bu, kenapa liriknya ‘di sanalah’, ya? Bukankah kalau kita hidup di Indonesia seharusnya ya ‘di sinilah’? Ibu punya pendapat?”
“Nak, pada zaman kolonial Belanda, kegiatan yang membangkitkan rasa nasionalisme, apalagi menyebut kata ”merdeka’ memang dilarang. Belanda merasa bahwa hanya mereka yang berhak menguasai dan mengatur wilayah serta penduduk negeri kita, bukan bangsa kita sendiri yang justru dianggap abdi di rumah sendiri.
Jika dipakai kata ‘di sinilah’ dan secara terang-terangan menyebut kata ‘bangsaku’, disamarkan dengan kata ‘ibuku’, Belanda mungkin akan menangkap Wage Rudolf Supratman selaku pencipta lagu Indonesia Raya dan pergerakan nasionalisme akan terhambat, bahkan terhenti. Itulah kecerdasan dan siasat W.R. Supratman dalam berjuang mewujudkan cita-cita bangsa kita. Kata ‘di sanalah’ seolah-olah menunjukkan tempat yang jauh, bahkan hampir tidak ada, sehingga Belanda tidak terpancing untuk mencekal lagu Indonesia Raya, termasuk kata ‘Merdeka, Merdeka’ pada lirik zaman kolonial pun masih belum ada, namun menggunakan kata ‘Mulia, Mulia’. Walaupun begitu, lirik Indonesia Raya pada masa itu tetap mampu menyalakan api semangat kemerdekaan hingga Indonesia pun merdeka!”
Pelajaran dilanjutkan dengan membahas Pancasila, dasar negara Republik Indonesia. Berkumpul bersama mereka memang asyik. Ternyata rasa ingin tahu mereka cukup tinggi. Tampak mata mereka berbinar-binar mendengarkan penjelasan ibuku.
Tak terasa jam dinding menunjukkan pukul 11 pagi. Pelajaran pun usai, ditutup dengan doa. Anak-anak yang punya tempat tinggal pun pulang ke rumah. Hanya Dina, adiknya Dina yang bernama Rudi, serta Beni yang memang tinggal di gubuk ini. Ketiganya yatim piatu. Aku dan ibuku mengucapkan salam meninggalkan mereka. Ketika kami berdua berada di teras gubuk, dari pinggir jalan kecil arah samping, Bu Sinta melangkah cepat dengan raut wajah kebingungan menuju posisi kami. Bu Sinta adalah sahabat ibuku, pemilik warung makan di samping gubuk sekaligus pemilik tanah tempat gubuk berdiri. Dia mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum, Bu Rahma!”
“Wa’alaikumsalam, Bu Sinta,” balas kami berdua.
“Bu, ini benar-benar mendesak. Saya butuh uang untuk operasi jantung Toni!”
“Astaghfirullah. Toni, anak Ibu?” sahut Ibuku, “Ya, Allah. Saya turut prihatin, Bu!’
“Begini, tampaknya saya harus segera menjual tanah tempat gubuk ini. Saya tak ada uang ratusan juta untuk operasi selain dari tanah punya saya ini. Tak apa, kan, jika tanah ini harus dijual?” pandangan matanya pun berkaca-kaca.
Ibu menunduk sekilas tertarik beban moral dan langsung bangkit lagi. Dengan tegap, Ibu memberi respon, “Jual saja, Bu! Saya tahu usaha kita berdua dalam menolong dan mendidik anak-anak terlantar memang penting. Namun, nyawa Toni harus diselamatkan. Anak balita seperti itu harus punya harapan yang panjang.”
“Alhamdulillah, terima kasih, Bu, atas pengertiannya.”
“Anak-anak yang tinggal di gubuk ini biar tinggal di rumah saya. Kami mendoakan semoga operasinya Toni lancar dan bisa sembuh.”
“Aamiin, Ya Allah,” Bu Sinta mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. “Soal uang makan tetap saya yang ngurus. Ya sudah, saya harus mengurus surat-surat tanah dulu, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” balas kami kepada Bu Sinta yang tergesa-gesa kembali ke rumahnya.
Bu Sinta memang yang bertanggung jawab dalam mengurus ketiga anak tadi. Sebenarnya, kami tak tega membiarkan ketiga anak itu tidur kedinginan diselimuti kegelapan malam di gubuk tipis ini. Namun, rumah ibuku begitu sempit. Sedangkan Bu Sinta punya tiga anak sehingga rumah kecilnya tidak muat. Untung ketiga bocah itu merasa tak masalah tidur di gubuk, mungkin kebiasaan anak jalanan. Aku pun juga berpikir, apa ada yang mau segera membeli tanah ini? Kutanyakan rasa penasaranku pada Ibu.
Ibu menjawab, “Kamu tahu, tanah di belakang gubuk ini yang menghadap jalan raya, punyanya Pak Sofyan, telah dijual untuk pembangunan toserba. Awalnya, tanah ini juga hendak ikut dibeli saat dua hari lalu, namun ditolak Bu Sinta. Yang hendak membeli juga mengalah begitu tahu ada keberadaan gubuk ini. Mungkin, akhirnya orang itu yang bisa menolong Bu Sinta dengan membeli tanah ini.” Kami pun pulang ke rumah dengan mengajak ketiga anak tersebut.
***
Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati. Air mata berlinang, emas intannya terkenang. Lagu yang kudengar dari televisi terus terngiang dalam otakku. Negeri ini ikut dilanda pandemi COVID-19. Lagu tersebut memang tepat menggambarkan kondisi Ibu Pertiwi, termasuk kondisi ibuku. Ibuku tidak susah karena rumahnya bertambah tiga anak, tetapi karena kini tak ada ruang luas untuk jaga jarak dengan murid-muridnya. Di sempitnya, teras rumah ini, waktu kedatangan murid-murid dibagi menjadi dua kelompok. Setiap kelompok datang tiap dua hari sekali dan tak lupa ibuku memberi mereka masker dan menyediakan tempat cuci tangan. Walau gubuk itu sudah dibongkar, aku juga bersyukur bahwa operasi si Toni berhasil.
Ibuku pernah menjadi guru SD swasta, namun harus berhenti ketika sekolah itu tutup dua tahun yang lalu karena tidak ada murid. Ayahku meninggal saat lima tahun yang lalu karena sakit usai bertugas sebagai polisi. Uang pensiunnya cukup untuk kami berdua. Biaya pembuatan gubuk serta kegiatan mendidik anak-anak tidak mampu yang telah berjalan selama satu setengah tahun berasal dari penjualan kue jajanan pasar serta gorengan yang ibu dan aku buat dengan cara dititipkan di warung makan Bu Sinta.
Saat pembelajaran di teras, di depan rumahku, seorang nenek berkerudung putih dan bergamis terlihat ‘celingak celinguk’ seperti tak tahu arah. Aku yang melihatnya dari teras mau menghampirinya, namun dia tak pakai masker. Kuminta izin pada ibuku untuk memberikan masker yang bertali kepada orang tua yang tampaknya butuh pertolongan. Kuhampiri orang tersebut yang sedang berteduh di bawah pohon mangga.
“Maaf, Nek, ini sedang ada wabah penyakit, tolong pakai masker ini, Nek!”
“Eh, Nak. Ini di mana?” tanyanya tanpa menghiraukan ucapanku.
“Ini di Kelurahan Pejaten Timur, Nek. Tolong pakai maskernya dulu, Nek! Demi keselamatan kita.”
“Saya cuma mau pulang, Nak. Mau main sama cucu lagi.”
“Memang rumah nenek di mana? Bisa saya antarkan atau panggil taksi daring.”
“Duh, saya tak tahu arah, Nak. Tapi, saya ingat, Tanjung, Tanjung, begitu namanya. Duh, Anwar, mana kamu? Kok, tidak jemput aku?” ucap nenek itu sambil memandang jalanan.
Mungkin maksudnya Kelurahan Tanjung Barat. “Anwar itu nama siapa, Nek?”
“Anakku yang pertama, nenek tinggal di rumah barunya. Gedhe, bersih, ada kolam renangnya.”
Aku tak kenal orang bernama Anwar yang kira-kira usianya patut jadi anak nenek ini. Tampaknya nenek ini sudah pikun. Sebaiknya aku mengajaknya beristirahat di rumah. “Nek, mari istirahat di teras rumah saya saja. Tolong pakai masker ini dulu. Nenek aman bersama kami,” kataku meyakinkan. Nenek pun mau menerima masker dariku. Syukurlah, dia mau dan bisa mengenakannya. Ibuku pun ikut menghampiri kami dan mengajak nenek masuk ke teras.
***
Aku telah mengunggah potret nenek tadi beserta identitasnya ke cerita aplikasi obrolan, termasuk agar bisa dilihat Ketua RT dan Ketua RW di sini. Siapa tahu ada yang mengenal Nenek Rosidah, nama nenek yang kutemui tadi pagi. Sore ini, aku menjaga nenek yang sedang tidur di kamarku sambil membaca buku. Sedangkan ibuku sedang memasak di dapur untuk makan malam ditemani ketiga anak itu. Suara salam seorang wanita dari arah pintu depan yang terbuka mengalihkan pikiranku, “Assalamu’alaikum.” Lalu, ada suara salam seorang pria mengikuti dengan ucapan yang sama.
“Wa’alaikumsalam,” aku menuju ke pintu depan. Ternyata Bu Sinta yang walau wajahnya tertutup masker, aku tetap mengenalnya. Di sampingnya ada seorang bapak yang juga memakai masker dengan setelan kemeja biru rapi dan celana panjang hitam. Sebuah tas jinjing kecil berwarna hitam dipegang erat oleh tangannya yang kekar. Sepatunya hitam licin dan mengkilap serta aroma parfumnya semerbak menghiasi rumah ini.
Bu Sinta mengawali, “Nak Lusi, ini kita tetap jaga jarak, ya! Perkenalkan, ini Pak Anwar, anaknya Nenek Rosidah yang fotonya kamu unggah di aplikasi obrolan.”
“Perkenalkan, saya Pak Anwar. Jadi, benar ibu saya ada di sini?” tanya pria itu.
“Iya, Pak. Sekarang Nek Rosidah sedang tidur di kamar saya.”
“Siapa, Nak?” tanya ibuku yang rupanya telah keluar dari dapur.
“Bu Sinta sama anaknya nenek itu, Bu. Pak Anwar namanya.”
“Pakai masker dulu, Nak. Ini, kamu pakai!” suruh ibuku yang telah memakai masker.
“Jadi, benar Pak Anwar ini anaknya Nek Rosidah?” tanya ibuku.
“Benar, Bu. Saya diberitahu oleh Bu Sinta ini.”
Sebagai seorang yang selalu waspada dan teliti, ibuku meminta bukti bahwa Pak Anwar memang anaknya. Pak Anwar menunjukkan beberapa foto kebersamaannya dengan Nenek Rosidah dari layar ponsel. KTP yang menunjukkan identitas serta alamat yang mungkin dimaksud Nenek Rosidah juga minta ditunjukkan. Ibuku yakin setelah melihat potret kehangatan ibu-anak itu beserta identitasnya. Pak Anwar segera masuk ke kamarku dengan dipimpin oleh ibuku. Saat Pak Anwar melihat Nenek Rosidah yang masih tidur terlelap di kasurku, dia memanggil, “Ibu! Ibu!”
Nenek itu terbangun, Pak Anwar segera merangkul ibunya yang belum sempat beranjak. Dipandunya Nenek Rosidah untuk duduk di kasur, “Anwar! Nak!” ucap Nenek Rosidah dengan semangat. Keduanya pun berpelukan. Pak Anwar menumpahkan rasa bahagianya dengan mencium tangan ibunya berulang kali. Usai euforia ini, Pak Anwar berterima kasih kepada kami dan bercerita bahwa Nenek Rosidah baru menghilang dari rumah tadi pagi. Karena Nenek Rosidah suka keluar rumah namun baru menempati rumah baru, Nenek tidak hafal jalan di sini. Ketika melihat unggahan foto Nenek Rosidah dari Bu Sinta yang diteruskan dari unggahanku, Pak Anwar segera mengajak Bu Sinta untuk menemui orang yang telah menolong Nenek Rosidah.
“Terima kasih banyak, Bu Rahma, atas kepeduliannya!”
Bu Sinta menyela, “Jadi, ini Pak, Bu Rahma yang saya ceritakan tadi. Beliaulah yang mengajar anak-anak jalanan serta anak-anak tidak mampu di lingkungan sini. Di gubuk yang tanahnya telah Bapak beli itu.”
Pak Anwar tersenyum, “Ya, ya, saya sebenarnya merasa bersalah karena membuat perjuangan Bu Rahma dan Bu Sinta jadi terganggu. Saya minta maaf karena telah membeli tanah tempat belajar anak-anak itu. Mungkin ini jalan dari Allah agar saya dapat menolong orang yang ternyata telah menolong ibu saya.” Dari tas jinjing kecilnya, dikeluarkan amplop besar tebal dan disodorkannya kepada ibuku, “Ini, Bu, tanda terima kasih saya sebagai janji bahwa saya akan memberi hadiah bagi siapa saja yang telah menemukan dan merawat ibu saya. Mohon uang ini diterima, Bu! Ini bukan hanya untuk Bu Rahma, tapi juga untuk anak-anak yang ibu didik.”
Ibu merespon, “Kami tidak merasa direpotkan, Pak, dalam merawat ibu Anda. Kami juga senang akhirnya sang ibu bisa bertemu anaknya kembali.” Ibu menerima amplop besar itu dengan mengucap basmalah dan dilanjutkan, “Alhamdulillah, Pak. Saya terima kalau Bapak memang berniat menolong. Saya dan Lusi, Bu Sinta, serta anak-anak mengucapkan terima kasih. Insya Allah, uang ini akan kami pergunakan sebaik-baiknya demi pendidikan anak-anak di sini.”
“Dan satu lagi, Bu Rahma,” Pak Anwar menambahkan, “tanah milik Bu Sinta yang saya beli serta sebagian tanah Pak Sofyan yang rencananya akan dibuat toserba akan saya alihkan untuk mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak tidak mampu.” Terdengar di ruangan ini ucapan “Alhamdulillah” serentak.
Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda. Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata.
Biodata Penulis
Bintaran Sukmatama lahir pada tanggal 31 Juli 1999. Tinggal di Hulu Bengawan Solo, Wonogiri, Jawa Tengah. Ia menulis cerita pendek hingga esai. Email: bintaran.bima@gmail.com dan akun IG: @be_penulis.